Mongabay.co.id

Tantangan Konservasi Penyu Sumbawa Barat : Antara Kebutuhan Perut dan Mimpi Ekowisata (bagian 2)

Perburuan telur penyu masih terjadi di Aceh, kondisi ini menyebabkan terganggunya populasi penyu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sore hampir habis, langit kemerahan di bagian barat perlahan memudar. Hembusan angin laut pelan menyapu wajah yang berkeringat, berjalan dari jalan terakhir di ladang jagung yang baru selesai panen. Kami memarkir kendaraan di tempat itu. Mobil tidak bisa mendekat ke pesisir pantai Mawil, Desa Talonang Baru, Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Langit sore masih menyisakan cahaya pada akhir Juni lalu, membuat kami bisa menikmati keindahan pantai berpasir putih ini

Albertus Septiono, polisi khusus (Polsus) dari Pangkalan Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Benoa membuka seragam dinasnya. Mengganti dengan kaos tanpa lengan, celana pendek, dan sebilah parang yang dibeli di perjalanan. Sesampai di lokasi pendirian tenda, dengan sigap dia membersihkan semak belukar. Membakar sampah yang menumpuk. Semakin malam, angin semakin kencang, butir air hujan mulai terasa menerpa wajah.

Di malam yang pekat ini, kami akan menginap di pesisir pantai ini. Pantai Mawil terkenal sebagai lokasi bertelur penyu, disebut sebagai lokasi terbanyak. Karena itulah, saban hari, puluhan warga menginap di pantai ini. Menunggu penyu naik bertelur, dan ramai-ramai membongkar sarang telur penyu itu. Telur-telur penyu itulah yang kemudian banyak beredar di seantero Kabupaten Sumbawa Barat.

Pada malam itu, tim dibagi menjadi tiga. Tim pertama di pantai Lebewe dipimpin oleh Rinto Basuki, penyuluh dari Dinas Perikanan Sumbawa Barat. Tim kedua menunggu di pantai Liang Jalu yang dipimpin Barmawi, petugas dari BPSPL Denpasar. Tim ketiga gabungan dari BKSDA NTB, PSDKP, LSM lingkungan Sahabat Bumi, dan Mongabay Indonesia. Dalam tim kami ikut juga anggota Polisi, dan beberapa staf desa.

Tenda kami dirikan, jauh dari batas pasang. Tim juga melepas penat di bangunan bekas kantor penangkaran penyu di Desa Talonang Baru. Bangunan panggung semi permanen itu, dibangun atas bantuan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Ada dua bangunan yang menjadi kantor. Tempat beraktivitas para pengelola kegiatan penangkaran penyu. Tapi melihat bangunan yang tidak terawat, sepertinya sudah bertahun-tahun ditinggalkan. Bangunan ini menjadi saksi bahwa di tempat ini, pernah ada upaya konservasi penyu. Tapi gagal.

baca : Tantangan Konservasi Penyu Sumbawa Barat : Pejabat hingga Pelajar Doyan Makan Telur Penyu (Bagian 1)

 

Para pemburu telur penyu menemukan penyu yang naik bertelur di pantai Mawil, Desa Talonang Baru, Kecamatan Sekongkang, Sumbawa Barat, NTB. Setelah ditunggu sejam lebih, penyu ini tidak bertelur. Dia kesulitan membuat lubang karena salah satu sirip belakangnya terpotong. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Suara motor memecah malam, beradu dengan ombak yang mulai naik. Pasangan suami istri Saidi dan Ramlah yang datang. Mereka kaget melihat orang ramai, apalagi wajah-wajah baru yang tidak dikenal. Mereka adalah warga transmigran generasi awal dari Lombok ke Talonang 20-an tahun lalu. Mereka canggung melihat banyak orang, walaupun mereka sudah tahu bahwa pada malam itu akan ada petugas gabungan yang akan berkunjung ke Pantai Mawil. Saidi mendapat kabar tim gabungan ini akan sosialisasi telur penyu, akan ada pelarangan pengambilan telur penyu.

‘’Dari telepon diberi tahu kalau malam ini jangan keluar ambil telur penyu, ada petugas berjaga,’ ’kata Saidi pada Rabu (29/6) kepada Mongabay Indonesia.

Dia cukup terbuka berbicara dengan wartawan Mongabay, karena cukup kenal dengan daerah asalnya di Lombok Timur. Saidi pun akhirnya buka suara, banyak berkisah, setelah merasa aman. Petugas yang datang ke pantai sekadar sosialisasi, bukan operasi.

