Mongabay.co.id

Polemik Cantrang: Nelayan Pantura Enggan Berganti Alat Tangkap (3)

 

Sebagian besar nelayan di pantai utara Jawa, seperti di Lamongan (Jawa Timur), Pati, Rembang dan Tegal di Jawa Tengah enggan mengganti cantrang karena hasil tangkapan ikan  yang lebih banyak daripada alat penangkapan ikan (API) lain. Hasil tangkapan Jaring Tarik Berkantong (JTB), API ‘baru’ yang direstui pemerintah dinilai tak setara dengan cantrang.

API JTB direkomendasi pemerintah melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.

Koordinator Front Nelayan Bersatu (FNB) Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Hadi Sutrisno menyatakan, hasil tangkapan yang melimpah menjadi alasan nelayan untuk menggunakan cantrang. Hasil tangkapan yang diperoleh bahkan hampir dua kali lipat dibanding API lain.

Namun, beratnya ancaman sanksi penggunaan cantrang membuat nelayan tak bisa berbuat banyak. Satu per satu, kapal-kapal cantrang di Pati yang sebelum memakai cantrang, kini beralih ke JTB. “Sekalipun banyak teman-teman yang kecewa karena hasil tangkapan JTB ini tak signifikan,” ungkap Hadi kepada Mongabay Indonesia, awal Juli lalu.

Radin, nakhoda kapal asal Kota Tegal, Jawa Tengah mengakui, dari sisi jumlah dan jenis ikan, cantrang memang lebih banyak ketimbang API lain. Masalahnya, melimpahnya hasil tangkapan itu tidak terjadi saban hari. Dalam praktiknya, kegiatan melaut oleh nelayan juga terkadang tanpa hasil. Jika sudah begitu, nelayan pasti rugi.

“Apalagi sekarang, biaya operasional naik semua. BBM naik, bahan-bahan kebutuhan juga naik, sementara harga ikan tetap saja segitu,” ujar nakhoda yang mengoperasikan kapal berukuran 70 GT ini. Pemerintah, kata Radin, perlu melihat lebih jauh bagaimana keseharian para nelayan.

baca : Polemik Cantrang : Kebijakan Pelarangan Setengah Hati (1) 

 

Aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Radin bilang, keberadaan JTB kurang begitu efektif untuk menangkap ikan. Bahkan, ia pun menantang pemerintah untuk ikut melaut untuk mengetahui bagaimana banyak hasil tangkapan yang diperoleh dari JTB.

“Yang bikin aturan itu, suruh bikin kapal nanti saya yang bawa. Silakan dipantau apakah dengan JTB saya dapat ikan atau tidak. Kalau pun dapat, silakan dihitung apakah cukup untuk menutup biaya operasional atau tidak. Biar tidak asal kalau buat kebijakan,” ungkapnya kesal.

 

Untung Melimpah

Melimpahnya hasil tangkapan cantrang dibanding API lain sejalan dengan riset yang dilakukan Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Laut Institut Pertanian Bogor (PKSL IPB). Dalam riset yang dilakukan pada tahun 2017 itu, PKSL memperbandingkan hasil tangkapan cantrang dengan tiga jenis API lain, yakni Arad, Apollo, dan Dogol.

Penelitian dilakukan selama 12 bulan dengan lokasi di empat provinsi berbeda. Yakni, di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten; Kabupaten Indramayu dan Cirebon, Provinsi Jawa Barat; Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur.

PKSL IPB menyebut, pemerintah melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Puslitbangkan KKP) pada tahun 2016 sejatinya telah membuat scoring index terhadap beberapa jenis API. Penentuan indeks dilakukan untuk memudahkan pengaturan pengelolaan sumber daya perikanan di wilayah NKRI berdasarkan prinsip keberlanjutan.

Dari penyusunan indeks tersebut, API cantrang diketahui sebagai alat tangkap dengan indeks tertinggi dibanding alat lain. Seperti jaring klitik, jaring loang, jaring millennium, trammel, bubu, pancing ulur atau bahkan rawai dasar. Alasan ini pula yang menjadikan sebagian nelayan untuk tetap menggunakan cantrang, meski dilarang.

