Mongabay.co.id

Nasib Sungai di Halmahera Tengah Kala Industri Nikel Datang [2]

 

 

 

 

Air Sungai Ale Doma di Desa Lilief Sawai berwarna keruh. Coklat kehitaman. Kondisi serupa kala saya datangi Sungai Kobe di Dusun Lukulamo, Desa Lelief Wabulen, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Kondisi air buruk seperti ini diduga karena lumpur mengalir saat banjir.

Afrida Burnama, warga Desa Lelilef Sawai, dulu air sungai itu untuk penuhi segala keperluan warga termasuk untuk minum. Sejak perusahaan beroperasi, katanya, mereka tak bisa lagi komsumsi air itu karena tercemar lumpur maupun limbah.

Di Weda Tengah ini ada kawasan industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Kawasan industri ini, mencakup hulu ke hilir, dari pertambangan sampai pabrik smelter dan fasilitas pendukung, seperti PLTU batubara.

Oyop, warga Dusun Lukulamo juga , mengeluh kualitas air Kali Kobe yang tak bisa mereka komsumsi lagi. “Dolo torang bisa molo atau bahasa disini tum (menyelam) untuk mencari ikan dan udang air tawar [saking air jernih], saat ini air bukan orange lagi, tetapi coklat kehitaman karena bercampur lumpur,” katanya.

Dulu, katanya, air kali ini bisa buat air minum masyarakat di desa-desa Weda Tengah.

“Kami coba masuk di dalam kali, itu kaki kami ini gatal. Memang air Kobe sudah tercemar dan tak bisa digunakan lagi,.”

Mongabay juga peroleh beberapa video. Antara lain video soal proses pembuangan limbah dari pabrik pengolahan nikel melalui saluran menuju ke muara Sungai Ake Sake dan mengalir ke laut.

“Perusahaan pakai air pendingin. Setelah biji besi jatuh ke air, dan air mengalir melalui pembuangan langsung ke laut. Pembuangan itu bersamaan dengan limbah PLTU melalui muara sungai ke laut,” kata seorang mantan pekerja.

“Yang dibuang ke laut limbah hasil pengoperasian PLTU berupa air bahang. Limbah air bahang ini IWIP memperoleh izin pembuangan air limbah ke laut dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2021,” kata M Fabanyo, Media dan Communacations External Departement of Weda Bay Project dalam keterangan kepada Mongabay Februari lalu.

Dia bantah, kalau perusahaan buang limbah operasi ke perairan. Perusahaan, katanya, bikin laporan setiap tiga bulan sekali ke KLHK.

“Dari hasil sampling lingkungan menunjukkan parameter lingkungan masih memenuhi baku mutu,” katanya.

 

Baca juga: Nasib Nelayan Halmerah Tengah Setelah Ada Industri Nikel [1]

Sungai Worsea dari ketinggian. Foto: Chris Belseran/ Mongabay Indonesia

 

***

Rizal Syamsudin, pemuda Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah. Rizal mahasiswa magister teknik lingkungan angkatan 2018 di Institut Teknologi Yogyakarta. Dia tergerak meneliti di kampung halamannya terlebih saat ini banyak tambang.

Untuk menyelesaikan gelar magister, dia bikin tesis dan penelitian soal tambang di PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Desa Lelilef Sawai.

Dia meneliti sejak 2019. Proses pengajuan baru disetujui pada 2020. “Jadi sekitar sembilan bulan berjalan, tesis proposal saya masuk di perusahaan, baru diproses,” katanya.

Judul tesis Rizal,” Analisis daya dukung lingkungan sebagai akibat aktivitas pertambangan nikel di Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah.”

Penelitian ini berhubungan langsung dengan kualitas dan kuantitas air di kawasan pertambangan. “Jadi saya konsen di tambang, bukan di industri. Kebetulan PT IWIP ada dua pengerjaan, yaitu pertambangan terbuka yang hasilnya dikelola di kawasan [industri] itu.”

Tujuan penelitian ini, kata Rizal, untuk mengetahui pengaruh perubahan landscape terhadap daya dukung lingkungan berdasarkan parameter air Sungai Wosea. Juga dapat menetapkan strategi yang tepat untuk penanganan perubahan landscape di Desa Lelilef.