Kami beranjak ke tempat sepi, kepada tim yang lain kami bilang akan survey lokasi yang kira-kira akan menjadi pendaratan penyu. Lokasi yang cukup sepi. Saidi mewanti-wanti agar jangan menyalakan senter. Sinar lampu akan membuat penyu takut naik.

‘’Nanti lama-lama akan kelihatan lebih terang, sinar dari langit,’’ katanya. Benar saja setelah 10 menit mematikan senter, mata saya terbiasa dengan sinar remang-remang dan bisa melihat ombak.

‘’Nanti kalau ada penyu naik akan kelihatan jelas, tidak perlu pakai senter. Setelah bertelur baru pakai senter,’’ katanya.

Kami duduk di pasir pantai. Saidi perlahan bercerita. Memastikan tidak ada lagi petugas yang ikut. Sejak awal saya mengenalkan diri bukan petugas pemerintah, hanya ikut rombongan saja. Dengan berbicara mengikuti logat bahasa Sasak (Lombok) asal daerahnya, Saidi semakin percaya.

“Sebenarnya malam ini banyak orang akan datang, tapi diberi tahu tadi semuanya kalau bapak-bapak petugas itu datang. Makanya takut,’’ katanya.

baca juga : Perdagangan Liar Penyu Hijau di Sulsel Berhasil Digagalkan

 

Para pemburu telur penyu istirahat di bawah tebing, menghindari gerimis di pantai Mawil, Desa Talonang Baru, Kecamatan Sekongkang, Sumbawa Barat, NTB. Mereka menunggu penyu saat air pasang mulai jam 8 malam hingga jam 2 pagi. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Kecurigaan saya bahwa rencana pemantauan ini bocor terbukti. Pada sore hari memang sempat tim gabungan sosialisasi di kantor desa Talonang Baru. Bertemu dengan semua perangkat desa, kecuali kepala desa yang sedang tugas di luar, dan beberapa anak muda yang dulu pernah ikut sosialisasi serupa.

Informasi menyebar dengan cepat, akses sinyal HP berkat tambahan pemancar khusus dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membuat kedatangan tim diketahui. Rencana awal untuk memberikan kejutan pada warga yang berondong-bondong berburu telur penyu gagal. Hanya ada beberapa orang di pinggir pantai, yang tidak sempat mendapat informasi kedatangan petugas. Sekitar 10 orang, yang malu-malu mendekat di bangunan bekas penangkaran penyu.

“Tadi malam (malam sebelumya) sampai 50 orang lebih di sini. Penyu lagi ramai naik,’’ kata Saidi.

Saidi lahir dan besar di Lombok. Tidak pernah mengkonsumsi telur penyu, apalagi menjual telur penyu. 20 tahun lalu dia ikut program transmigrasi ke Talonang Baru. Saat itu akses jalan sangat sulit. Bersama istri dan anaknya masih kecil, mereka diberikan rumah dan sepetak tanah. Satu petak tanah seluas 75 are. Di kampung asalnya, Lombok, Saidi adalah petani.

Ketika sampai di Talonang dia kaget melihat kondisi lahan. Perbukitan hijau, sejuk, tapi tidak ada air. Tidak ada air irigasi. Tanah yang diberikan berupa ladang, itu pun masih harus dibersihkan. Tanah itu hanya ditanami sekali setahun. Menanam jagung, sayur, dan padi jenis gora yang bisa tumbuh tanpa pengolahan tanah khusus.

Pada suatu hari, Saidi diajak ke pantai oleh warga yang lebih dulu tinggal di Talonang. Mereka mencari kerang saat air surut, berlanjut hingga malam hari, dan pada malam itulah dia diajarkan cara mengenali penyu dan bagaimana mengambil telur penyu. Saidi mencicipi telur penyu. Dia suka, tapi dia lebih senang ketika warga membeli telur penyu itu.

Harganya lebih mahal dibandingkan telur ayam dan itik. Dulu harganya Rp750/butir. Sekarang harganya Rp3.500/butir jika diambil di pantai, Rp4.000/butir jika sampai di desa/kecamatan, dan bisa menembus Rp5.000/butir jika sampai kota. Sejak saat itu Saidi sering menginap di pantai.

