Mongabay.co.id

Kelik Sulung, “Penghuni” Rawa Gambut Kepulauan Bangka Belitung

 

 

Lahan basah merupakan habitat bagi sejumlah ikan air tawar endemik di Kepulauan Bangka Belitung. Salah satunya ikan kelik sulung [Encheloclarias tapeinopterus] dari keluarga lele [Clariidaee], yang hingga saat ini hanya dapat ditemukan di Pulau Bangka.

Merujuk jurnal berjudul “Freshwater fishes of Western Indonesia and Sulawesi” oleh Kottelat dkk. dalam fishbase.de, perbedaan mencolok spesies ini dengan lele adalah ukuran maksimalnya hanya mencapai 12,4 sentimeter. Sirip adiposanya cukup panjang serta tidak didukung ekstensi duri saraf.

Swarlanda, pembina sekaligus pendiri Yayasan Ikan Endemik Bangka Belitung “The Tanggokers”, mengatakan, ciri khusus kelik sulung ada pada dorsal bagian atas, yang lebih pendek dibandingkan jenis clarias atau lele alam lain.

“Dorsal punggug kelik sulung hanya pada tengah punggung tubuh, antara kepala dan ekor, serta memiliki 24 duri punggung lunak,” lanjutnya.

Nur Djumadiel Iman, Ketua The Tanggokers, mengatakan kelik sulung biasa hidup di antara akar pohon di hutan rawa gambut serta aliran sungai kecil bawah tanah yang dipenuhi tumpukan daun mati.

“Spesies sejati penghuni habitat blackwater [rawa dan sungai] yang berasosiasi dengan hutan rawa gambut. Ikan ini jarang melakukan migrasi jauh dari habitat aslinya,” katanya, Senin [18/06/2022].

Saat memasuki kemarau, kelik sulung memanfaatkan sumber mata air murni di tengah hutan sebagai tempat bernaung.

“Ikan ini penjaga sumber mata air. Saat kami mendatanya di sebuah kawasan hutan Pulau Bangka, beberapa waktu lalu, kelik sulung makin sulit ditemukan. Hampir semua kantong habitatnya dekelilingi perkebunan sawit dan pertambangan,” ujarnya.

Merujuk IUCN Red List, dari tujuh spesies lele dari Genus Encheloclarias yang tersebar terbatas di dataran Sundaland [Asia Tenggara], semuanya berstatus Rentan hingga Kritis. Ada Encheloclarias prolatus [Genting], Encheloclarias medialis [Rentan], Encheloclarias curtisoma [Genting], Encheloclarias tapeinopterus [Rentan], Encheloclarias kelioides [Kritis], Encheloclarias baculum [Genting], dan Encheloclarias Belarus [Rentan].

Baca: Kelik Puteh, Ikan Lele “Albino” yang Mulai Menghilang dari Pulau Bangka

 

Kelik sulung merupakan penghuni sejati habitat rawa dan sungai yang berasosiasi dengan hutan rawa gambut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Swarlanda menjelaskan, ancaman kelestarian kelik sulung di Bangka adalah degaradasi habitat.

“Kawasan dataran rendah menjadi target aktivitas penambangan timah dan tambang, diduga banyak mengandung timah, ditambah lagi sering disebut lahan tidur,” katanya.

Berdasarkan DIKPLHD [Dokumen Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2021, provinsi dengan luas daratan 1,6 juta hektar ini memliki lahan gambut seluas 47.996,36 hektar. Kabupaten Bangka Tengah terluas, sekitar  20.975,49 hektar atau setara 43,70 persen luas gambut di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, sementara di Belitung tidak memiliki gambut.

Dokumen yang sama menyatakan, persentase kondisi lahan gambut yang belum mengalami kerusakan di bawah 6 persen, atau lebih kurang 2.800 hektar. Hasil overlay dengan peta penutup lahan tahun 2020 diperoleh indikasi penyebab kerusakan yaitu konversi lahan gambut menjadi perkebunan, pertambangan, pertanian lahan kering campur semak serta lahan terbangun.

“Di antara konversi lahan tersebut, perkebunan dan pertambangan penyumbang terbesar,” tulis dokumen tersebut.

