Mongabay.co.id

Cerita Perempuan Adat Sawai Ketika Ada Industri Nikel

 

 

 

 

Nur Saleh, mondar-mandir di depan rumah yang berjarak sekitar tiga meter bibir pantai. Perempuan 59 tahun ini tengah menunggu suaminya, Abdulah Ambaria, pulang melaut. Abdulah bersama kerabat sejak pukul 07.00 pagi berangkat mencari ikan di perairan depan kampung mereka, Lilief Waibulen, Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Sambil menunggu rombongan kembali, Nur mempersiapkan bekal makanan tambahan.

Sejak sakit, Nur sudah tak bisa lagi melaut mencari ikan bersama suami.

“Mama ini dulu kalau belum sakit ikut bapak melaut, buang jaring (menjala ikan) di laut, berenang di laut untuk melempar ikan supaya masuk dalam jaring,”katanya memikul solar dalam jirigen ke tepi laut.

Mereka tinggal di daerah yang berdekatan dengan kawasan industri nikel. Dia bilang, sejak ada tambang lalu kawasan industri suaminya sangat sulit mendapatkan ikan di sekitar perairan Teluk Sawai. Dulu, tangkap ikan sekitar perairan Teluk Sawai sudah mencukupi.

“Dulu, dekat saja. Mungkin limbah dari beberapa perusahaan hingga kalau malam air laut sangat panas,” katanya.

Kini, di lokasi penangkapan ikan, juga banyak kapal tongkang sejumlah perusahaan tambang hingga nelayan susah melaut di sana.

“Samua kapal ada di situ. Kalau tidak hati-hati bisa saling tabrak kalau sedang cari ikan.”

Sebelum ada kawasan industri, sudah ada beberapa perusahaan tambang nikel di hulu, seperti PT Weda Bay Nikel (WBN). Nelayan biasa jual hasil tangkapan ke perusahaan tambang nikel.

Belakangan ada kawasan industri terbangun di pesisir sekaligus kepemilikan saham WBN juga beralih ke PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Ini perusahaan patungan investor Tiongkok, yaitu Tsingsan, Huayou, dan Zhenshi.

“Beda. IWIP tidak kasih izin kita untuk jual ikan di perusahaan. Semua ikan mereka datangkan dari luar desa kami,” katanya.

Dia berharap, perusahaan membeli ikan mereka. “Semestinya perusahaan ambil ikan di masyarakat nelayan sekitar, bukan ambil ikan di luar. Ini tidak sama sekali, kami dirugikan berkali-kali,”katanya.

Nur bersama suami, misal, memperkerjakan 10 nelayan yang merupakan kerabat mereka. Saat ini, ikan makin sulit, hingga belum tentu ada hasil tangkapan, tetapi upah pasti keluar ditambah lagi biaya bahan bakar minyak (BBM).

Warga adat Sawai di Desa Lilief Waibulen yang tinggal di pesisir bergantung hidup pada hasil laut.

Setelah ada kawasan industri, tempat tinggal mereka pun jadi tak nyaman lagi. Penimbunan oleh perusahaan, menyebabkan setiap sungai pasang, air menggenangi halaman bahkan masuk rumah warga. Dia sempat melaporkan kejadian ini ke pemerintah desa, tetapi tak mendapat tanggapan.

“Ini kalau air lat naik, ini semua pono (penuh). Kami swadaya menimbun tanah. Itu juga alat berat kami bayar sendiri. Pemerintah desa malah marahi kenapa kami menimbun tanah.”

Alasan penimbunan, kata Nur untuk mencegah air masuk ke rumah-rumah warga yang ada di pesisir.

“Pemerintah harusnya bersyukur kami membantu bukan malah melarang.”

 

Baca juga: Nasib Nelayan Halmerah Tengah Setelah Ada Industri Nikel [1]

Wilayah eksploitasi tambang PT WBN di Desa Lelilief Sawai. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Membuat pembatas, katanya, bukan tak memerlukan biaya. Warga terpaksa alokasikan anggaran sampai puluhan juta agar air tak masuk ke rumah mereka.

Lahan berkebun warga pun makin terbatas. Bahkan, kebun Nur jadi bermasalah karena saling klaim batas tanah. Tanah itu sudah warisan turun temurun.

Sejak perusahaan masuk, terjadi klaim batas tanah. Beberapa hektar lahan Nur tergusur tanpa sepengetahuannya.

“Saling serobot dan klaim tanah antar keluarga juga masyarakat lain. Kalau kita sudahkaveling lahan itu, mereka masuk di tengah dan langsung melakukan penggusuran.”

Dia bilang, harga tanah diatur desa dan perusahaan berkisar Rp9.000 per meter. Dia mematok Rp30.000 per meter. Tak ada kejelasan tahu-tahu lahan itu sudah diserobot orang lain, dan tergusur.

Banyak lahan milik keluarganya, kata Nur, yang belum dibayar perusahaan.

“Mereka terus gusur saja. Katanya harga lahan itu mentok dengan Rp9.000, padahal dekat jalan, dan banyak tanaman yang bisa menghidupi keluarga kami.”