‘’Alhamdulillah hasilnya bisa menyekolahkan anak, bisa pakai beli beras. Hasilnya cukup,’’ kata Saidi yang pada malam sebelumnya hanya mendapatkan 15 butir telur penyu setelah dibagi dengan beberapa rekannya.

baca juga : Menelusuri Misteri Penyu Selundupan di Bali

 

Para pemburu telur penyu akan melanjutkan mencari kerang ketika air surut. Walaupun wilayahnya berada di pesisir, sangat sedikit warga Talonang yang menjadi nelayan di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, NTB. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Menurut Saidi, usaha jualan telur penyu kadang lebih menguntungkan dibandingkan usaha mengolah lahan. Lahan hanya bisa dimanfaatkan empat bulan pada musim hujan. Pada musim kemarau tidak bisa ditanami. Tanah menganggur. Telur penyu menjadi pilihan pekerjaan. Bagi sebagian besar masyarakat yang turun memburu telur penyu di pantai, mereka lebih sering menjual dibandingkan mengkonsumsi. Jika mendapatkan 20 butir telur penyu, paling hanya 4 yang disisakan untuk konsumsi. Dengan harga jual Rp4.000/butir, Saidi bisa mengantongi Rp80.000 semalam.

‘’Kalau tidak sakit sekali, tiap malam kami ke sini, ibunya (istri Saidi) jualan di sini karena ramai,’’ katanya.

Ramlah, istri Saidi ikut ke pantai menemani suaminya. Sementara suaminya mencari telur penyu, Ramlah jualan kopi, mie instan, rokok kepada warga yang datang berburu telur penyu. Cara jualannya unik. Jika warga tidak membawa uang, boleh membayar dengan telur penyu. Dua butir telur penyu bisa ditukar dengan satu gelas popmie. Jika kondisi penyu bertelur ramai, kadang lebih banyak hasil barter dibandingkan perolehan suaminya.

Bangunan tempat berjualan merupakan bekas kantor penangkaran penyu yang pernah dibangun PT NNT. Saat pertama jualan di tempat itu kondisinya rusak, kotor. Saidi dan Ramlah yang membersihkan, dan akhirnya mereka berjualan di tempat itu.

 

Ambil Telurnya, Jangan Sakiti Penyu

Suatu malam, beberapa pemburu penyu datang dari desa lain. Membawa senter dan kantong karung yang akan menjadi penyimpanan telur penyu. Beberapa jam menunggu, penyu naik. Malam itu cukup banyak penyu naik. Warga seperti pesta dengan telur penyu. Tapi ada satu penyu yang tidak bertelur. Ditunggu sejam lebih, tidak kunjung bertelur. Warga yang tidak sabaran menunggu, memukul-mukul cangkang penyu dengan harapan akan membuatnya cepat bertelur. Saidi dan beberapa warga mendekati warga dari desa lain itu, mereka beradu mulut. Warga Talonang marah ketika penyu disakiti.

Walaupun warga mengambil telur penyu, tapi mereka tidak pernah mengambil penyu, tidak mengkonsumsi daging penyu, tidak menjual penyu. Menjual penyu berarti memutus rantai telur penyu. Jika tidak ada penyu bertelur, berkurang sumber penghasilan warga. Sepintas aksi warga Talonang yang melarang penangkapan penyu ini seperti upaya konservasi, tapi lebih ke motivasi agar penyu terus bertelur.

‘’Berani kami kelahi kalau ada yang menyakiti penyu,’’ kata Saidi.

perlu dibaca : Ratusan Ribu Produk Perdagangan Penyu dan Turunannya Dijual Di Kanal Jual Beli Online

 

Bangunan sisa kegiatan penangkaran penyu di Pantai Mawil Desa Talonang Baru, Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat. Setelah dukungan dari PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) terhenti, program konservasi juga terhenti. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Para pemburu telur penyu memiliki kesepakatan tidak tertulis. Selain tidak boleh menyalakan senter yang akan menganggu penyu bertelur, tidak boleh menghabiskan semua telur penyu. Misalnya, jika ada satu penyu bertelur hingga 60 butir, maka harus disisakan 10 butir di lubang itu. Warga sadar bahwa butuh kerbelangsungkan kehidupan penyu. Harus ada penyu baru, yang akan terus bertelur untuk sumber telur.

