Mongabay.co.id

Kala W20 Dinilai Tak Sentuh Persoalan Perempuan Adat dan Petani

 

 

 

 

“North Sumatera Women Against Deforestation.” Sebuah spanduk kuning terbentang di tengah Danau Toba. Dari atas kapal, para perempuan juga membawa spanduk dengan beragam pesan. “Hentikan aktivitas dan cabut izin Dairi Prima Mineral.” “Cabut izin TPL.” “Kedaulatan pangan bukan food estate.” “Selamatkan Tombak Haminjon.” “Wonderful Toba without Oligarchy.” Pesan lewat poster dan spanduk ini mereka suarakan saat berlangsung forum dunia W20 di Parapat, Simalungun, Sumatera Utara, 20 Juli lalu.

Pagi itu, sejumlah perwakilan organisasi sipil, aktivis, dan perempuan adat Tanah Batak, di dalam kapal feri, berdiri sambil menunjukkan poster protes forum W20 yang dinilai tak mengangkat isu perempuan adat di Indonesia.

“Forum Dunia W20, sebuah ajang besar yang tidak membumi, partisipasi perempuan tak menyasar problem utama di Sumatera Utara khusus di Kawasan Danau Toba,” kata Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Dian Siswarini, Co-Chair W20 Indonesia, mengatakan, pertemuan W20 Summit di Danau Toba kali ini membahas isu prioritas seperti kesetaraan dan diskriminasi gender, ekonomi inklusif, hingga usaha mikro kecil menengah (UMKM) perempuan.

 

Baca juga: Konflik Lahan dan Kerusakan Lingkungan Terus Terjadi dalam Operasi PT TPL

Masyarakat adat mematok wilayah hukum adat mereka dikuasai TPL. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Selain itu dibahas juga isu peningkatan akses perempuan disabilitas dan perempuan pedesaan pada pendidikan, teknologi, keuangan dan kesetaraan kesehatan. Hasil pertemuan dari W20 yang berlangsung 19-21 Juli ini akan diajukan pada pertemuan KTT G20.

Saat penutupan sekaligus penyerahan dokumen pertemuan W20 dari Dian kepada Edi Prambudi, selaku Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Antar Negara.

Dari KTT Women Twenty Summit ini melahirkan “Toba Track,” dengan lima isu fokus, yakni, nondiskriminasi dan kesetaraan, pemberdayaan perempuan desa, UMKM dimiliki dan dipimpin perempuan, pemberdayaan perempuan disabilitas dan kesehatan berkeadilan gender. Dokumen ini kemudian akan diajukan jadi agenda dalam KTT G20 nanti.

Sekar bilang, hal ini tak berkaca pada yang sedang terjadi di Sumatera Utara dan sekitar. Dia bilang, masyarakat lokal terlebih perempuan adat dan petani terpaksa kehilangan ruang hidup karena perampasan tanah dan hutan oleh perusahaan.

“Belum selesai soal deforestasi oleh TPL (perusahaan hutan tanaman industri, PT Toba Pulp Lestari), tambang di Dairi, maupun hilang hutan kemenyan alih fungsi menjadi food estate merugikan warga adat”, katanya.

 

Baca juga: Aksi Jalan Kaki dari Sumut ke Jakarta, Demi Kelestarian Danau Toba

Spanduk di tengah Danau Toba oleh Greenpeace Indonesia bersama KSPPM dan lain-lain sebagai asi protes atas W20 Summit yang dinilai tak menyentuh persoalan perempuan adat dan perempuan tani. Fioto: Greenpeace Indonesia

 

Sekar ingin dunia tahu, kalau perempuan adat di Sumatera Utara telah lama jadi korban pembangunan yang eksploitatif.

Greenpeace menilai, proyek pembangunan di Sumut menimbulkan konflik sosial. Deforestasi merusak lingkungan hidup hingga merugikan warga yang bergantung pada hasil hutan.

“Pembangunan mengesampingkan bahkan melanggar hak-hak perempuan.”

 

Forum tandingan

Di luar pertemuan W20, sekitar 50 perempuan adat membentuk forum tandingan, Ina (Ibu) Summit. Mereka berdiskusi tentang ketidakadilan dan kemiskinan struktural yang dialami perempuan di pedesaan.

Forum Perempuan Tani dan Perempuan Adat di Sumatera Utara pun mengirim surat kepada 16 negara delegasi W20. Mereka tuntut tujuh hal. Pertama, pemenuhan reforma agraria sejati sebagai isu prioritas dalam pertemuan G20 mendatang.

