Mongabay.co.id

Mangrove dan Potensi Karbon di Pulau-pulau Kecil Bangka Belitung

 

 

Mangrove menjadi ekosistem penting bagi masyarakat Pulau Kelapan yang masuk gugusan Kepulauan Lepar Pongok, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Di pulau seluas 385,907 hektar tersebut, mangrove tumbuh di antara hamparan karang mati dengan substrat pasir hingga pasir berlumpur.

“Selain sebagai penghalang badai dan ombak besar, di sekitar mangrove juga banyak kepiting, ikan, serta udang, makanya kami jaga,” kata Muhammade, tokoh adat di Pulau Kelapan, kepada Mongabay Indonesia, Kamis [23/06/2022] lalu.

Masyarakat sebanyak 184 jiwa itu, keturunan Suku Bugis yang sudah menetap sejak 1960-an. Mereka dikenal sebagai pembuat bagan dan kapal handal.

“Kami jarang menggunakan pohon bakau sebagai bahan konstruksi bagan atau kapal. Bahan kayu kami dapat dari hutan di Pulau Kelapan, seperti kayu rengas [Gluta renghas L] atau seru [Schima wallichii],” kata Dedi, pembuat perahu di Pulau Kelapan.

Berdasarkan pengamatan Mongabay Indonesia, hampir semua wilayah Pulau Kelapan dikelilingi mangrove yang luasnya sekitar 177 hektar. Mangrove ini juga sebagai habitat ratusan kelalawar buah dari keluarga Pteropodidae.

“Jumlahnya mungkin ratusan bahkan ribuan dan tidak pernah kami ganggu. Mungkin karena kelalawar ini, hutan serta tanaman kebun kami seperti mangga, cengkeh, lada, hingga kelapa menjadi subur,” kata Jumain, tokoh masyarakat di Pulau Kelapan.

Baca: Pulau Kelapan dan Jalur Perdagangan Maritim Nusantara

 

Ekosistem mangrove penting sebagai penghalang gelombang air laut dan juga pengikat karbon. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dalam Jurnal Enggano yang ditulis Arthur Muhammad Farhaby dkk, dijelaskan tiga spesies mangrove di sekitar Pulau Kelapan, yakni Rhizophora apiculate, Rhizophora mucronata, dan Xylocarpus granatum. Ketebalan mangrove berkisar 100-467 meter.

“Ekosistem mangrove sebagai tempat mencari makan dan berkembang biak ikan serta gastropoda yang berasosiasi di kawasan tersebut,” tulisnya.

Disampaikan Henri, peneliti bioogi dari Universitas Bangka Belitung, dalam Kuliah Umum “Potensi, Keunikan dan Manfaat Mangrove di Pulau-Pulau Kecil”, diselenggarakan Prodi KSDA [Koservasi Sumber Daya Alam] Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung, Kamis [23/06/2022], mangrove di pulau-pulau kecil merupakan ekosistem khas dan eksotik yang sama pentingnya dengan pesisir [Pulau Bangka].

“Mangrove berperan sebagai ekosistem penyangga [buffer], yakni pelindung garis pantai dengan mereduksi kecepatan gelombang dan badai, pelindung pantai atau darat di wilayah pulau dan pesisir dari abrasi. Juga, pencegah intrusi air laut, penahan lumpur, dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan,” katanya.

Keberadaan mangrove juga berperan penting terhadap kelestarian ekosistem lamun serta terumbu karang di pulau-pulau kecil. Ketiganya, kesatuan ekosistem yang saling berkaitan.

“Jika salah satu rusak, keseimbangan ekosistem pesisir akan terganggu. Sumber pasokan ikan di Bangka Belitung ikut terganggu, mengingat pulau-pulau kecil menjadi penyumbang terbanyak hasil perikanan di Bangka Belitung,” kata Henri.

Baca juga: Pulau Kelapan dan Wisata Bawah Laut yang Menjanjikan

 

Rhizophora mucronata, spesies yang mendominasi di Pulau Kelapan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indoesia

 

Pulau Kelapan, merupakan satu dari 51 pulau kecil di Kabupaten Bangka Selatan, yang delapan di antaranya dihuni masyarakat yang beprofesi sebagai nelayan. Berdasarkan data BPS [Badan Pusat Statistik], Kabupaten Bangka Selatan merupakan penghasil perikanan tangkap terbesar dibandingkan kabupaten lain di Pulau Bangka, sekitar 40.252,261 ton pert tahun, yang sebagian besar dihasilkan dari pulau-pulau kecil.

“Disisi lain, kemungkinan terburuk dari hilangnya mangrove di pulau-pulau kecil adalah tenggelamnya pulau tersebut akibat tingginya intrusi air laut. Oleh karena itu, mangrove harus dijaga kelestariannya” kata Henri.

