Mongabay.co.id

Agar Terumbu Karang Aman, Nelayan Banda Diminta Pakai Alat Tangkap Ramah Lingkungan 

 

Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Ambon, Maluku mengajak masyarakat nelayan di Pulau Banda, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), agar menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan di daerah Konservasi Laut Banda. Ihwal ini guna menjaga biota laut, seperti terumbu karang agar tidak mengalami kerusakan.

Menurut PSDKP Ambon, pada umumnya kerusakan terumbu karang berdampak signifikan terhadap kelangsungan ekosistem laut. Sehingga sebagai tempat tinggal dan juga habitat ikan, terumbu karang mesti dilestarikan untuk keseimbangan ekosistem.

PSDKP Ambon dan Direktorat Polairud Maluku, Minggu (24/7/2022), menggelar operasi pengawasan di Laut Banda. Dibantu beberapa instansi terkait, mereka menemukan banyak sekali nelayan setempat yang menggunakan alat penangkap ikan tidak ramah lingkungan. Kondisi itu mengancam keberadaan biota laut, apalagi yang berada di zona konservasi.

“Kita minta agar masyarakat nelayan di daerah Konservasi Laut Banda menggunakan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan agar tidak mengganggu terumbu karang,” tegas Mubarak, Komandan PSDKP Ambon saat dikonfirmasi Mongabay Indonesia, Selasa (26/7/2022).

Saat patroli, katanya, pihaknya bersama Direktorat Polairud Polda Maluku sudah menyampaikan kepada nelayan agar tidak lagi melakukan aktivitas penangkapan ikan dengan alat tangkap atau alat bantu yang berpotensi merusak sumber daya laut dan perikanan.

baca : Diskusi dengan Jokowi, Ini Keluhan Nelayan dan Pelaku Usaha Perikanan di Maluku

 

PSDKP Ambon dan Direktorat Polairud Polda Maluku saat melakukan operasi pengawasan terhadap nelayan di Pulau Banda, Maluku Tengah, Minggu (24/7/2022). Foto : Polairud Polda Maluku

 

Alat tangkap yang sering dipakai nelayan di sana, ungkap Mubarak, yakni bahan peledak atau bom ikan, racun potas, termasuk rumpon. Bahkan pihaknya pun menemukan cara tangkap yang tidak ideal.

“Selain alat tangkap, juga cara tangkap yang tidak baik, seperti meletakkan perangkap ikan (bubu) di atas terumbu karang,” ungkapnya.

Nelayan kecil di sana juga menangkap ikan pada area terumbu karang. Kemudian menggunakan jaring gillnet. Padahal Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono telah mengeluarkan aturan tentang larangan alat penangkapan ikan yang dapat merusak lingkungan yaitu

Permen KP No.18/2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.

Informasi dihimpun Mongabay Indonesia, praktek penangkapan ikan menggunakan alat tidak ramah lingkungan seperti bahan peledak, tidak saja terjadi di Pulau Banda Maluku Tengah, namun juga sebagian besar kawasan laut Maluku, salah satunya di Kabupaten Seram Bagian Barat.

 

Rumpon

Rumpon juga menjadi salah satu wadah yang dipakai nelayan di sana untuk menangkap tuna dan ikan pelagis. Menurut Mubarak, nelayan tuna sudah sewajarnya membutuhkan biaya yang tinggi, karena menggunakan rumpon sebagai alat bantu tidak diperbolehkan masuk ke area konservasi.

Pemasangan rumpon harus memiliki izin dari Pemerintah Provinsi Maluku serta tata letaknya mesti disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan. Artinya, pasca moratorium, nelayan tak lagi cari ikan menggunakan rumpon, karena Kementerian Kelautan dan Perikanan melarang dan menertibkan rumpon di perairan laut Indonesia.