Sayangnya, kesepakatan ini tidak diimbangi pengetahuan yang tepat. Warga berasumsi jika ada 10 butir telur penyu yang disisakan, menjadi tukik, turun ke laut, nanti beberapa tahun akan datang bertelur. Seperti Saidi, dia menganggap penyu itu butuh waktu setahun atau dua tahun menjadi dewasa dan bertelur lagi. Tapi ketika dijelaskan penyu butuh waktu 30 tahun untuk bisa bertelur, dia keheranan. Tidak percaya. Itu pun jika 10 butir telur penyu yang disisakan, lalu menjadi tukik itu bisa selamat sampai usia 30 tahun untuk kembali ke Talonang, lalu bertelur.

‘’Baru tahu kalau lama bertelur,’’ katanya.

 

Hidangan Istimewa

Sayuti adalah saksi bagaimana perubahan jumlah penyu bertelur di Talonang. Usianya sudah 71 tahun. Dia datang ke Talonang pada tahun 1970-an. Tahun 1980-an sudah mulai mencari telur penyu, dikonsumsi dan dijual. Pada tahun 1980-an jumlah penyu yang bertelur cukup banyak. Pernah suatu malam sampai belasan ekor penyu, paling sedikit 10 ekor penyu. Tidak habis telur penyu diambil. Warga mengambil semampunya saja.

Perlahan jumlah penduduk Talonang bertambah. Pendatang baru dari transmigrasi mempercepat penambahan itu. Jumlah warga yang berburu telur penyu semakin banyak. Permintaan telur penyu semakin banyak. Telur penyu naik kelas menjadi hidangan istimewa dalam setiap pesta. Jika ada pejabat yang datang ke desa, menyuguhkan telur penyu adalah kebanggaan sebagai tuan rumah. Harga telur penyu semakin mahal. Bisa tiga kali lipat harga telur ayam.

Semakin mahal harganya semakin tergoda para pemburu telur penyu. semakin banyak yang ikut berburu bahkan menjadi pekerjaan utama. Seperti Sayuti. Di usianya sudah kepala tujuh, tidak sekuat dulu lagi untuk bertani. Mencari telur penyu hanya bermodalkan senter dan kantong karung atau kantong plastik. Duduk mengamati penyu naik.

‘’Dulu saya pernah dapat satu lubang sampai 170 butir,’’ katanya.

Ada kesepakatan warga yang berburu telur penyu, setelah malam perburuan selesai, ada dikumpulan 75 butir telur. 75 butir itu akan dibagi rata jumlah orang yang berburu malam itu. Termasuk jika ada warga yang hanya datang sekadar iseng, asalkan sudah duduk di pasir pantai, dia akan mendapatkan jatah.

‘’Nanti kalau kami dapat banyak, bapak-bapak yang di sini semuanya akan dapat,’’ katanya menunjuk tim sosialisasi konservasi penyu.

menarik dibaca : Menjaga Penyu, Menjaga Kehidupan di Malang Selatan

 

Satu diantara 3 ekor penyu yang naik untuk bertelur di Pantai Mawil, Desa Talonang Baru, Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, NTB. Petugas menyelamatkan telur-telur penyu dan dibawa ke penangkaran sementara di Desa Sekongkang Bawah. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Seperti diketahui semua jenis penyu berstatus dilindungi sesuai Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No.31/2004 tentang Perikanan yang telah diubah dengan UU No.45/2009. Juga melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Sehingga segala bentuk perdagangan penyu baik dalam keadaan hidup, mati maupun bagian tubuhnya termasuk telurnya itu dilarang.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No.20/2018 tentang Jenis dan Satwa yang Dilindungi dan Permen LHK No.106/2018 tentang perubahan Permen LHK No.20 tahun 2018 menyatakan bahwa 6 jenis penyu tergolong satwa yang dilindungi oleh Undang-Undang.

Sedangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam rangka melakukan penertiban terhadap pemanfaatan penyu dan turunannya juga menerbitkan Surat Edaran No. SE 526 tahun 2015 tentang Pelaksanaan Perlindungan Penyu, Telur, Bagian Tubuh, dan/atau Produk Turunannya.

Sementara ketentuan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna), semua jenis penyu laut telah dimasukan dalam appendix I yang artinya perdagangan internasional penyu untuk tujuan komersil juga dilarang. Badan Konservasi dunia IUCN memasukkan penyu sisik ke dalam daftar spesies yang sangat terancam punah. Sedangkan penyu hijau, penyu lekang, dan penyu tempayan digolongkan sebagai terancam punah.

 

 

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Perburuan telur penyu masih terjadi di Aceh, kondisi ini menyebabkan terganggunya populasi penyu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version