“Metode penelitian deskriptif kuantitatif, observasi dan wawancara. Sampel penelitian penduduk Desa Lelilef Woebulen dan Lelilef Sawai. Sekitar 664 keluarga yang mengkonsumsi air Sungai Wosea.”

Penelitian dia di kawasan pertambangan Weda Bay Nickel, Desa Lelilef, dengan data dengan pakai citra satelit landsat ETM 2002 dan 2013, dan peta kawasan penambangan. Juga, dokumen dan data pendukung dari laporan terdahulu, dokumen analisis dampak lingkungan (andal), maupun pengamatan lapangan.

Dalam data analisis dampak lingkungan (andal) pembangunan kawasan industri Indonesia Weda Bay Indutrial Park, Sungai Ake Wosea, membatasi wilayah kawasan industri di sebelah barat.

Wosea, merupakan sungai dengan dasar berbatu dan berpasir. Ia banyak sebagai sumber quarry untuk masyarakat lokal terutama sebagai bahan bangunan rumah dan jalan.

Kedalaman dan lebar sungai bervariasi, dengan rata-rata kedalaman muka air berkisar 60 cm dan lebar 25 meter.

Debit Wosea bervariasi seiring perubahan musim basah dan kering. Debit tertinggi tercatat 11 m3/s pada Agustus 2007 dan rata-rata 1,15 m3/s.

Sungai lain ada Ake Sake. Sungai ini terletak di dalam area industri, merupakan sungai permanen dengan aliran sedang. Rata-rata lebar sungai 12 meter. Saat ini Ake Sake sebagai sumber air baku kebutuhan sehari-hari IWIP.

Sungai Ake Sake pun akan dialihkan untuk mengakomodasi kebutuhan ruang IWIP sekitar 3,5 km.

Dalam Andal juga disebutkan, potensial bisa terjadi termasuk perubahan ekosistem sungai, fauna dan flora di daerah sungai hilang, perubahan aliran sungai dan morfologi sungai.

 

Kondisi Sungai Wesea kala industri nikel beroperasi. Foto: Chris Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Saat Rizal pengajuan sampling, perusahaan hanya membolehkan mengelola sampling mentah yang mereka ambil.

“Biar riset saya ini lebih berkualitas mau saya itu menguji sendiri, setelah kita negosiasi dengan manajemen perusahaan diperbolehkan hanya data mentah dari perusahaan. Mereka menguji sampel di laboratorium terakreditasi di Water Laboratory Nusantara di Manado,” katanya.

Dari data uji sampel yang diberi perusahaan, kualitas air di sekitar operasi mereka tak melebihi baku mutu.

Dia juga meneliti kuantitas air, merupakan jumlah debit air dari suatu sumber, baik air tanah, danau, waduk dan sungai. Rizal meneliti dua sungai, yakni Kali Ake Wosea dan Ake Doma. Kali Ake Doma, Ical tak peroleh data pembanding kondisi air sebelum perusahaan masuk hingga kesulitan menganalisis.

Untuk Ake Wosea, mengalami penurunan dalam untuk pengukuran debit. Dulu, air Wosea untuk minum dan keperluan lain karena jernih. Saat ini, sangat signifikan berubah dan pengairan sulit.

Faktor lain air sungai berkurang, katanya, karena perusahaan memanfaatkan air untuk kebutuhan industri mereka.

“Sekitar 200 meter dari muara Wosea itu ada bendungan milik perusahaan yang dimanfaatkan untuk menyuplai ke industri.”

Penelitian Rizal soal kondisi tutupan lahan sekitar Sungai Wosea juga mengalami perubahan drastis. Dia membandingkan foto udara pada 2012 dengan foto udara 2021 terdapat luasan lahan terbuka 98,72 hektar.

Mengenai perubahan landscape terhadap daya dukung air di Kecamatan Weda Tengah baik kualitas, kuantitas, serta kebutuhan dan ketersediaan air masyarakat penelitian Ical simpulkan beberapa hal. Pertama, terjadi perubahan landscape lahan 98,72 hektar dengan kondisi kritis tanpa vegetasi dan perubahan pada struktur tanah yang mengubah fungsi ekologis.

Kedua, perubahan landscape di kawasan pertambangan mempengaruhi kualitas air Wosea. Perubahan ini mengindikasi pencemaran dan kerusakan pada air permukaan.

