Mongabay.co.id

Ribuan Tahun Peran Gajah Membangun Peradaban Sumatera

 

 

Tulisan ini bagian kelima dari lima artikel yang diterbitkan untuk memperingati Hari Gajah Sedunia. Silakan baca tulisan pertama, keduaketiga, dan keempat.

**

 

Hubungan gajah dengan manusia di Pulau Sumatera, diperkirakan sudah berlangsung selama ribuan tahun. Hal ini dibuktikan dari sejumlah temuan arkeologis dan catatan sejarah.

Dr. Wishnu Sukmantoro dari Forest Wildlife Society [FWS] menyebutkan, di zaman purba atau sekitar 11 juta tahun silam, setidaknya enam genus atau subgenus gajah hidup di Nusantara [Indonesia]. Saat ini sebagian besar punah, tersisa dua subjenis gajah yakni gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus] dan gajah kalimantan [Elephas maximus borneensis].

Dijelaskan Wishnu, gajah menjadi hewan penting di Asia sebagai satwa dihormati. Misalnya, Ganesha atau yang disebut Bhatara Gana merupakan simbol penghancur segala rintangan, penganugerah kecerdasan dan kemakmuran.

Jauh sebelumnya, hubungan manusia dengan gajah sudah berlangsung sebelum Masehi. Ini dibuktikan adanya patung megalitik di lanskap Pasemah, Sumatera Selatan, yang menunjukan “keharmonisan” manusia dengan gajah: Manusia dan gajah berpelukan. Patung megalitik ini diperkirakan usianya sekitar 2.500 tahun lalu.

Hingga saat ini, penghormatan terhadap gajah terus berlangsung. Baik dalam ritual keagamaan, maupun dijadikan lambang instansi, termasuk perguruan tinggi, serta penyebutan penghormatan “datuk” bagi masyarakat di Sumatera dan Kalimantan.

 

Anak gajah liar telihat kantong Sugihan-Simpang Heran, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

Konflik gajah dengan manusia, jelas Wishnu, dipahami masyarakat Indonesia setelah pemerintah melakukan Operasi Ganesha pada 1982-1983 di Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan.

Sebab operasi tersebut, tujuannya untuk meniadakan konflik gajah dengan masyarakat transmigran. Konflik dikarenakan adanya alih fungsi lahan, dari kawasan hutan untuk perkebunan dan pertanian.

Pasca Operasi Ganesha, jelas Wishnu, pelatihan gajah dikembangkan dalam tata liman, bina liman, dan guna liman. Pelatihan ini mengantarkan sebagian gajah yang dipindahkan karena konflik dengan masyarakat transmigran, dilatih dan dibina menjadi gajah latih atau gajah jinak.

Sejumlah taman safari dan kebun binatang, juga mengambil sumber daya gajah sumatera untuk pariwisata, yaitu gajah-gajah yang sudah dijinakkan atau dilatih.

 

Anak gajah liar dan induknya berada di kantong Sugihan-Simpang Heran, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

Bukti arkeologi dan catatan sejarah

Lucas Partanda Koestoro, arkeolog dalam artikelnya “Gajah, Fauna Sumatera dalam Kisah Sejarah dan Arkeologi”, menuliskan sejumlah data dan bukti mengenai keberadaan gajah sumatera, serta hubungannya dengan manusia di Pulau Sumatera.

Pada Juni 1999, di Dusun Tiga, Desa Sipare-pare, Kecamatan Air Putih, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, ditemukan tulang gajah sumatera yang terkubur selama 4000-5000 tahun, yang mengalami proses pemfosilan.

Kerangka gajah sumatera yang memfosil, juga ditemukan di Sawah Kareh, Koto Parik Gadang Diateh, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, pada 2002. Diperkirakan tulang-tulang itu terkubur selama 5.000-10.000 tahun.

Pada penelitian lain yang dikutip Mongabay Indonesia, pada 2019, ditemukan sejumlah fosil kerangka gajah di Desa Nibung, Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Fosil tersebut terdiri gigi, tulang belakang, tulang lengan, dan sejumlah fragmen tulang lain.

“Dari hasil penelitian kami, usia fosil diperkirakan 16.000 –25.000 tahun lalu. Ini adalah Elephas maximus, subspesies gajah asia yang sama dengan gajah sumatera yang masih hidup hingga hari ini,”  kata Julien Louys, dari Griffith University, Australia, dalam webinar Paleo Talk Institut Teknologi Bandung [ITB], tahun 2020 lalu.

 

Kawanan gajah yang merusak pondok yang dibangun di wilayah jelajahnya di Air Sugihan. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

Dari masa Kedatuan Sriwijaya, tulis Lucas Partanda Koestoro, ditemukan gading gajah dari kapal dagang. Misalnya dari muatan kapal dagang dari masa Kedatuan Sriwijaya yang tenggelam di Laut Jawa, utara Cirebon.

Berdasarkan catatan China, dikutip Lucas dari Wolters, pada masa Kedatuan Sriwijaya abad ke-7, ada Kerajaan Tantan. Diperkirakan kerajaan ini berada di Pulau Jawa. Rajanya yang bernama Shih-ling-chia dari keluarga Shali tinggal di ibukota yang padat penduduknya. Bila raja mengadakan perjalanan singkat, maka raja menaiki gajah.

Catatan resmi penguasa China di masa lalu, juga menyebutkan tentang gajah dan bagian tubuhnya dari Sumatera. Dalam catatan sejarah Dinasti Song [960—1279], pada 974  disebutkan utusan Kerajaan San-bo-zhai menghadap Kaisar China. Utusan itu membawa gading sebagai salah satu upeti.

