Mongabay.co.id

Pentingnya Alokasi Ruang dan Perizinan Rumpon untuk Menjaga Keserasian Ruang Laut

 

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), membuat pengaturan alokasi ruang dan perizinan alat tangkap rumpon. Tujuannya, demi menjaga keserasian ruang laut sekaligus mengurangi dampak eksploitasi sumber daya ikan. Meski demikian, di tingkat nelayan pengetahuan terkait alokasi ruang dan perizinan terkait rumpon masih terbilang minim.

Kondisi tersebut terungkap dalam “Pertemuan Regional IV Komite Pengelola Bersama Perikanan (KPBP) Tuna” yang diselenggarakan KKP dan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) secara daring, Kamis (28/7) lalu. Sejumlah perwakilan nelayan yang hadir mempertanyakan teknis hingga tarif pengurusan izin pemanfaatan alat tangkap ini.

Agustinus Bulu, Ketua KPBP Tuna Nusa Tenggara Timur mengatakan, di daerahnya belum ada nelayan yang mengurus izin penempatan rumpon. Namun, dalam praktiknya, alat tangkap itu masih banyak dijumpai di wilayah perairan NTT. Diduga, selain faktor kesesuaian ruang, hal itu dikarenakan kurangnya pengetahuan terkait pengajuan izin.

“Wilayah 0-12 mil itu kewenangan (Pemerintah) Provinsi, lalu kalau ada pemilik kapal di bawah 30 GT yang sudah memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan lain-lain, apakah harus mengajukan kesesuaian lahan ke PRL? Bagaimana bentuknya? Itu yang masalah di sini, jadi sampai saat ini belum ada yang mengajukan rumpon,” kata Agustinus.

baca : Pintu Masuk bagi Para Pencuri Ikan adalah Rumpon

 

Proses penertiban rumpon ilegal dan tak sesuai aturan di perairan Pulau Obi, Halmahera Selatan oleh tim DKP Maluku Utara bersama petugas dari Lanal Ternate bersama nelayan setempat. Foto : DKP Malut

 

Selain itu, nelayan kecil dinilai keberatan dengan tarif PNBP dari Penilaian Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang berdasarkan PP No.85/2021 tentang tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, besarannya mencapai Rp.18,6 juta per hektar. Sebab, seturut pengetahuan Agustinus, di samping pengurusan dokumen tersebut, nelayan kecil masih harus mengajukan izin kesesuaian lahan.

“Penting diketahui, ada juga Perda yang mengatur tarif izin rumpon. Kalau di pusat bayar, kemudian di Provinsi bayar berarti pungutannya double. Apakah pemilik kapal di bawah 30 GT dikenakan tarif PNBP atau tarif Perda saja? Berapa lama pengurusannya?” lanjut Agustinus.

Salman Adam, Ketua Komite Fair Trade Ternate menambahkan, sesuai ketentuan dalam lampiran Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No.7/2022 tentang Alokasi Rumpon pada Jalur Penangkapan Ikan IIi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), terdapat sebanyak 3433 titik penempatan rumpon yang tersebar di WPPNRI.

Dari total tersebut, dia mempertanyakan pengaturan kuota penempatan rumpon di masing-masing WPP. Ditambah lagi, penempatan rumpon pada WPPNRI 715 yang berada di luar 12 mil laut, dianggap sulit terjangkau oleh nelayan kecil.

“Kenapa WPPNRI 715 hanya 75 kuota, dibanding 716 dan 717 yang dapat 400 lebih? Kedua, WPP 714 tidak memiliki izin penempatan rumpon sama sekali, ini mungkin harus diklarifikasi pemerintah,” ujar Salman.

“Kalau saya lihat kuota penempatan 75 rumpon pada WPPNRI 715, kami nelayan kecil tidak bisa menjangkaunya karena terlalu jauh dari tempat kami menangkap. Untuk nelayan 1 sampai 5 GT, 12 mil itu sudah sangat layak.”

baca juga : Perairan Laut Sulawesi Utara Lokasi Favorit Pemasangan Rumpon Ilegal

 

Kapal Pengawas Hiu 15 mengamankan 4 rumpon illegal milik nelayan Filipina di wilayah perairan utara Sulawesi Utara, sekitar 3 mil laut pada perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) pada Jumat (10/5/2019). Foto : PSDKP KKP/Mongabay Indonesia

 

Masih menurut Salman, umumnya nelayan di wilayahnya menggunakan rumpon yang terpisah dari kapal. Kondisi itu bertolak belakang dengan ketentuan Permen KP No.18/2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan Dan Alat Bantu Penangkapan Ikan Di WPPNRI Dan Laut Lepas Serta Penataan Andon Penangkapan Ikan yang mendefinisikan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan yang menjadi satu kesatuan dengan kapal penangkap ikan.