 

Baca juga: Nasib Orang Sawai di Tengah Himpitan Industri Nikel

DAS Wosea yang gundul karena operasi tambang nikel…. Foto: Chris Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Daya rusak

Video lain memperlihatkan para karyawan berada di salah satu ruangan pengolahan. Ruangan itu ditutupi olehdebu. Dia dan pekerja berada di ruangan itu terancam debu begitu banyak.

“Banyak karyawan yang sakit ISPA (inspeksi akut saluran pernapasan).”

Salah satu masalah serius dihadapi masyarakat desa di sekitar industri tambang adalah pencemaran lingkungan hidup, baik udara, laut, maupun air.

Melky Nahar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional mengatakan, beberapa masalah dialami masyarakat sekitar tambang soal air, seperti debit dan kualitas air menurun dan tercemar.

Dia bilang, ketika debit air berkurang atau kualitas air tercemar maka akan berdampak terhadap warga sekitar.

“Kalau debit berkurang, dihadapkan dengan jumlah buruh perusahaan yang begitu banyak lalu memanfaatkan air yang sama akan terjadi monopoli dalam pemanfaatan sumber air,” katanya. Dalam arti, sumber air yang biasa dipakai warga akan banyak tersedot untuk keperluan perusahaan.

Warga pun, katanya, terpaksa beralih gunakan sumber air lain dan perlu biaya lagi. Begitu juga kala air tercemar. Kondisi terburuk, katanya, warga terpaksa mengkomsumsi air itu dengan risiko ancaman kesehatan mereka.

“Kalau berisiko ke kesehatan sudah barang tentu biaya kesehatan makin besar.”

Padahal, katanya, sebelum perusahaan maupun industri masuk, air jernih dan bersih bisa warga dapatkan dengan mudah dan gratis. Semua berubah, kala penambangan beroperasi.

Warga, katanya, kehilangan sumber air, terancam kesehatan termasuk bahan pangan mereka rentan tercemar karena memanfaatkan sumber air sama.

Pangan darat dan laut, kata Melky, juga rentan tercemar.

“Jadi ongkos kerusakan ekologis itu jauh lebih besar daripada kesejateraan yang dijanjikan perusahaan atau potensi pendapatan negara melalui kewajiban-kewajiban perusahaan tambang itu,”katanya.

Greenpeace dan Universitas Harvard dalam laporan penelitian 2015 bertajuk “Ancaman Maut PLTU Batubara” menjabarkan dampak buruk polutan PLTU batubara. Dalam laporan terungkap dari PLTU batubara yang ada di Indonesia saat itu, berpotensi terjadi kematian dini 6.500 jiwa.

Penyebab kematian, 2.700 jiwa kena stroke, 2.300 jantung insemik, 300 kanker paru-paru obstruktif kronik, 800 karena penyakit pernapasan dan kardiovaskular. Ia karena paparan SO2, NOx dan PM 2,5 ditambah hujan asam, emisi logam berat seperti mercuri, arsenik, nikel, kromium dan timbale.

Maks Sigoro, nelayan Weda katakan, asap corong dari pabrik smelter dan PLTU mengarah ke permukiman warga, Desa Gemaf, Weda Utara.

Limbah PLTU membuat air lautan panas membuat nelayan di Desa Gemaf tak bisa melaut di Lolaro yang dulu merupakan daerah penangkapan ikan. Aktivitas kapal tongkang yang membawa batubara juga mempengaruhi tangkapan ikan.

“Kalau pagi-pagi itu terlihat laut ini hitam semua karena asap yang berasal dari PLTU itu. Kami menjadi sasaran pencemaran asap cerobong itu,”kata Maks.

Syamsul Bahri, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Halmahera Tengah mengklaim lakukan pengawasan berkala terkait laporan uji kualitas udara dari perusahaan.

“DLH selalu pengawasan berkala. Soal masyarakat terpapar penyakit bisa mengkonfirmasi ke Dinas Kesehtan Halmahera Tengah,”katanya. (Bersambung)

 

Sungai Wosea, yang sebagian ditutup perusahaan. Foto: Chris Belseran/ Mongabay Indonesia

 

*Liputan ini merupakan Fellowship Pasopati Journalism Fund (PJF) Auriga Nusantara dengan Mongabay Indonesia.

 

 

 

Exit mobile version