“Iya, ada rumpon milik nelayan kecil dengan ukuran kecil dan sederhana. Targetnya hanya ikan pelagis kecil seperti ikan layang, tongkol. Kalau tuna kadang bermain juga di situ, tetapi jarang,” katanya.

Meski begitu, para nelayan di sana tetap ditertibkan untuk tidak menggunakan alat tangkap yang dapat merusak habitat di laut, termasuk tidak menangkap ikan yang dilindungi, seperti pesut (lumba-lumba), raja laut, napoleon, dan terubuk.

baca juga : KKP Tetapkan 3 Kawasan Konservasi Perairan Baru di Maluku

 

PSDKP Ambon dan Direktorat Polairud Polda Maluku saat melakukan operasi pengawasan terhadap nelayan di Pulau Banda, Maluku Tengah, Minggu (24/7/2022). Foto : PSDKP Ambon

 

Kombes Pol. Rosyid Harun, Direktur Polairud Polda Maluku, juga mengimbau agar masyarakat menghentikan aktivitas melautnya dengan cara-cara seperti itu. Dia menegaskan pihaknya akan terus melakukan pengawasan terhadap nelayan di kawasan Maluku Tengah, termasuk di Pulau Banda.

“Kami mengingatkan masyarakat agar tetap memperhatikan atau menggunakan alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Juga menggunakan alat penangkapan ikan yang tidak mengganggu kehidupan terumbu karang dan laut,” ungkapnya.

 

Sumber Daya Perikanan

Amrullah Usemahu Wasekjen Masyarakat Perikanan Nusantara saat dikonfirmasi Mongabay Indonesia, Selasa (26/7/2022), mengatakan, Perairan Laut Banda masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 714.

Potensi sumberdaya ikan perikanan berdasarkan Keputusan Menteri KP RI No.19/2022 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, jumlah tangkapan yang diperbolehkan, dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di WPP seluruh Indonesia berjumlah 1.032.979 ton.

Jumlah itu terdiri dari 9 kelompok utama yaitu ikan pelagis kecil 222.881 ton per tahun, ikan pelagis besar (non tuna cakalang) 370.653, ikan demersal 292.000, ikan karang 121.326, udang paneid 6.472, lobster 724, kepiting 1.758, rajungan 4.705, dan cumi-cumi 13.460 ton per tahun.

Sebelumnya telah ditetapkan Keputusan Menteri KP No.58/2014 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Wisata Perairan Laut Banda di Provinsi Maluku Tahun 2014-2034.

Luas Kawasan Konservasi Perairan Nasional TWP Laut Banda adalah 2.500 ha. Selain itu Laut Banda juga merupakan kawasan konservasi yellowfin tuna, yang dilakukan penutupan daerah penangkapan ikan tersebut pada Oktober–Desember, karena merupakan waktu pemijahan (spawning ground) seperti tertuang dalam Permen KP No.26/2020 tentang Larangan Penangkapan Ikan Madidihang (Thunnus albacares) di Daerah Pemijahan dan Daerah Bertelur di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 714 pada Bulan Oktober-Desember

Dan melalui Kepmen KP Nomor 48 Tahun 2021 tentang tentang Kawasan Konservasi di Perairan Pulau AY dan Pulau RHUN di Provinsi Maluku, lanjut Usemahu, Pulau Ay dan Rhun dijadikan Kawasan Konservasi Perairan.

Dengan berbagai regulasi yang dibuat untuk pengelolaan perikanan di perairan Laut Banda, terlihat bahwa kawasan ini merupakan salah satu jantung dari sumberdaya perikanan yang harus dijaga potensi sumberdaya pesisir dan lautnya, agar tidak mengalami kerusakan atau degradasi yang berujung terhadap penurunan kualitas dan kuantitas pemanfaatannya.