Secara detail, merujuk laporan Puslitbangkan KKP itu, produktivitas cantrang mencapai 62 kg/setting dibandingkan Arad (58 kg), rawai dasar (20 kg), jaring klitik (12 kg) dan jaring loang (11 kg). Dari sisi kualitas, penggunaan cantrang juga lebih banyak mendapatkan tangkapan ikan bernilai ekonomi tinggi daripada alat lain.

baca juga : Polemik Pelarangan Cantrang : Bagaimana Kondisi di Lapangan? (2)

 

Aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Budy Wiryawan, dalam materi Diskusi Pakar Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan (2020) menyebutkan, setidaknya ada 26 jenis ikan yang menjadi tangkapan cantrang. Ikan-ikan tangkapan merupakan kelompok demersal yang didominasi kuniran (Upeneus Sulphureus), Kurisi (Nemipterus spp.), Swanggi (Priacanthus sp.) hingga Pari (Dasyatis spp.).

Materi yang disampaikan Budy tidak jauh berbeda dengan hasil riset Jefri Tri Efendi dan Muhammad Zaenuri dari Universitas Trunojoyo Madura berjudul Perikanan Cantrang dan Permasalahannya di Lamongan. Laporan yang dipublikasikan di Jurnal ilmiah Kelautan dan Perikanan volume 4 tahun 2020 itu mengungkap sedikitnya ada 23 jenis ikan yang menjadi tangkapan cantrang.

Dari jumlah tersebut hanya 6 jenis yang termasuk kategori hasil tangkapan utama (HTU) dan 17 hasil tangkapan sampingan (HTS). Ikan yang termasuk dalam HTU adalah Kurisi (Nemipterus spp.), Kapasan (Geres punctatus), Kerapu (Epinephelus coioides), Gulama (Johnius trachycephaulus), Cumi-cumi (Loligo sp.), Kakap Merah/Bambangan (Lutjanus malabaricus).

Sedangkan kelompok HTS terdiri dari Alu-alu/Kucul (Sphyraena sp.), Ayam-ayam/Togek (Abalistes stellaris), Grobyak/Ikan Sebelah (Psettodes sp.), Balak/Beloso (Oxyeleotris marmorata), Baronang/Sadar (Siganus spp.), Biji Nangka/Jenggot (Upeneus mullocensin).

Kemudian, Bentol/Lencam (Lethrinus spp.), Kerong-kerong (Terapon jarbua), Kuniran (Upeneus moluccensis), Bukur/Jaket (Abalistes stellaris), Kwee (Caranx spp.), Manyung (Arius sp.), Swanggi (Priacanthus tayenus), Pari/Pe (Dasyatis spp.), Peperek/Dodok (Leiognathus sp.), Selar (Selar sp.), Cucut (Rhizoprionodon spp.).

perlu dibaca : Mencari Solusi Cantrang

 

Sejumlah nelayan perempuan mengumpulkan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Jefri dan Zaenuri mengatakan, hasil tangkapan utama merupakan hal penting dalam kegiatan penangkapan ikan. Namun, pada alat tangkap cantrang, ikan hasil tangkapan cukup bervariasi dan merupakan percampuran antara ikan pelagis dan ikan dasar. “Ini menunjukkan bahwa pengoperasian alat tangkap cantrang menyapu mulai dari dasar sampai dengan permukaan perairan,” tulis keduanya.

Selama sebulan melakukan riset, tulis keduanya, total berat HTU mencapai 119.330 kg, yang terbanyak adalah Cumi-cumi, 67.000 kg. Disusul oleh ikan jenis Kurisi 40.410 kg. Sedangkan total berat HTS adalah ikan Kuniran sebesar 36.380 kg, ikan Gulamah sebesar 140 kg, ikan Kakap Merah sebesar 20 kg diikuti oleh ikan Swanggi, 17.045 kg, dan yang paling sedikit adalah ikan Manyung sebanyak 2 kg.

Di sisi lain, banyaknya ikan tangkapan cantrang itu pun sejalan dengan tingginya nilai keuntungan dari penggunaan alat ini. Perhitungan yang dilakukan PKSL IPB dengan mendapati keuntungan penggunaan cantrang jauh lebih besar ketimbang purse seine, kendatipun kapal yang digunakan sama-sama berukuran 30 GT. Nilai keuntungan purseine disebutkan PKSL IPB per tahunnya hanya sekitar Rp720 juta. Sedangkan cantrang, Rp1,45 miliar setiap tahun.

“Hal ini menunjukkan bahwa alat penangkap ikan yang dilarang ini merupakan alat penangkap ikan yang memberikan keuntungan sangat tinggi,” tulis PKSL IPB. Tingginya keuntungan yang didapat penggunaan cantrang menjadikan periode pengembalian investasi (payback period) relatif lebih singkat. Lama pengembalian investasi cantrang selama 0,22 tahun atau 3 bulan. Sedangkan purseine jauh lebih lama, mencapai 1,94 tahun atau 23,28 bulan.

