Mongabay.co.id

Duyung dalam Kisah Nelayan Arakan Minahasa Selatan (1)

 

Nelayan Desa Arakan, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara punya kedekatan historis dengan duyung (Dugong dugon). Hubungan itu diketahui dari keberadaan cerita rakyat di desa ini, penandaan wilayah-wilayah perairan serta penamaan lokal terkait dugong dan habitatnya.

Duyung, oleh berbagai kelompok masyarakat, sering dilukiskan sebagai perempuan laut. Mitologi Eropa memercayainya sebagai makhluk di lingkungan dewa-dewi. Siren, yang digunakan untuk menamai Ordo Sirenia contohnya, berasal dari kisah para pelayan Persefon – putri Zeus dan Demeter. Versi lain menyebut Siren sebagai putri dewa laut Phorcys atau dewa sungai Achelous.

Dalam penuturan Bajo-Arakan, suku yang mendominasi desa itu, genealogi duyung disebut berasal dari bagian keluarga manusia dan masyarakat. Konstruksi ini memiliki perbedaan yang mencolok dibanding mitologi Yunani, yang memercayai duyung sebagai makhluk di sekitar lingkungan dewa-dewi.

Seperti dituturkan Sabtu Kaser, salah satu sesepuh di Desa Arakan, duyung adalah perempuan yang menjelma menjadi makhluk laut. “Dulu ada seorang istri yang mengidam lamun kemudian menyampaikan keinginannya kepada suami. Tapi sang suami tidak menanggapinya, karena lamun dianggap bukan makanan yang layak bagi manusia,” katanya saat ditemui pertengahan Mei lalu.

Beberapa waktu kemudian, ketika suaminya melaut, perempuan tadi memutuskan mencari lamun dan memakannya di suatu gugusan karang. Tiap malam ia mengkonsumsi tumbuhan laut itu sambil berendam di air, hingga fisiknya berubah menjadi seekor duyung. “Anak pertamanya laki-laki. Ketika dilahirkan sudah berjenis duyung,” masih menurut Sabtu.

baca : Kisah Pilu Evakuasi Duyung di Sulawesi Utara

 

Dugong yang kita kenal juga dengan nama duyung. Foto: Pixabay/Public Domain/dietmaha

 

Rignolda Djamluddin, Direktur Perkumpulan Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam (Kelola) menilai, konstruksi cerita itu menunjukkan kedekatan leluhur Bajo dengan sumberdaya laut. Makhluk-makhluk laut dianggap sebagai keluarga dekat, bagian dari diri mereka. Karenanya, penting melakukan penggalian nilai-nilai luhur itu, untuk menyambungkan kearifan lokal yang terputus pada waktu-waktu belakangan.

“Masyarakat Bajo memandang laut bagian dari diri mereka. Bukan cuma dugong, ada banyak. Seharusnya spesies-spesies seperti ini tidak diburu dan dikonsumsi. (Perlu penggalian) apakah kelompok yang mengkonsumsi adalah kelompok yang melupakan cerita, riwayat atau kepercayaan yang dibangun orang tua?”, kata Rignolda pada pertengahan Mei lalu.

Sejak April 2021 hingga Mei 2022, Perkumpulan Kelola menyelenggarakan program bertajuk “Penguatan Praktik Pengelolaan Perikanan Skala Kecil yang Berkelanjutan dalam Rangka Menjaga Habitat Dugong di Sulawesi Utara”. Program itu terselenggara atas dukungan CEPF (Critical Ecosystem Partnership Fund atau Dana Kemitraan Ekosistem Kritis) dan Burung Indonesia.

Empat desa pesisir di wilayah Taman Nasional (TN) Bunaken ditetapkan sebagai lokasi program, yakni Arakan, Rap-Rap dan Poopoh (bagian selatan TN Bunaken), serta Mantehage I Bango (bagian utara TN Bunaken).

“Arakan dipilih menjadi (lokasi) prioritas karena dulu, berdasarkan laporan masyarakat, sering terlihat dugong. Terlebih ada cerita Kolam Dugong yang menjadi tempat atau area bermain dugong, mencari makan, bahkan mengasuh anak,” kata Decky Tiwow, Program Manajer Perkumpulan Kelola.

Dugong yang dikenal dengan sebutan ‘Sapi Laut’ ini bukanlah nama baru di wilayah perairan TN Bunaken. Keberadaannya disebut-sebut sebagai salah satu butir konsideran penunjukan Cagar Alam Laut Bunaken-Manado Tua beserta pulau-pulau lain di sekitarnya (75.265 ha) dan Cagar Alam Arakan-Wawontulap (13.800 ha), pada tahun 1986. Lima tahun berselang, tepatnya tahun 1991, dua Cagar Alam diresmikan sebagai TN Laut Bunaken, dengan luas 89.605 ha.