“Kita harus jaga agar pemanfaatannya berkelanjutan untuk generasi berikut, salah satunya dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan,” ujarnya.

baca juga : Ini Tantangan Pelestarian Biodiversitas di Laut Maluku Setelah Penetapan Kawasan Konservasi

 

PSDKP Ambon dan Direktorat Polairud Polda Maluku saat melakukan operasi pengawasan terhadap nelayan di Pulau Banda, Maluku Tengah, Minggu (24/7/2022). Foto : PSDKP Ambon

 

Kalau diamati bersama, kawasan pesisir yang berada pada pusat perairan Laut Banda itu terdapat kepulauan Banda Naira dan Teon Nila Serua. Biasanya pada wilayah pesisir kepulauan dan pulau-pulau kecil ini memiliki biodiversitas sangat tinggi, karena terdapat ekosistem pesisir yang bernilai ekonomis penting dalam sistem ekologi perairan. Ada mangrove, lamun dan terumbu karang.

Ekosistem tersebut perlu dirawat dan dijaga dengan baik, sebab jika rusak butuh waktu yang cukup lama untuk pulih dan dampaknya sangat besar terhadap sumberdaya ikan yang tersedia. Menurutnya, sejumlah titik di Laut Banda dijadikan sebagai kawasan konservasi perairan lantaran berupaya untuk menjaga sumberdaya pesisir tersebut agar tetap lestari dan berdampak luas bagi masyarakat.

Dia mengatakan, upaya penangkapan ikan secara dekstruktif, seperti menggunakan bius dan pengeboman tidak boleh lagi dilakukan karena bisa merusak ekosistem dan habitat sumber daya ikan yang berada di sekitar. Olehnya, perlu dilakukan pengawasan ketat oleh aparat pengawasan terkait, baik PSDKP, Polair, TNI AL dan lainnya.

“Kita harus menggunakan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan sesuai dengan kebijakan yang dibuat. Oleh karena itu dibutuhkan kedisiplinan serta kesadaran masyarakat dalam pengimplementasian di lapangan,” ujarnya.

Selain melakukan pengawasan dan edukasi kepada masyarakat, perlu juga ada sentuhan, baik melalui sosialisasi dan pelatihan kepada masyarakat, dan terpenting adalah melakukan pendampingan dan pemberian bantuan alat tangkap dan lain-lain kepada masyarakat nelayan.

Dengan begini, lanjutnya, nelayan merasa diperhatikan dan diberdayakan. Karena bisa saja alasan nelayan melakukan destructive fishing lantaran tekanan kebutuhan ekonomi maupun terkendala sarana dan prasarana operasional melaut, apalagi ditengah tren hasil tangkapan nelayan yang menurun.

baca juga : Apa Kabar Program Lumbung Ikan Nasional Maluku?

 

Sekelompok nelayan tradisional dengan perahu kecilnya sedang menangkap ikan di perairan Maluku. Foto : shutterstock

 

Mantan Korwil VII Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia (Himapikani) ini menjelaskan, kawasan konservasi yang dibuat sebenarnya bukan untuk membatasi ruang gerak masyarakat, khususnya nelayan, pasalnya dalam pengaturannya sudah ada zonasi yang dibagi dalam hal pemanfaatan sumberdaya ikan.

“Seperti zona inti, zona perikanan berkelanjutan dengan satu sub zona yaitu zona perikanan berkelanjutan budidaya, zona pemanfaatan dan zona lain semisal zona rehabilitasi yang memiliki potensi, peruntukan/tujuan zona dan kegiatan yang boleh dan tidak boleh beraktifitas untuk masing-masing zona,” jelas Usemahu.

Dengan pemetaan berdasarkan zona yang ada, pastinya nelayan lokal telah diatur aktifitas perikanannya. Karena memang ada kegiatan-kegiatan perikanan yang dilarang maupun dibatasi untuk masing-masing zona.

“Intinya dalam pengelolaan perikanan, kita harus menjaga keseimbangan antara ekonomi, sosial dan ekologi,” ujarnya.

 

 

Exit mobile version