Tingginya keuntungan itu pula yang menjadikan jumlah kapal cantrang terus meningkat dari tahun ke tahun. Merujuk data statistik yang dipublikasikan Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada 2019 lalu, jumlah kapal cantrang di Indonesia hanya 5.756 unit. Namun, setahun berikutnya (2020) meningkat hampir dua kali lipat menjadi 11.459 unit.

Munandirin, nelayan non cantrang asal Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah memaklumi bila tren jumlah kapal cantrang terus meningkat. Itu karena tingginya keuntungan yang didapat dari pengoperasian kapal ini. “Tahun ini punya satu. Dua atau tiga tahun lagi, bisa nambah satu kapal lagi karena untungnya besar,” katanya.

baca juga : Dialog Dengan Jokowi, Nelayan Curhat Ketidakstabilan Harga Ikan dan Isu Cantrang

 

Deretan kapal berukuran lebih dari 150 GT tengah sandar di Sungai Selogonggong, Juwana, Pati, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Lain halnya dengan pemilik kapal yang dipastikan untung besar, nasib para ABK (Anak Buah Kapal) cantrang justru bernasib sebaliknya. Sebab, kendati pekerjaan mereka berisiko tinggi dengan jam kerja yang tak menentu, aktivitas itu mereka lakoni tanpa jaminan yang pasti. Terutama kesehatan.

Pengakuan Adi Ipank, salah satu pemilik kapal di Juwana, Pati, bisa menjadi gambaran betapa besarnya keuntungan yang didapat dari mengoperasikan cantrang. Hanya dalam tempo tiga tahun, Adi yang berkegiatan di perairan Aru ini telah menambah armadanya dari satu menjadi tiga kapal. Ketiganya jenis cantrang. “Tapi yang dua bukan punya sendiri,” katanya.

Menurut Adi, dengan modal hampir Rp1 miliar, ia bisa mendapat hasil dua kali lipatnya dari penjualan tangkapan. Setelah dikurangi biaya operasional, sisa penjualan ikan kemudian dibagi dua dengan kru atau Anak Buah Kapal (ABK). Perbandingannya, 50 persen untuk pemilik dan 50 persen untuk ABK.

Adi mengaku mengoperasikan ketiga kapalnya di perairan Aru yang masuk WPP 718. Sekali trip memakan waktu 6-8 bulan. Agar sirkulasi keuangan terus berjalan, ia biasanya memanfaatkan kapal angkut untuk mengambil hasil tangkapan, sekaligus mengirim logistik para awak kapal. “Jadi, saat kapal masih mencari ikan, sebagian hasil tangkapan dipaketkan ke sini pakai kontainer,” aku Adi.

Sayangnya, biaya BBM yang terus meningkat dalam beberapa bulan terakhir turut menggerus keuntungan para pemilik. Adi bahkan harus meminjam bank hingga Rp1 miliar untuk modal operasional pemberangkatan kapal. Setiap bulan, pinjaman itu harus ia angsur Rp40 bulan dengan tenor tiga tahun. “Kan saya sempat mengalami macet dipenjualan. Jadinya ya terpaksa pinjam bank. Lha gimana, kalau tidak berangkat ya malah repot semua,” katanya.

perlu dibaca : Nelayan Maluku Utara Minta Pemerintah Cabut Aturan Diperbolehkannya Cantrang

 

Kapal nelayan cantrang yang diparkir di Pelabuhan Perikanan Rembang, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Kendati demikian, menurut Adi, perbankan bukanlah satu-satunya opsi bagi para pemilik kapal saat terkendala biaya operasional. Dalam kondisi tertentu, pemilik kapal juga bisa dapat pinjaman dari pihak ketiga. Bila skema terakhir yang dipilih, pemilik kapal biasanya memberi komisi Rp5 juta dari setiap Rp100 juta berikut kelipatannya. “Itu rumus yang berlaku umum disini,” ujarnya.

Terkait kebijakan pemerintah yang melarang penggunaan cantrang, Adi menilai sulit untuk dilakukan. Itu karena keberadaan alat ini menjadi salah satu faktor hidup matinya perekonomian. “Kalau cantrang dilarang, tidak mungkin ada ikan di pasar-pasar itu. Karena ikan-ikan yang masuk ke pasar itu ikan-ikan yang didapat dari cantrang. Ikan Kerapu, Kakap Merah, Abangan, dan Putihan,” jelasnya.