Baca: Kisah Pilu Dugong di Perairan Pulau Bangka

 

Ciri khas kelik sulung adalah ada dorsal punggungnya yang memiliki 24 duri lunak. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Gambut dan ikan endemik

Berdasarkan penelitian yang dipublikasi Ecological Society of America and Wiley dalam jstor.org berjudul “Global extinctions of freshwater fishes follow peatland conversion in Sundaland” oleh Xingli Giam dkk., lahan gambut di Sundaland yang masuk hotspot keanekaragaman hayati meliputi Semenanjung Malaysia, kepulauan di Borneo, Jawa dan Sumatera. Luasnya mencapai 1,6 juta hektar atau 36 persen dari luasan lahan gambut tropis dunia.

Dari luasan tersebut, ada 102 jenis ikan endemik yang bergantung pada ekosistem lahan gambut. Namun, masa depan spesies ini terancam deforestasi. Tingkat konversi hutan rawa gambut didominasi pertanian dan berlanjut hingga 2050, diperkirakan 16 spesies ikan air tawar endemik dapat punah secara global.

“Dalam skenario terburuk, wilayah paling cepat rusak adalah daerah aliran sungai [DAS]. Sekitar 77 persen [79 dari 102 spesies] spesies ikan yang beradaptasi secara sempit [stenotopik] di gambut, kemungkinan besar akan punah, dua kali lipat dari angka kepunahan ikan air tawar dunia yang diketahui,” tulis penelitian tersebut.

Dalam penelitian yang sama, juga diurutkan 10 spesies ikan air tawar endemik paling rentan punah karena degradasi gambut, yakni  Encheloclarias prolatus, Betta brownorum, Sundadanio Goblinus, Sundadanio margarition, Betta ibanorum, Betta Burdigala [endemik Bangka Belitung], Encheloclarias tapeinopterus [endemik Bangka Belitung], Paedocypris progenetica, Parosphromenus allani, dan Hyalobagrus ornatus.

“Kehilangan spesies ikan ini, akan diringi pengeringan daerah aliran sungai secara global pada 2070” tulis penelitian tersebut.

Baca: Cara Unik Masyarakat Pulau Bangka Menjaga Kelestarian Satwa Liar

 

Kondisi hutan rawa gambut di Pulau Bangka yang tergerus aktivitas pertambangan dan perkebunan sawit skala besar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pendekatan konservasi

Berdasarkan observasi lapangan yang dilakukan oleh Yayasan Ikan Endemik Bangka Belitung setiap tiga bulan sekali, umumnya habitat ikan endemik di Bangka Belitung berada di luar kawasan lindung ataupun konservasi.

“Hampir semua kantong habitat masuk kawasan hutan produksi atau area penggunaan lain [APL]. Kondisi ini membahayakan kelestarian ikan endemik di Pulau Bangka, karena rentan dikonversi menjadi lahan perkebunan ataupun pertambangan,” kata Djumadiel.

Berdasarkan dokumen SLHD [Status Lingkungan Hidup Daeah] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2014, luas kawasan hutan di Bangka Belitung mencapai 657.380 hektar, sementara dalam dokumen IKPLHD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2021, luas kawasan hutan pada tahun 2015 tersisa 235.585,8 hektar, atau berkurang 421.794,2 hektar dalam setahun.

Luasan tersebut terus mengalami penurunan, hingga pada 2020 tersisa 197.255,2 hektar. Artinya, kurang 6 tahun [2014-2020], Bangka Belitung kehilangan hutan seluas 460.000 hektar.

Baca juga: Mentilin, Fauna Identitas Bangka Belitung yang Terancam Punah

 

Aktivitas perkebunan sawit di kaki Gunung Pelawan di Dusun Aik Abik, Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Disi lain, hingga kini belum ada hutan adat di Bangka Belitung yang diakui negara.

“Selama ini, kearifan lokal masyarakat membuat sejumlah ikan endemik bertahan di alam. Masyarakat menjaga hutan tersisa, ditengah masifnya penambangan dan perkebunan sawit. Kami berharap ada lanskap khusus sebagai habitat ikan endemik Bangka Belitung,” kata Swarlanda.

Ahmad Fahrul Syarif, peneliti dari jurusan Akuakultur Universitas Bangka Belitung [UBB] menambahkan, pendekatan konservasi harus “berkiblat” pada kearifan lokal masyarakat setempat.

“Penetapan hutan adat sebagai upaya konservasi ikan endemik, melalui pengetahuan kolektif masyarakat adat di Pulau Bangka harus segera diwujudkan. Selama ini, pengetahuan masyarakat adat tetap konsisten menjaga dan melestarikan ikan beserta habitatnya di alam,” paparnya.

 

Exit mobile version