Kedua, mendorong komitmen bersama negara-negara G20 menghentikan segala bentuk kriminalisasi, intimidasi, diskriminasi dan kekerasan terhadap para perempuan tani dan adat yang berjuang mempertahankan ruang hidup dari dampak investasi.

Ketiga, menolak investasi yang memiskinan kelompok perempuan terkhusus perempuan tani dan adat seperti tambang di Dairi, hutan tanaman industri di sekitar Danau Toba dan proyek pengembangan pangan skala besar (food estate).

 

Para aktivis dan peremouan adat memegang poster di dalam kapal ferry di tengah Danau Toba. Foto: Greenpeace Indonesia

 

Keempat, mendorong kebijakan dan aksi bidang pertanian maupun pangan bagi kepentingan perempuan pedesaan dan petani perempuan. Juga, menuju ketahanan pangan dan kesetaraan gender.

Kelima, mendukung upaya-upaya perempuan pedesaan dan petani perempuan dalam mengakses layanan keuangan dan pengetahuan serta keterampilan, pengembangan berbagai produksi pertanian berbasis peningkatan ekonomi dan kelestarian lingkungan.

Keenam, Forum Petani dan Perempuan Adat juga mendorong berbagai investasi hijau bidang pertanian dan pangan yang berpihak pada kebutuhan perempuan di pedesaan. Juga, petani perempuan berbasis penguatan ekonomi, ekologi, kesehatan dan kemandirian petani perempuan.

Ketujuh, mendorong delegasi W20 menetapkan pentingnya status perempuan dalam bentuk partisipasi dan akses setara, posisi kuat di desa sebagai petani dalam memperoleh pangan dan pendapatan di pedesaan. Juga, pengambilan keputusan bidang pertanian dan pangan.

Ada berbagai organisasi terlibat dalam forum tandingan, Ina Summit, antara lain, KSPPM, Greenpeace, KPA, AKSI, RAN, AMAN, Bakumsu, Bitra, PDPK, Petrasa, YAK, dan Yapidi.

Delima Silalahi, Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), mengatakan, mereka mengirim surat kepada para delegasi W20. “Para undangan dari beberapa negara mendapat perspektif berbeda terkait perempuan pedesaan dan perempuan adat,” katanya.

Dalam Forum W20, dia juga berkesempatan menyuarakan hak-hak perempuan adat dalam tema diskusi “Addressing Intersectionality For Inclusive Economic Growth: Rural Women and Women with disabilities”.

 

Aktivis perempuan memegang spanduk di dalam kapal ferry di Danau Toba. Mereka aksi di tengah berlangsung W20 Summit di Parapat. Foto: Greenpeace Indonesia

 

Perampasan lahan dan krisis iklim

KSPPM sebagi lembaga pendamping masyarakat di Kawasan Danau Toba, menilai, perampasan tanah atas nama pembangunan merupakan isu penting.

Hasil penelitian KSPPM, sejak 1980-an konflik agraria makin meningkat karena kehadiran industri ekstraktif seperti TPL.

Tanah adat diklaim sebagai konsesi perusahaan yang menyebabkan masyarakat adat kehilangan tanah mereka. Ada juga proyek strategis nasional lewat pengembangan pariwisata internasional maupun food estate.

Dalam surat yang dilayangkan kepada delegasi W20 juag menyebutkan, program pembangunan melanggar prinsip free and prior informed consent/FPIC) , dimana perempuan tak memiliki ruang partisipasi, tanpa akses informasi, kontrol, dan manfaat bagi kualitas hidupnya.

Selain itu, banyak program mengancam akses perempuan tani dan adat terhadap tanah dan sumber mata pencaharian lain.

Seharusnya, pembangunan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, proyek-proyek pembangunan malah menimbulkan banyak bencana ekologis yang berdampak buruk bagi perempuan pedesaan.

“Saat ini, kita juga menghadapi krisis iklim yang makin parah. Mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dibahas serius, kebijakan pembangunan tetap tidak peka terhadap lingkungan,” kata Delima.

Dia mengatakan, perempuan petani dan adat paling rentan dari krisis iklim. Kedaulatan pangan keluarga petani terdampak buruk dari banjir, tanah longsor, kekeringan dan dampak iklim yang terjadi.

“Sebagian besar waktu, perempuan dan anak-anak sangat menderita dalam kondisi ini.”

Selain itu, katanya, industri pangan, lewat food estate hanya menyebabkan kerusakan hutan dan lingkungan, maupun merusak sistem pangan lokal. Secara historis, perempuan petani, dan perempuan adat menjadi penjaga kedaulatan pangan kuat bagi keluarga dan bangsa.

 

Exit mobile version