Skema paling penting melestarikan mangrove dengan cara tidak merusak ekosistemnya. Walaupun pemerintah melalui BRGM [Badan Restorasi Gambut dan Mangrove] melakukan kegiatan PRM [Percepatan Rehabilitasi Mangrove], sebenarnya mangrove dapat tumbuh dengan sendirinya melalui suksesi alam.

“Akan tetapi, mangrove di Bangka Belitung banyak rusak akibat aktivitas manusia, seperti kegiatan pertambangan maupun penebangan liar,” tegasnya.

Sebagai informasi, dikutip dari bangka.tribunnews.com, berdasarkan pemetaan indikatif kondisi ekosistem mangrove nasional, diperoleh data kerusakan mangrove di Kepulauan Bangka Belitung mencapai 80.761 hektar. Dalam artikel lainnya, proses rehabilitasi melalui PRM oleh BRGM menggunakan skema PEN [Pemulihan Ekonomi Nasional] mencapai 3.900 hektar, per tanggal 22 Maret 2022.

 

Kelalawar dari keluarga Pteropodidae merupakan penghuni ekosistem mangrove di Pulau Kelapan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Potensi karbon

Ekosistem mangrove sebagaimana fungsi hutan lainnya adalah menyerap karbondioksida dan menyimpannya dalam bentuk biomassa, peran yang dibutuhkan dalam mengatasi krisis iklim global.

Berdasarkan penelitian N.M. Heriyanto dan Vivin Silvaliandra [2017] berjudul “Keanekaragaman Mangrove dan Sediaan Karbonnya di Kepulauan Lepar Pongok, Kabupaten Bangka Selatan” menunjukkan tiga pulau yang menjadi lokasi penelitian [Pulau Kelapan, Pulau Pongok, dan Pulau Burung], sesungguhnya Pulau Kelapan mempunyai kandungan biomassa tertinggi, yakni  387,51 ton per hektar.

“Hal ini didasarkan nilai produksi bersih yang dapat dihasilkan oleh hutan mangrove, terdiri biomassa total [62,9–398,8 t/ha], guguran serasah [5,8–25,8 t/ha/ tahun], dan pertumbuhan volume [9 m3/ha/tahun] pada tegakan hutan mangrove umur 20 tahun [Kusmana 2002],” tulisnya.

Penelitian yang sama menyatakan, jenis Rhizophora mucronata merupakan spesies yang mendominasi di Kepulauan Lepar Pongok. Bahkan, menjadi penyimpan karbon tertinggi, yakni 179,31 ton karbon pertahun yang setara biomassa 358,62 ton per hektar.

 

Masyarakat Pulau Kelapan dikenal sebagai ahli pembuat perahu. Foto: Nopri Ismi/ Mongabay Indonesia

 

Dalam e-journal Balitbang KKP oleh Isviana Dwi Karyati dkk berjudul “Estimasi Karbon Pada Mangrove di Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung”, dijelaskan bahwa, jumlah kandungan karbon yang tersimpan pada hutan mangrove di Kabupaten Belitung dengan menggunakan persamaan allometrik sebesar 389,75 C ton per hektar.

Nilai ekonomi karbonnya sebesar Rp19.916.398 hektar per tahun, dengan total senilai Rp131.716.898.650 . Simpanan karbon 389,75 C ton per hektar dengan luas hutan mangrove 6.606,94 hektar.

“Pengukuran nilai ekonomi dilakukan berdasarkan asumsi nilai jual rata-rata karbon. Harga karbon di pasar wajib senilai US$ 16 per ton karbon per hektar,  atau setara US$ 21 ton karbon per hektar [Auliansyah et al., 2020]. Nilai tukar Rupiah terhadap US$ pada tanggal 25 Juli 2020 senilai Rp14,602 yang artinya harga karbon Rp306,642,” tulisnya.

 


 

 

Berdasarkan kajian Walhi Bangka Belitung, dikutip dari sejumlah data, selama 20 tahun terakhir, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung kehilangan hutan mangrove sekitar 240.467,98 hektar, atau tersisa 33.224,83 hektar.

Menurut Henri, sudah saatnya pemerintah daerah memberi perhatian pada potensi karbon di  ekosistem mangrove pesisir maupun pulau-pulau kecil.

“Sebagai provinsi kepulauan, Bangka Belitung mempunyai ratusan pulau dengan ribuan hektar ekosistem mangrove terjaga. Selain mempunyai dampak ekologi, mangrove juga mempunyai potensi ekonomi, terutama simpanan karbon,” tegasnya.

 

Exit mobile version