“Konon di tahun 1986, salah satu konsideran penunjukan (Cagar Alam Laut) Pulau Bunaken dengan pulau lain di sekitarnya, itu karena keberadaan dugong. Kemudian, tahun 1991 Pemerintah menindaklanjuti dengan menunjuk Pulau Bunaken dan pulau lain di sekitarnya menjadi TN Bunaken. Sehingga, dugong ini merupakan salah satu spesies penting di TN Bunaken,” terang Kepala Balai TN Bunaken, Genman Hasibuan.

baca juga : Air Mata Dugong Hanya Mitos, Hentikan Perburuan

 

Ilustrasi. Seekor duyung (Dugong dugon) sedang memakan lamun di perairan Filipina. Foto : Jürgen Freund/WWF/Mongabay Indonesia

 

Penandaan Wilayah Perairan

Selain keberadaan cerita rakyat, kedekatan nelayan Desa Arakan dengan dugong diketahui dari penyebutan lokal dugong dan habitatnya. Dalam istilah Bajo-Arakan, dugong dikenal dengan nama diuang dan lamun disebut samo balu.

Berdasarkan kajian Perkumpulan Kelola, terdapat 6 jenis lamun yang tersebar di wilayah program. Jenis-jenis itu di antaranya Enhalus acroides, Syringodium isoetifolium, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, serta Thalasia hemprichii. Tiga jenis terakhir adalah pakan utama dugong.

Seturut deskripsi warga desa Arakan, serta pengamatan di sekitar Kolam Dugong, samo balu sangat mungkin merupakan nama lain dari Halophila ovalis. Jenis lamun ini berukuran kecil, halus dan paling banyak ditemui di wilayah perairan tersebut.

Samo balu itu gusumi (istilah Melayu-Manado untuk menyebut lamun) yang paling pendek, halus, yang babulat. Setahu saya cuma itu makanannya,” kata Mubin Machmud, nelayan Desa Arakan yang beberapa kali mendampingi pengamatan tim Perkumpulan Kelola.

Mayoritas nelayan di Desa Arakan, Rap-Rap, Poopoh dan Mantehage I Bango teridentifikasi menjadikan area terumbu karang sebagai wilayah penangkapan utama ikan. Penilaian itu didasari penamaan lokal sejumlah titik penangkapan ikan oleh nelayan Desa Arakan (27 titik), diikuti nelayan Desa Rap-Rap (11 titik), nelayan Desa Mantehage I Bango (5 titik) dan nelayan nelayan Desa Poopoh (4 titik).

Sebagai perbandingan, nelayan Desa Arakan, Rap-Rap dan Poopoh menjadikan dua titik yang sama sebagai lokasi penangkapan ikan pelagis, sedangkan nelayan Desa Mantehage I Bango tiga titik. Jarak wilayah penangkapan ikan pelagis rata-rata 30 mil.

Diketahui bahwa nelayan menamakan suatu wilayah perairan dibuat berdasarkan habitat ikan jenis tertentu, bentuk visual, serta peristiwa-peristiwa khusus di suatu wilayah perairan.

“Nama-nama itu jadi tanda untuk melaut. Napo Pangaluang itu banyak ikan barakuda, bahasa Bajonya pangaluang. Lalu ada Napo Bobara karena banyak ikan bobara (kwee). Logaseng itu sampai sekarang, saya tidak tahu kaitannya dengan apa. Tapi ada banyak tempat yang berasal dari nama ikan,” lanjut Mubin Machmud.

Penamaan-penamaan wilayah perairan tadi dapat dijadikan indikator kedekatan historis antara masyarakat pesisir dengan lingkungan hidupnya, serta mengindikasikan wilayah terumbu karang sebagai titik utama penangkapan ikan.

baca juga : Seekor Dugong Ditemukan Mati di Raja Ampat Dengan Sejumlah Luka

 

Peta Wilayah Tangkap Arakan. Sumber : Perkumpulan Kelola

 

Pemetaan di Kolam Dugong

Di samping penamaan lokal dugong, lamun dan sejumlah titik penangkapan ikan, nelayan Desa Arakan juga punya penyebutan untuk menandai habitat dugong, yaitu Kolam Duyung dan Napo Duyung.

Kolam Dugong (Perkumpulan Kelola menggunakan istilah ini) merupakan zona litoral, atau zona pasang-surut dengan kedalaman maksimum 44 meter. Penyebutan kolam disebabkan karena wilayah ini diapit area terumbu karang yang disebut Nyare Sondaken, Napo Pangaluang dan Napo Logaseng.