Sumber lain menyebutkan, keberhasilan Aceh melakukan berbagai ekspedisi militer didukung sistem persenjataan yang baik. Pada awal kebangkitannya, kemampuan militer Aceh selain didukung kombinasi artileri dan senjata tradisional, juga penggunaan gajah.  Misalnya, tulis Lucas, pada ekspedisi penaklukan Pidie dan benteng Portugis di Pasai, pasukan gajah menjadi kekuatan khusus Aceh.

“Gajah telah lama digunakan untuk kepentingan militer dan keluarga kerajaan, bahkan sebelum Islam datang. Pada abad ke-12, penguasa Peureulak telah menunggang gajah yang diberi kelengkapan berhiaskan emas [Hadi 2010, 22]. Seperti yang disaksikan Ibnu Battuta, musafir muslim abad ke-14 asal Maroko, penguasa Samudera-Pasai juga naik gajah sementara para pendampingnya naik kuda [Dunn 1995, 386],” tulis Lucas.

Tampaknya, gajah mulai dijadikan komoditas perdagangan pada abad ke-15. Sumber Portugis menceritakan Nayinar Kuniyappan, seorang pedagang berbangsa Tamil, diangkat sebagai syahbandar di Samudera-Pasai. Diceritakan, pada tahun 1525, dia sibuk dengan perdagangan bahan makanan, hasil hutan berupa rotan, serta gajah, yang dibawa ke Kedah dan Malaka.

 

Satu kelompok gajah terpantau di kantong Sugihan-Simpang Heran, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

Gajah dan Kedatuan Sriwijaya

Kedatuan Sriwijaya sangat erat hubungannya dengan gajah. Gajah digunakan sebagai tenaga dan kendaraan perang. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang memerintah dari Damaskus, pemimpin Kedatuan Sriwijaya yang diduga bernama Sri Indrawarman menulis surat kepada khalifah. Begini terjemahannya:

“…Dari raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil…”

Di dalam Prasasti Tanjore [1030-1031], diceritakan seorang pemimpin Sriwijaya, Sangrama-Vijayaottungavarman, ditawan bersama gajahnya oleh Kerajaan Chola pada 1025 di Kadaram atau Kedah.

Selain itu, dalam Prasasti Wat Sema Mueang atau Prasasti Ligor juga disebutkan gajah. Prasasti itu menjelaskan pembangunan candi atau tempat suci oleh pemimpin Sriwijaya, yang saat itu masuk wilayah Thailand.

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, jejak Kedatuan Sriwijaya dan gajah masih terbaca pada saat ini.

Di Sumatera Selatan terdapat delapan kantong gajah, meskipun sebagian sudah sulit didapatkan gajah. Yakni Benakat Semangus, Meranti Sungai Kapas, Lalan, Hutan Jambul Nanti Patah, Mesuji, Saka Gunung Raya, Suban Jeruji, dan Sugihan-Simpang Heran.

Delapan kantong ini berada di wilayah pegunungan dan pesisir.

Misalnya pada kantong gajah di Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin [Muba]. Pada kantong gajah ini banyak ditemukan sejumlah situs permukiman pra-Sriwijaya. Situs diperkirakan ada pada abad ke-4 dan 5 Masehi.

Lalu kantong gajah Sugihan-Simpang Heran, yang banyak ditemukan situs permukiman di masa Kedatuan Sriwijaya.

Candi Bumiayu, satu-satunya candi agama Hindu dari masa Kerajaan Sriwijaya, di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanahabang, Kabupaten PALI [Penukal Abab Lematang Ilir], masuk dalam kantong  gajah Benakat Semangus.

 

Kelompok gajah liar di kantong Sugihan-Simpang Heran, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

Gajah adalah ibu

Dian Maulina, dari Fisip UIN Raden Fatah Palembang, menyebutkan hubungan gajah dengan manusia selama ratusan tahun, melahirkan pengetahuan bagi manusia yang diambil dari perilaku gajah.

Terutama terkait peranan seorang ibu. Gajah betina merupakan seorang pemimpin di dalam keluarga [gajah grup]. Sebagai seorang pemimpin, dia bukan hanya mengurusi anaknya, saudaranya, juga para gajah tua.

“Gajah betina yang memimpin ini bukan hanya memikirkan soal makanan [pangan], juga memastikan jalur yang dilalui itu aman dan lancar bagi seluruh anggotanya,” kata Dian.

“Tampaknya, masyarakat di Pulau Sumatera belajar banyak dari sosok gajah betina yang menjadi pemimpin kelompok. Khususnya dalam memosisikan perempuan di keluarga. Perempuan menjadi sentra keluarga. Sementara para jantan [laki-laki] harus keluar dari kelompok, yang dipelajari manusia sebagai upaya mencari nafkah atau penghubung antarkeluarga,” jelas Dian.

Selain itu, ketika gajah jantan berusia remaja, dia wajib keluar dari kelompok. Hidup mandiri, mencari pasangan dari keluarga gajah lainnya, sehingga tidak terjadi incest atau perkawinan sedarah.

“Hal ini juga menjadi pengetahuan bagi masyarakat Melayu di Sumatera. Seorang pemuda harus merantau, mencari rezeki dan jodoh di luar kampung,” kata Dian.

Gajah betina yang memimpin kelompok, juga dikenal sebagai penjaga moral.

“Sebagian masyarakat yang hidup sekitar habitat gajah, sangat percaya jika di kampung atau dusun terjadi sesuatu yang tidak baik, seperti adanya perselingkuhan atau hal-hal negatif lainnya, maka kelompok gajah yang dipimpin gajah akan masuk kampung. Merusak rumah orang yang melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut,” ujarnya. [Selesai]

 

Exit mobile version