Mongabay.co.id

Kiat Anak Muda Membangun Usaha Lestari

 

Puluhan anak muda di Bali menunjukkan 12 model bisnis usaha lestari untuk menjawab masalah lingkungan seperti perubahan iklim dan ketahanan pangan. Mereka bekerjasama dengan petani atau pengerajin lokal untuk membuat produk rintisannya.

Ada tiga kategori pengembangan usaha lestari yang didampingi Inkubasi Usaha Lestari (Inkuri) ini yakni agropangan, kriya, dan pariwisata. Dari 12 inisiatif, terpilih tiga terbaik.

Mereka adalah adalah Pranee, kiat mengurangi polusi air dengan menciptakan deterjen organik dan ramah alam. Bagudaya, memberdayakan pengerajin lokal di Bali timur untuk memanfaatkan serat tanaman gebang menjadi aneka kerajinan berbahan natural. Berikutnya, Kopuri, yang menciptakan inovasi produk bubuk kopi robusta dan herbal organik, bekerja sama dengan petani di Pucaksari, Buleleng.

Satria, pengembang Pranee terlihat antusias menjelaskan produknya. Ia mengajak mencium aroma deterjen yang dioleh dari kombinasi ecoenzym dan surfaktan minyak kelapa sawit dan bahan sintetik yang diklaim tidak mencemari lingkungan.

Nilai tambah dari produk ini adalah kemasan produknya yang berupa plastik bisa didaur ulang jadi lapisan pembuat kaki palsu. Satria mengaku sudah bekerjasama dengan pengerajin kaki palsu di Buleleng. Semua produk dan jasa ini dipamerkan pada 13 Agustus 2022 di Tuban, Kabupaten Badung.

baca : Usaha Berbasis Ekologis dari Masalah Ekologi

 

Pranee, deterjen dari ecoenzym dan surfaktan. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Di meja lain, pengembang Bagudaya menunjukkan aneka hasil olahan serat sisal (Agave sisalana) dan warga lokal menyebut gebang. Tanaman ini tumbuh di kaki dan lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem, diyakini menjaga tanah dari erosi dan mampu menyerap karbondioksida dengan baik. Bagudaya memamerkan olahan serat ini melalui bros, anting-anting, sandal, dan lainnya.

Ari, salah satu perintis Bagudaya adalah pekerja LSM lingkungan yang bekerja di Kubu, Karangasem, lokasi pengrajin gebang. Warga mengambil serat dari tanaman sisal ini dan menjualnya sebagai bahan rambut barong, atraksi seni sakral dan pertunjukan populer di Bali.

Sementara pengembang Kopuri menunjukkan upaya merevitalisasi tanaman kopi di Pucaksari, Buleleng dengan memperbaiki rantai produksi dan distribusinya. Mereka menghidangkan kopi robusta dan jajan Bali pada pengunjung sambil menceritakan proses produksinya. Mahalina, salah satu perintisnya mengatakan bekerjasama dengan 10 subak (kelompok petani) untuk meningkatkan nilai produksi komoditas ini.

Dalam sesi diskusi, I Gusti Agung Alit, pendiri Mitra Bali Fair Trade mengingatkan para wirausaha muda ini jangan hanya memikirkan untung tanpa peduli manusia (people) dan bumi (planet). Ia mengkritik banyaknya jenis usaha dan pariwisata di Bali namun tapi model kebijakannya tidak ada. “Pariwisata tak bisa hanya ritual dan pantai indah. Harus memastikan keuntungan bagi produsen, pengrajin, peternak, dan lainnya,” katanya.

Mitra Bali, eksportir kerajinan ini dimulai pada 1993 dengan kerajinan tangan atau cinderemata yang sangat populer sebagai oleh-oleh saat itu. Namun, kehidupan pengrajin yang berkontribusi pariwisata ini disebut sangat menyedihkan. Mereka dibayar sangat murah dan bekerja dengan kondisi lingkungan tidak sehat.

Mitra Bali bekerjasama dengan pengerajin dengan menerapkan 10 prinsip perdagangan berkeadilan (fair trade). Kesepuluh prinsip fair trade adalah menyiapkan peluang bagi pengerajin kecil, transparansi dan akuntabilitas, praktik perdagangan berpihak pada yang terpinggirkan dan lingkungan, pembayaran upah layak, dan memastikan tidak ada pekerja anak atau paksa. Prinsip berikutnya adalah nondiskriminasi dan kesetaraan gender, kondisi kerja layak, meningkatkan kapasitas pengrajin, mempromosikan fair trade, dan memastikan bahan baku berkelanjutan.

baca juga : Urban Farming, Mandiri Pangan di Masa Pandemi

 

Bagudaya, mengolah serat sisal atau gebang jadi kerajinan dan aksesoris. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Dalam praktiknya, Gung Alit mencontohkan pengrajin mengetahui tujuan produk yang dijual, pembayaran uang muka order harus minimal 50% ke pengrajin, dan bahan baku tidak boleh dari hasil perusakan alam. Untuk itu, salah satu siasat yang dilakukan untuk mengakses bahan baku adalah program penghijauan di lahan milik pengrajin yang hendak dijual.