Berdasarkan penelusuran informasi di Desa Arakan, nyaris tidak ada warga yang mengetahui kapan pertama kali leluhur mereka memberi nama Kolam Duyung dan Napo Duyung. “Kita (saya) belum lahir so ada tu nama,” kata Samae (76), warga Desa Arakan.

Di perairan tersebut, nelayan paling sering menyaksikan kemunculan dugong pada periode purnama, yang tampak dipengaruhi fenomena air pasang. Sebab, berdasarkan hasil pemetaan batimetri Perkumpulan Kelola, ketika air dalam keadaan surut terendah beberapa wilayah terumbu karang di Kolam Dugong diketahui berada dalam kondisi nyaris kering.

Nelayan juga mengidentifikasi setidaknya dua jalur lintas dugong di perairan itu. Versi pertama menyebut dugong bergerak di antara tiga titik, yaitu tanjung berpasir putih di wilayah barat Napo Pangaluang, Kolam Dugong, serta Kolam Putih di wilayah Nyare Sondaken. Versi kedua, dugong bergerak antara Kolam Putih dan Napo Logaseng.

Pemantauan tim Perkumpulan Kelola sepanjang Juni hingga September 2021 juga turut memperkuat kesaksian nelayan. Dalam kurun itu, dugong setidaknya teramati pada 4 titik yaitu suatu wilayah lamun di Nyare Sondaen, Kolam Dugong, Napo Pangaluang, serta Napo Logaseng. Di lokasi-lokasi tersebut, dugong dijumpai antara fajar dan senja.

baca juga : Kisah Para Pemburu Dugong di Teluk Bogam

 

Peta Batimetri Kolam Dugong. Sumber : Perkumpulan Kelola

 

Identifikasi Dugong

Dugong (Dugong dugon) merupakan mamalia laut nokturnal, yang dapat mencapai usia hingga 70 tahun. Spesies ini, mengutip buku “Dugong bukan Putri Duyung”, mengandung pada rentang 10-17 tahun, dengan usia kandungan sekitar 13-15 bulan. Tiap melahirkan, dugong hanya menghasilkan rata-rata satu anak yang akan disusui hingga usia 18 bulan. Begitu dilahirkan bayi dugong yang memiliki ukuran rata-rata 1-1,2 m dan berat 27-35 kg, dan bisa segera memakan lamun.

Nelayan Desa Arakan mengenali kehadiran dugong dari bentuk fisik maupun suaranya. Dugong disebut berwarna kecokelatan pada bagian punggung, dan mengeluarkan suara mirip batuk ketika bernafas di permukaan air. “Warnanya merah agak ba cokelat. Dia batuk seperti orang. Suaranya jelas,” kata Parman, warga Desa Arakan yang lebih dari 20 tahun menjadi nelayan.

Ketika masa kawin, nelayan Desa Arakan menyebut dugong akan memposisikan tubuhnya tegak ke arah permukaan air, kemudian menjatuhkan tubuhnya yang ditandai dengan suara keras. “Waktu dia (duyung) kawin, orang sampai kaget seperti ada pohon roboh. Karena waktu kawin posisi tubuhnya tegak berdiri,” jelas Mubin Machmud. “Kawinnya malam. Posisinya berdiri, kemudian jatuh seperti batang pohon kelapa,” tambah Sabtu Kasir.

 

Seekor duyung (Dugong dugon) sedang mencari makan dengan mangaduk padang lamun di dasar perairan pesisir. Seorang penyelam mengabadikan momen itu. Foto : Jürgen Freund/WWF/Mongabay Indonesia

 

Belum banyak penelitian mengenai perilaku kawin dugong. Beberapa observasi mendeskripsikan perilaku kawin spesies ini secara berbeda di tiap lokasi pengamatan. Eduardo Infantes dkk, dalam “Short Note: Dugong (Dugong dugon) Reproductive Behavior in Koh Libong Thailand” menjelaskan, perilaku kawin dugong diawali jantan mendekati betina, kemudian aktivitas merayu-merangsang, lalu terjadi persanggamaan.

Fenomena berbeda digambarkan Paul K. Anderson dalam “Shark Bay Dugongs in Summer. I: Lek Mating”. Dalam pengamatannya, perilaku kawin justru diawali dugong betina yang berahi menghampiri lokasi yang ditinggali segerombolan pejantan. Di lokasi itu, dugong jantan berebut mengawini betina atau yang dikenal dengan istilah polyandrous (seekor betina dikawini lebih dari seekor jantan).

Kesaksian nelayan Desa Arakan agaknya tetap layak diberi ruang, sampai ada penelitian yang merampungkan kajian perilaku kawin dugong di suatu perairan bernama Kolam Dugong, Minahasa Selatan.

 

Exit mobile version