“Kalau memperhatikan izin penempatan rumpon bahwa yang memiliki Surat Izin Pemasangan Rumpon (SIPR) adalah pemilik kapal, sedangkan rumpon-rumpon di sana tidak memiliki kapal. Nah, ini sangat berdampak pada kami nelayan tuna. Saya minta kementerian perlu meningkatkan sosialisasi di pelabuhan site di provinsi,” terang Salman.

 

Pengaturan Rumpon

Perlunya kesesuaian penempatan rumpon dikarenakan pemanfaatan ruang laut yang terbilang kompleks. Ridwan Mulyana, Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan Ditjen Perikanan Tangkap KKP mencontohkan, beberapa wilayah perairan tidak diperkenankan menjadi lokasi pemasangan rumpon, misalnya wilayah konservasi, pariwisata hingga daerah militer.

“Ini untuk mengatur keserasian ruang laut dan dampak dari perikanan tangkap. Karena kalau rumpon kita implementasikan, produksinya luar biasa. Sehingga perlu kita atur untuk keberlanjutan sumber daya dan penangkapan ikan,” terangnya.

Ridwan menjelaskan, penetapan alokasi rumpon menjadi kewenangan menteri atau gubernur. Alokasi yang didasari hasil riset kelautan dan perikanan itu kemudian menjadi bahan pertimbangan penerbitan SIPR untuk rumpon menetap. SIPR, berdasarkan ketentuan Permen KP No.10/2021, adalah dokumen yang wajib dimiliki setiap orang yang akan menempatkan dan memanfaatkan rumpon di WPPNRI atau laut lepas.

Masih diterangkan Ridwan, untuk mendapatkan izin penggunaan rumpon, nelayan kecil harus memenuhi sejumlah persyaratan seperti memiliki nomor izin berusaha subsektor penangkapan, memperoleh persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut, serta menyusun rencana pemanfaatan rumpon.

“Untuk kapal di bawah 5GT tidak kena PNBP, dan memang sudah dicantumkan di lampiran PP No.85/2021,” terangnya.

Sementara, nelayan non kecil harus memiliki surat izin usaha perikanan, perizinan berusaha subsektor penangkapan ikan, perizinan berusaha subsektor penangkapan ikan sebelumnya, buku kapal perikanan, memperoleh persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut serta menyusun rencana pemanfaatan rumpon.

baca juga : Nelayan Asing Makin Berani di Laut Natuna, Tak Hanya Tangkap Ikan juga Pasang Rumpon

 

rumpon yang dipasang di perairan untuk menarik ikan. Foto : aquatec.co.id

 

Ridwan menyebut, penyatuan rumpon dengan kapal sebagai upaya mempertahankan efisiensi dan efektivitas penangkapan ikan, baik pelagis maupun demersal. Meski demikian, ia tidak menampik fakta sampai saat ini masih banyak penggunaan rumpon yang tidak sesuai ketentuan. Hal itu dipercaya berdampak pada praktik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan.

“Jadi di lapangan tidak menutup kemungkinan ada orang berbisnis rumpon. Nah, ini tidak dilandasi dengan kajian kapasitas kapal dan korelasi sumber daya ikan. Jadi main pasang-pasang, yang berdampak pada eksploitasi sumber daya ikan dan penataan ruang,” ujar Ridwan.

Eko Budiarto, Sub Koordinator Kelompok Harmonisasi Perizinan Direktorat Perizinan dan Kenelayanan KKP menambahkan, SIPR bisa tidak berlaku jika izin berusaha dicabut, ditemukannya ketidakbenaran data dan informasi, terdapat perubahan daerah penangkapan ikan, perubahan alat penangkapan ikan yang tidak sesuai, serta perubahan kepemilikan kapal penangkap ikan.

Terkait alokasi rumpon sebanyak 3433 titik, Eko menjelaskan, jumlah tersebut sesuai dengan kewenangan Pemerintah Pusat. “Di bawah 12 mil, itu nanti Pemerintah Daerah yang mengatur kuotanya. Kok di WPP 714 tidak ada, itu mungkin nanti teman-teman RZWP bisa mempertimbangkan,” ujarnya.

 

Exit mobile version