Mongabay.co.id

Sungai, Pindang Ikan, dan Akulturasi

Hadirnya kelompok perempuan peduli Sungai Musi merupakan kabar baik yang harus didukung semua pihak demi kelestarian sungai tersebut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Peradaban masyarakat di Sumatera Selatan, salah satunya terbentuk dari tradisi sungai. Ada ratusan sungai di Sumatera Selatan, yang sebagian besar berhulu di dataran tinggi Bukit Barisan.

Ratusan sungai itu bermuara di sembilan sungai besar; Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Rawas, Sungai Kelingi, Sungai Rupit, Sungai Batanghari Leko, Sungai Lakitan, dan Sungai Musi.

Setiap sungai memiliki beragam jenis ikan air tawar, termasuk ikan endemik, yang hidup di arus deras dan arus tenang, termasuk di rawang [rawa gambut]. Tercatat 233 jenis ikan air tawar di Sumatera Selatan.

Sejak masa Kedatuan Sriwijaya, sejumlah ikan yang dimanfaatkan kebanyakan ikan berpatil, seperti baung, gabus, toman, lais, tapa, serta sejumlah ikan tidak berpatil seperti ikan betok, ikan semah dan ikan arwana.

Sebagai komoditas makanan, ikan-ikan tersebut diolah masyarakat di Sumatera Selatan menjadi masakan dengan cara dibakar, dipanggang, direbus, diasin, diasap, difermentasi, atau diolah dengan bahan lain seperti sagu [pempek atau lenjeran].

Ikan yang dimasak dengan cara direbus atau menggunakan air ini disebut pindang ikan. Memasak pindang disebut mindang.

Baca: Hari Sungai Nasional: Kita Bangga Punya Banyak Sungai, tapi Tidak Merawatnya

 

Kelompok perempuan peduli Sungai Musi sudah terbentuk di Kecamatan 15 Ulu, Palembang, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pindang ikan

Masakan pindang ikan di Sumatera Selatan tidak sama pada setiap komunitas masyarakat. Rasa dan rupanya beragam. Sebab masakan ini terkait dengan kondisi bentang alam dari masyarakat yang mengonsumsi masakan pindang ikan tersebut.

Misalnya bumbu [rempah] dan rampai. Mereka yang berada di wilayah pesisir selain menggunakan serai, kunyit, lengkuas, jahe, cabai merah, garam, serta ditambahi terasi, sedangkan rampainya seperti daun kemangi, cabai rawit, nenas, atau tomat ceri [cung kediro].

Sementara di wilayah dataran tinggi, tidak menggunakan terasi, dan rampainya ditambahi durian dan daun bawang. Sementara bumbunya ditambahi kemiri dan gula aren.

Di Palembang, masakan pindang ikan ini ditambahi kecap dan gula aren. Yang disebut pindang kecap. Ikan yang digunakan adalah ikan selai atau ikan asap.

Dalam perkembangannya, masakan pindang ikan di Sumatera Selatan menggunakan rempah atau bumbu dari etnis atau suku pendatang seperti bawang merah [India], bawang putih [Tionghoa], dan asam jawa [India, Jawa].

Saat ini, masakan pindang ikan bukan lagi menjadi masakan rumah, tapi sudah menjadi komoditas rumah makan. Terdapat puluhan rumah makan yang khusus menghidangkan masakan pindang ikan. Baik di Palembang, juga beberapa kota besar di Indonesia.

Rumah makan yang menyajikan masakan pindang ini akan menyebutkan komunitasnya, seperti “Pindang Pegagan”, “Pindang Meranjat”, “Pindang Rawas”, atau “Pindang Musi”.

Baca: Rumahku Tidak Mampu Meninggalkan Sungai Musi

 

Ikan belida [Chitala lopis] dengan pembanding mistar. Di Sumatera Selatan, ikan belida menjadi maskot dan juga sebagai bahan baku makanan khas daerah, yaitu pempek, kerupuk, dan kemplang. Sumber: Wikimedia Commons/Arif Wibowo, Balit Perikanan Air Tawar Palembang/Lisensi Creative Commons Attribution 3.0/Free to share

 

***

Menelisik masakan pindang ikan di Sumatera Selatan, ada beberapa kesimpulan yang didapat, yakni:

Pertama, masakan pindang menandakan lanskap di Sumatera Selatan. Dari ekosistem wilayah dataran tinggi, dataran rendah, dan pesisir, yang terkoneksi melalui sungai.

Kedua, masakan pindang ikan menjadi media akulturasi. Membaurnya berbagai tradisi dan budaya sejumlah suku bangsa di Sumatera Selatan.

