Mongabay.co.id

Ekosistem Karbon Biru dalam Peta Konservasi Nasional

 

Indonesia memerlukan standar pedoman dalam pengelolaan ekosistem karbon biru (EKB), baik untuk tingkat regional maupun nasional. Pedoman tersebut diperlukan, karena penerapan strategi nasional dan pengelolaan potensi besar EKB harus memerlukan koordinasi dan integrasi dengan kementerian dan pemangku kepentingan lain.

Selain pedoman, perlu juga disusun dokumen kebijakan yang bisa menjadi landasan hukum atau dokumen payung dalam pelaksanaan pengelolaan karbon biru di Indonesia. Hal tersebut diungkapkan Perencana Ahli Utama Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto awal pekan ini di Bali.

Menurut dia, walau potensi EKB di Indonesia masih sangat besar, namun ada potensi pelepasan karbon dioksida (CO2) ke perairan laut, karena disebabkan oleh perusakan ekosistem pesisir. Kata dia, pelepasan CO2 setara dengan 19 persen total emisi perusakan hutan tropis.

Mengingat EKB yang terus mengalami degradasi dari waktu ke waktu, maka diperlukan rehabilitasi dengan komitmen yang kuat dari Pemerintah Indonesia. Termasuk, komitmen agar EKB tercantum dalam Nationally Determined Contribution (NDC).

Masuknya EKB ke dalam kebijakan strategis nasional juga akan memunculkan pedoman bagi pengelolaan ekosistem karbon biru dan menjadikannya sebagai prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 dan tiga program prioritas.

baca : Karbon Biru dalam Ekonomi Biru di Perairan Laut Indonesia

 

Reklamasi pesisir pantai Makassar. Pemerintah diharap harus lebih serius lagi memperhatikan kondisi dan kelestarian ekosistem pesisir, antara lain dengan meminimalkan pembangunan yang berisiko menciptakan degradasi lingkungan. Foto: Mongabay Indonesia/Wahyu Chandra.

 

Dia menyebutkan kalau pelaksanaan strategi nasional akan memerlukan aspek kelembagaan dan kebijakan yang memuat regulasi enabling environment, protokol nasional strategi dan rencana aksi karbon biru, dan data dasar untuk target NDC.

Apabila EKB dikelola dengan baik secara strategis untuk adaptasi dan mitigasi menuju ketahanan iklim, dia yakin Indonesia dapat berkontribusi lebih untuk penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen secara nasional, dan 41 persen secara global hingga 2030.

Untuk itu, dia menekankan pentingnya mengembangkan kerangka kerja dan implementasi semua kegiatan yang berkaitan dengan karbon biru, termasuk aspek pendanaan. Karbon biru dapat menggunakan pembiayaan reguler, seperti hibah pinjaman dan anggaran negara.

“Selain itu, sumber pembiayaan juga bisa menggunakan pembiayaan inovatif yang bersumber dari karbon biru itu sendiri,” terang dia.

Arifin Rudiyanto mengungkapkan, potensi karbon biru dapat dimasukkan dalam mekanisme perdagangan karbon yang menjual karbon bergradasi. Manfaat perdagangan tersebut dapat digunakan untuk membiayai beberapa sektor

“Seperti perikanan, konservasi, energi terbarukan, pengelolaan sampah, transportasi laut, dan ekowisata, juga dapat membiayai konservasi dan restorasi ekosistem karbon biru,” tambah dia.

Diketahui, Indonesia adalah negara dengan luasan mangrove terbesar di dunia, dengan 3,3 juta hektare. Selain itu, Indonesia juga memiliki padang lamun terluas di dunia yang mencapai 293 ribu ha. Kedua ekosistem tersebut menghadirkan potensi karbon biru yang sangat besar.

Baik mangrove atau padang lamun yang ada di Indonesia disebut Bappenas sebagai ekosistem pesisir yang bisa menyimpan karbon alami (carbon sink) besar dalam waktu yang sangat lama dengan jumlah sedikitnya mencapai 3,3 gigaton atau 17 persen dari karbon biru global.

Dengan potensi sangat besar tersebut, Pemerintah Indonesia saat ini memprioritaskan ekosistem karbon biru dalam perencanaan tata kelola ruang dan konservasi pesisir, baik yang ada di Indonesia ataupun secara global.

baca juga : Karbon Biru di Tengah Tantangan dan Hambatan

 

Maraknya penimbunan untuk keperluan permukiman warga menjadi tantangan pelestarian mangrove di-Kepulauan Riau. Penimbunan sering menyerobot aturan yang ada. Foto : Yogi Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Tentang EKB, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti menilai bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar pada carbon credit, khususnya pada area pesisir.