Adi meyakini, bila kemudian cantrang dilarang, bukan hanya ikan di pasaran, aktivitas di pelabuhan juga dipastikan sepi. Padahal, perputaran uang di pelabuhan, hanya untuk bongkar muatan saja, kata Adi, paling sedikit mencapai Rp30 juta.

Meski cantrang menjadi alat tangkap yang paling digemari nelayan di sepanjang Pantura Jawa, tetapi sistem bagi hasil antar daerah tak sama. Di Lamongan Jawa Timur, pembagian hasil tangkapan setelah dikurangi operasional terlihat lebih seimbang daripada di daerah lain. Sebab, keuntungan yang didapat dibagi rata antara kru dengan pemilik. Hal itu karena pemilik kapal di Lamongan juga turut berangkat melaut.

“Lamongan lebih baik karena pemiliknya juga ikut melaut. Tidak seperti di daerah lain, seperti Rembang atau Tegal yang pemiliknya di rumah, menunggu kapal datang membawa hasil tangkapan,” jelas Murod, sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Lamongan.

baca juga : Cerita Nelayan Natuna, Terjepit Antara Kapal Cantrang dan Kapal Asing

 

Suasana di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, 3 Juli 2022. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Pihak Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Brondong, Lamongan mengakui masih maraknya penggunaan cantrang di kalangan nelayan Lamongan. Namun, pihaknya mengaku tidak bisa berbuat banyak karena menyangkut kebutuhan hidup.

“Di belakang ini (menunjuk arah belakang kantor PLN)  banyak juga itu nelayan yang sedang memperbaiki jaring cantrang. Serba sulit karena sudah jadi kebiasaan, menyangkut isi perut,” ujar Miftahul Jannah, staf TU yang merangkap humas PPN Brondong.

Pihaknya mengklaim berulangkali menggelar sosialisasi. Namun, tetap saja banyak nelayan yang enggan berganti alat tangkap. Kalau sudah begitu, kata Miftahul, menjadi risiko masing-masing jika tertangkap operasi saat melaut.

 

Tangkapan Tak Selektif

Sebagai alat penangkapan ikan (API), tak ada yang meragukan efektivitas cantrang. Sejumlah penelitian mengonfirmasi hasil tangkapan yang didapat cantrang lebih banyak dibanding API lain. Baik dari segi volume maupun spesies tangkapan.

Oktavianto Darmono, penelitis asal Fisheries Resource Center of Indonesia (FRCI) tak menolak hal itu. Namun demikian di sisi lain, efektivitas cantrang sebagai alat tangkap perikanan juga menimbulkan persoalan. Sebab, keberadan cantrang dinilai tidak selektif terhadap hasil tangkapan.

“Cantrang memang lebih banyak menangkap ikan dibanding alat lain. Tetapi, justru disitu masalahnya, karena tidak selektif, banyak ikan-ikan kecil yang tertangkap juga karena ukuran mata jaring yang terlalu kecil,” terang peneliti yang akrab disapa Tejo ini.

Tejo sendiri sempat melakukan penelitian bagaimana tidak selektifnya cantrang ini ketika digunakan. Dalam sekali tarik, cantrang yang ditarik dengan menggunakan gardan mampu memperoleh tangkapan hingga dua ton. Sayangnya, separuh di antaranya merupakan ikan non ekonomis yang akhirnya dibuang.

Dikatakan Tejo, tidak selektifnya cantrang merupakan konsekuensi dari desain mata jaring yang berbentuk diamond dengan ukuran 1 inchi. Belakangan, pemerintah kemudian mengubah cantrang menjadi Jaring Tarik Berkantong (JTB) dengan ukuran dan desain yang lebih besar, minimal 2 inchi. “Karena kalau cantrang diteruskan, tentu akan mengancam sumber daya perikanan di masa depan,” ujarnya.

Penelitian oleh Muhammad Imron berjudul Komposisi Hasil Tangkapan Cantrang yang Didaratka di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Jawa Tengah mengonfirmasi pernyataan Tejo. Pada penelitian yang dipublikasikan tahun 2018 itu, Imron menyebut, 69,5 persen dari 312 ton tangkapan cantrang merupakan hasil tangkapan sampingan. Dan hanya 30,8 persen yang tangkapan utama. (bersambung)

 

Seorang nelayan memperbaiki jaring cantrang di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara, Brondong Kabupaten Lamongan, Jatim, 3 Juli 2022. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Seri liputan tentang cantrang Pantura Jawa ini merupakan hasil kerjasama antara Mongabay Indonesia dengan Fisheries Resource Center of Indonesia (FRCI)

 

Exit mobile version