Alih-alih dijual, Mitra Bali pada 2004 menyewa lahan pengrajin yang terjebak utang di rentenir selama 10 tahun. Mereka menanami lahan dengan 1000 pohon albesia, sekitar 70% hasilnya untuk pemilik lahan. Program ini juga berlanjut di area lain milik pengrajin. “Orang bisnis harus bisa menyelesaikan masalah lingkungan,” ingatnya.

 

Mengolah pangan biasa jadi luar biasa

Beberapa usaha rintisan ini mengembangan agropangan. Gumitri adalah camilan sehat dari beras organik. Pengembangnya bermitra dengan petani di Subak Uma Lambing, Subak Sangeh, dan Jatiluwih untuk menyediakan bahan baku. Camilan ini diolah dari beras yang disangrai, setelah empuk diisi madu sebagai pemanis dan perekat. Jadilah bola-bola beras atau rice puff.

Berikutnya ada Belutin, anak muda yang tertarik mengolah dan budidaya belut untuk pangan alternatif dan melestarikan belut, indikator pertanian minim pestisida kimia sintetik. Jika sawah padat zat sintetik, hewan sawah yang jadi menu di piring petani di masa lalu pun hilang. Misalnya keong dan belut.

Di Kabupaten Tabanan, ada anak muda yang kembali ke desa untuk mengurus kebun kopinya mengembangkan Canephora. Mengolah dan menjual biji kopi robusta dengan skema harga adil bagi petani di desa Pajahan.

Dari kelompok usaha kriya, ada berbagai jenis produk menarik. Misalnya Metangi yang memanfaatkan limbah pertanian kulit jagung menjadi kertas. Pengembang bekerjasama dengan petani dan pengepul jagung di Desa Adat Gelgel, Klungkung. Kertas daur ulang dari kulit jagung ini dinilai lebih kuat dibandingkan dari kertas bekas karena seratnya. Namun dalam pengolahan perlu waktu lebih lama yakni merendam kulit jagung agar lebih lunak.

baca juga : Geliat Petani Muda Bali di Tengah Pandemi COVID-19 [Bagian 1]

 

Metangi, kertas daur ulang dari kulit jagung. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Ada juga Luna Pads, upaya mengurangi limbah dengan menciptakan pembalut pakai ulang ramah lingkungan yang dijahit oleh ibu rumah tangga pra sejahtera di Singaraja, Kabupaten Buleleng.

Muspa Bakti berupaya mengurangi limbah plastik dengan mengolahnya menjadi produk upcycle di Desa Marga, Tabanan.

Untuk kategori pariwisata, ada Bendega, ekowisata mangrove untuk memperbaiki ekosistem laut dan mengolah buah mangrove jadi aneka pangan. Mereka bekerja sama dengan kelompok Nelayan Simbar Segara dan Mina Werdhi Batu Lumbang di dekat Teluk Benoa. Bendega memamerkan keripik dari buah mangrove dan mengedukasi pembeli dengan stiker-stiker yang memvisualisasikan ekosistem mangrove, misalnya kepiting, udang, dan mangrove sebagai penyimpan karbon.

Sementara Travelearn Indonesia menyediakan paket yang diyakini responsible tourism dengan mengajak wisatawan menikmati alam dan kearifan lokal Bali.

Inisiatif lain adalah Omahyang, anak-anak muda dari Kabupaten Klungkung yang berupata mencari solusi krisis air di desanya dengan menghijaukan kawasan sumber air. Pengunjung bisa melakukan carbon offset dari emisi yang diproduksi dengan menanam pohon dan menawarkan jasa lingkungan kawasan hutan desanya yang tersisa.

Ida Bagus Putrayasa, Sub-Koordinator Unit Substansi Ekonomi Badan Pembangunan Daerah Provinsi Bali mengatakan pertumbuhan ekonomi Bali didominasi pajak kendaraan sebagai pendapatan asli daerah. Paradoks dari jargon pariwisata Bali yang diwacanakan sebagai wisata alam dan wisata hijau namun pembangunannya digerakkan dari pajak produsen emisi.

 

Exit mobile version