Dia memaparkan, Indonesia tak hanya memiliki mangrove, namun juga masih ada rumput laut, lahan gambut, dan hutan hujan tropis. Dari hutan mangrove sendiri terdapat area seluas 3,36 juta ha, atau sama dengan luasan 20 persen dari total mangrove dunia.

“Dan mangrove sendiri merupakan bagian dari ekosistem blue carbon,” tutur dia.

Pada kesempatan yang sama, dia menyebut kalau Indonesia juga sudah memiliki peta sebaran mangrove dan terus dilakukan pembaruan secara berkala. Saat ini, sesuai peta mangrove nasional, ada identifikasi lahan eksisting dan habitat potensial untuk pengembangan mangrove.

Dengan data tersebut, pihaknya membuat rencana aksi untuk rehabilitasi dan restorasi mangrove. Kata dia, semua rencana dan program kerja telah diatur sedemikian rupa dan dituangkan ke dalam suatu regulasi dan praktiknya dilaksanakan bekerja sama dengan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).

“Kami memiliki program besar untuk rehabilitasi mangrove. Kami rencanakan seluas 600 ribu hektare area mangrove akan direhabilitasi sampai dengan tahun 2024, termasuk di dalamnya rehabilitasi dan restorasi pada ekosistem blue carbon,” terangnya.

Agar pengelolaan dan pengembangan mangrove terus berjalan lebih baik, Nani Hendiarti mengatakan kalau Pemerintah Indonesia juga melakukan manajemen pengelolaan mangrove yang berkelanjutan dan dilaksanakan oleh Kelompok Kerja Mangrove Nasional.

perlu dibaca : Membumikan Prinsip Ekonomi Biru di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil

 

Kawasan mangrove di Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Jateng. Foto : KLHK

 

Sementara, untuk melaksanakan pembiayaan, Indonesia melakukannya melalui pendekatan pentahelix. Dengan demikian, dukungan pembiayaan dapat dilakukan dari berbagai sumber, mulai dari pemerintahan, investasi, kerja sama bilateral, lembaga pendanaan internasional, serta program tanggung jawab social (CSR) dari privat sektor.

Pentahelix adalah sebuah model inovatif yang menghubungkan akademisi, praktisi/bisnis, komunitas, Pemerintah dan media untuk menciptakan ekosistem yang bisa menjadi solusi untuk pengembangan kebutuhan yang sedang berkembang.

 

Peta Jalan

Di luar rencana aksi dan pelaksanaannya di lapangan, Pemerintah Indonesia juga sudah menyiapkan peta jalan (roadmap) pengelolaan mangrove nasional. Di antaranya strategi dan program yang fokus pada rehabilitasi dan konservasi lahan seluas 600 ribu ha, dan proyek karbon biru.

“Saat ini kami juga sedang melaksanakan penyusunan metodologinya,” sebut dia.

Sebagai bagian dari program prioritas nasional, pengelolaan mangrove dan pemanfaatannya untuk karbon biru juga dilaksanakan dengan melibatkan komunitas masyarakat pesisir. Keterlibatan mereka menjadi bagian dari pengembangan mangrove yang berkelanjutan.

Pelibatan masyarakat juga perlu dilakukan penguatan dan spesifikasi yang tegas, agar insentif ekonomi benar-benar dirasakan oleh mereka. Untuk bisa seperti itu, masyarakat harus ada dalam struktur pemerintahan, dan memastikan aspek transparansi dengan adanya dokumentasi pelibatan masyarakat yang detail.

Selain melibatkan masyarakat, strategi pengembangan karbon biru di Indonesia juga melibatkan sektor swasta, pengembangan riset dan penelitian, penegakan hukum, pemanfaatan mangrove dan rumput laut, peningkatan kapasitas masyarakat pesisir, pembaruan peta mangrove yang akurat, peningkatan literasi, dan pendanaan yang stabil.

Juga, yang sedang diperjuangkan Indonesia saat ini adalah bagaimana agar potensi karbon biru bisa digunakan pada perdagangan pasar internasional. Untuk itu, diperlukan kerja sama dengan banyak pihak, termasuk negara-negara di dunia.

“Kita dapat bekerja sama pada sejumlah isu penting, khususnya terkait perubahan iklim yang penting dibahas pada area mitigasinya. Peningkatan kapasitas masyarakat serta kerja sama penelitian dan pengembangan metodologi sampai dengan implementasi juga penting dilaksanakan,” papar dia.

baca juga : Padang Lamun, Gudang Karbon yang Terancam Punah

 

Nelayan mencari ikan di Sungai Lalan yang berbatasan dengan TN Sembilang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Untuk diketahui, potensi EKB sangat besar sebagai solusi berbasis alam (nature-based solution) dan solusi berbasis laut (ocean-based solution) terhadap dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, negara-negara karbon biru perlu mengatasi ancaman terhadap degradasi EKB, merestorasi, merehabilitasi, dan melindunginya.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan belum lama ini juga berkampanye bahwa karbon biru adalah baik untuk Indonesia, karena ada potensi besar bisa menjadi solusi berbasis laut untuk perubahan iklim.