Ketiga, masakan pindang menjadi media ekspresi dan komunikasi para perempuan Melayu. Misalnya, melalui tradisi mindang atau bersama memasak pindang ikan, baik dalam hajatan atau pertemuan keluarga.

Baca: Kisah Sungai di Sumatera, dari Kejayaan Menuju Kerusakan

 

Ikan tapah seberat 2 ons yang dibesarkan nelayan di Desa Danau Cala, Kabupaten Muba, Sumsel, menggunakan keramba. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

***

Pada hari ini, keberadaan masakan pindang ikan di Sumatera Selatan mulai terancam. Sebab perubahan bentang alam, seperti kerusakan sungai, rawa gambut, dan hutan, mengakibatkan berkurang atau hilangnya keberagaman jenis ikan sebagai bahan baku masakan pindang.

Sekitar 3,5 juta hektar hutan dan rawa gambut [kawasan daerah aliran sungai-DAS] di Sumatera Selatan mengalami perubahan bentang alam.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Sumatera Selatan mencatat dari luasan 9,15 juta hektar, korporasi menguasai lahan di Sumatera Selatan seluas 3.553.417 hektar. Negara hanya 1.700.104 hektar, dan rakyat seluas 3.906.162 hektar.

Lahan korporasi tersebut yakni HTI seluas 1.564.493 hektar, perkebunan [sawit, karet, tebu, dan lainnya] sekitar 1.313.094 hektar, serta pertambangan [675.830 hektar].

Banyak sungai di Sumatera Selatan yang rusak atau hilang. Di Palembang saja tercatat 221 anak Sungai Musi yang hilang.

Dampak dari perubahan bentang alam tersebut, bahan baku pindang ikan pada saat ini lebih bergantung pada ikan tambak, yakni ikan patin. Sementara ikan lainnya, seperti ikan gabus, lais, baung, toman, mulai sulit didapatkan. Apalagi ikan-ikan ini sangat sulit dibudidayakan.

Muhammad Iqbal yang bersama sejumlah rekannya menulis buku “Ikan-Ikan di Sungai Musi dan Pesisir Timur Sumatera Selatan [2018]”, menjelaskan ancaman terhadap keberadaan ikan tersebut bukan hanya perubahan bentang alam menjadi lahan pertanian, HTI [Hutan Tanaman Industri], dan perkebunan sawit, juga limbah industri dan perkebunan yang menggunakan bahan kimia.

Selanjutnya, penangkapan ikan yang berlebihan atau tidak lestari. Penangkapan ikan menggunakan putas atau racun, dan setrum listrik.

Terakhir, maraknya pelepasan ikan invasif seperti nila, mujair, lele, yang membuat ikan alami atau lokal kalah dalam mendapatkan makanan atau mereka memakan anak-anak ikan lokal.

Terganggunya reproduksi ikan di Sumatera Selatan juga kian meningkatnya pencemaran bahan kimia.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Tim Ekspedisi Sungai Nusantara [ESN] bersama perkumpulan Telapak Sumatra Selatan dan Spora Institut Palembang, beberapa waktu lalu, disebutkan air di Sungai Musi, menunjukkan kadar logam berat mangan [0,2 PPM], tembaga [0.06 PPM], klorin [0,16 MG/Liter], phospat [0,59 MG/Liter], yang melampaui standar [0,03 PPM].

Baca juga: Belida, Ikan Berpunggung Pisau Asli Indonesia

 

Pindang ikan patin, masakan khas masyarakat sekitar rawa gambut dan sungai di Sumatera Selatan. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

***

Dengan rusaknya sungai, rawa gambut, mangrove, serta DAS [Daerah Aliran Sungai], di Sumatera Selatan, maka masakan pindang ikan dan beragam masakan berbahan ikan juga terancam. Jika pun bertahan, bahan baku hasil dari pertambakan yang tentunya menghasilkan limbah bagi perairan.

Hilangnya pindang ikan, maka hilang pula jejak akulturasi, media ekspresi dan komunikasi kaum perempuan Melayu, serta sumber ekonomi masyarakat [usaha mikro].

Solusinya, sekali lagi, kurangi berbagai aktivitas yang merusak sungai, rawa gambut, dan mangrove. Baik perkebunan skala besar, penambangan, limbah industri, limbah rumah tangga, serta penangkapan ikan yang berlebihan [industri perikanan].

Selamat Hari Sungai Nasional.

 

* Taufik Wijaya, jurnalis, penyair dan pekerja seni di komunitas Teater Potlot. Menetap di Palembang, Sumatera Selatan. Tulisan ini opini penulis.

 

Exit mobile version