Dia menyebut kalau karbon biru juga bisa menghasilkan beragam manfaat lainnya (co-benefit), sehingga diperlukan tata kelola yang baik dan kemitraan lintas sektor. Tujuannya, untuk memastikan proyek karbon biru memberikan hasil yang baik dan kredibel secara jangka panjang.

Menurut dia, beragam manfaat lain dari karbon biru juga perlu diakui, karena dalam praktiknya proyek yang melibatkan karbon biru selalu mengadopsi prinsip-prinsip terbaik untuk pasar yang berkelanjutan dan adil.

“Sebagai negara maritim dengan salah satu reservoar karbon biru terbesar, Indonesia berkomitmen untuk mengambil aksi nyata untuk melestarikan dan melindungi ekosistem tersebut,” tegas dia.

Dia melanjutkan, di Indonesia sudah ada beberapa kebijakan terkait karbon biru, seperti program rehabilitasi mangrove nasional, pendirian Desa Mandiri Peduli Mangrove, dan regulasi berupa Peraturan Presiden terkait Nilai Ekonomi Karbon.

baca : Apakah Mangrove si Penyerap Karbon Bisa Tergantikan Teknologi?

 

Burung-burung terbang di atas mangrove Gili Petagan, Desa Padak Guar, Kecamatan Sambelia, Lombok Timur. Dulu pohon mangrove ditebang untuk bahan kayu bakar. Foto : Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Seperti diketahui, ekosistem padang lamun dan mangrove adalah benteng utama yang selama ini menjadi pelindung wilayah pesisir, terutama perlindungn dari dampak perubahan iklim yang makin nyata terjadi.

Namun, kebijakan EKB masih menghadapi tantangan yang kuat karena ada duplikasi dan ketidakjelasan kewenangan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan BRGM.

CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa mengatakan, permasalahan duplikasi dan ketidakjelasan kewenangan yang bisa menghambat pelaksanaan, pengawasan, dan pengelolaan EKB harus diatasi segera agar bisa menjadi lebih efektif dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan.

Sejumlah persoalan yang mendesak diselesaikan, adalah penyusunan tata ruang harus didasarkan pada inventarisasi lingkungan dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), percepatan penggabungan antara tata ruang darat dan laut sesuai mandat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK).

“Serta pengawasan dan penegakan hukum secara konsisten terhadap pelanggaran kebijakan tata ruang,” jelas dia belum lama ini di Jakarta.

Mas Achmad Santosa juga mengatakan bahwa akan ada potensi konflik tenurial antara Pemerintah dengan masyarakat yang menjadi pemilik lahan di kawasan pesisir dan sekaligus penjaga EKB. Ancaman tersebut harus diantisipasi, karena bisa menghambat efektivitas perlindungan EKB dan pemanfaatan ekonominya.

“Selain mangrove, data total luasan dan kondisi padang lamun di Indonesia (juga) belum tersedia sampai saat ini karena memang belum mendapat perhatian secara khusus dari Pemerintah,” tambah dia.

Selain itu, agar pengelolaan EKB bisa menjadi lebih baik, diperlukan integrasi pangkalan data (database), perencanaan, pengelolaan, pengawasan, kelembagaan, hingga pemberian manfaat ekonomi bagi Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.

 

Mangrove di atas air, dan padang lamun di bawahnya, kombinasi kekuatan untuk menyimpan karbon dunia. Foto: Keith Elienbogen@iLCP

 

Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM Profesor Satyawan Pudyatmoko menerangkan, merujuk pada Peraturan Presiden RI Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, pemanfaatan karbon melalui dua ekosistem tadi, harus ditindaklanjuti dengan melaksanakan prosedur menghitung efektivitas penyerapan dan penyimpanan karbon.

Kemudian, juga harus ada mekanisme pemberian dan pendistribusian manfaat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sehingga pelaksanaannya dapat memberikan manfaat yang besar untuk kepentingan masyarakat.

Di sisi lain, dengan tantangan dan segala keterbatasan yang ada, Pemerintah Indonesia tetap optimis akan bisa memenuhi komitmen pengurangan emisi hingga 29 persen pada 2030 mendatang. Komitmen tersebut menjadi bagian kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang dihasilkan dari Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-21 (COP21) di Paris, Prancis, 2015.

 

Exit mobile version