Afrida Burnama, perempuan Desa Lilief Sawai juga rasakan hal serupa. Kebun diukur perusahaan tanpa sepengetahuannya.

“Kebun saya perusahaan ukur 4,5 hektar. Datang untuk tanda tangan, saya tolak. Dia bilang, begini ibu punya kebun ini harga Rp6.000 per meter.”

Dia kesal. Lahan kerabatnya yang bersebelahan Rp9.000 per meter. “Saya tidak mau karena kenapa saya punya lahan ada tanaman hanya Rp6.000 per meter, kerabat didekat saya tak ada tanaman Rp9.000,” katanya kepada petugas yang mengukur tanah. Petugas ini adalah perantara perusahaan dari desa setempat.

Sang perantara pun menawarkan harga Rp9.000 per meter dan minta Ida tandatangani kesepakatan penyerahan lahan. Ida menolak. Belum ada kesepakatan Ida menjual lahan, tetapi di lapangan mulai tergusur. Dia sempat melaporkan kasus ini ke polsek, tetapi tak ada kejelasan.

Ida juga protes Sungai Ake Wosea masuk konsesi dan perusahaan timbun dengan tanah. “Dulu di Kar-kar kita memancing dengan baskom saja, ikan banyak. Sekarang sudah ditimbun tanah. Kita bisa membeli ikan es saja, makan juga tidak sehat karena ikan bawa ke sini sudah bermingu-minggu dan hancur.”

Selain itu, katanya, masyarakat biasa mengambil batu di sungai itu untuk keperluan sendiri maupun dijual. Warga tak lagi punya akses untuk beraktivitas di sana.

Torang sudah susah dapatkan pasir, batu untuk buat rumah. Semua harus beli. Harus beli di Tobelo. Jarak jauh, sudah barang tentu ongkos juga mahal.”

Bagi Ida, investasi yang digadang-gadang mensejaterahkan masyarakat, malah menambah penderitaan terutama mereka yang tinggal di sekitar perusahaan seperti Desa Lilief Sawai dan Lilief Waibulen dan Gemaf.

“Masyarakat saat ini menderita karena mau ambil pasir tidak bisa, ambil batu tidak bisa, berkebun juga tidak bisa karena lahan telah digusur. Mau memancing di laut juga dilarang, memancing di pesisir pantai juga ditutup, sungai mengambil air minum dan mandi semua sudah ditutup. Sebenarnya tanah dan air ini milik siapa? Kita seakan dipenjara di rumah sendiri.”

Sebelum ada perusahaan, katanya, walau tak punya uang namun dia dan keluarga bisa mengambil hasil kebun seperti pisang dan umbi-umbian untuk makan. Saat ini, katanya, pasca kebun tergusur sumber pangan pun sulit.

Dia contohkan, harga pisang sesisir Rp20.000, tomat Rp5.000 per buah, cabai kecil setumpuk Rp5.000. Kalau mereka bisa menanam maka tak perlu membeli.

“Hasil kebun yang biasa kita ambil tanpa beli sekarang harus beli di pasar. Katanya perusahaan yang akan perbaiki ekonomi kita malah menyengsarakan masyarakat kecil,” katanya.

 

Baca juga: Nasib Sungai di Halmahera Tengah Kala Industri Nikel Datang [2]

Pembukaan area pertambangan nikel di Halhamera Tengah, Maluku Utara. Foto : AMAN Maluku Utara

 

Dulu sumber berlimpah, kini beli air galon

Warga juga kesulitan air bersih. Ida dan keluarga untuk minum harus beli air mineral dari galon keliling yang didatangkan dari Weda.

“Satu galon Rp10.000. Seminggu biasa minum lima galon, dikalikan sebulan sudah berapa? Setahun? Itu membuat kami kesulitan. Mahal,” katanya.

Padahal, dulu sumber air di sekitar mereka berlimpah dan bisa konsumsi dengan gratis. “Sekarang, kita bagai hidup di dalam penjara di rumah kami sendiri.”

Air sekitar sudah tak bisa untuk konsumsi. Aliran sungai tercemar dan tertutup lumpur, untuk mandi dan cuci saja kadang gatal.

“Di beberapa sungai tidak bisa minum lagi, sumur yang biasa kami gunakan pun sudah mulai bau dan kotor karena debu jalanan.”

Limbah rumah tangga, katanya, juga buang sembarangan hingga berdampak ke sumur galian. Belum lagi limbah dari WC karena kos-kosan yang tak teratur di Desa Lilief Sawai dan Lilief Waibulan.

Saat ini, sebagian penduduk Desa Lilief Sawai hanya berharap dari kos-kosan mereka untuk para pendatang maupun pekerja IWIP. Sebagian lain kelimpungan karena kebun dan isinya sudah tergusur.

Marsolina Kokene, nelayan Desa Gemaf, Kecamatan Weda Utara, mengatakan, sebagian kecil senang atas kehadiran perusahaan karena bisa jadi karyawan dan bekerja di sana. Sisi lain, katanya, banyak warga kehilangan ruang hidup.

Dia salah satu yang menolak menjual lahan pada perusahaan. Akses cari ikan pun kiniterbatas. Beberapa kali, Lina bersama kerabatnya memancing ikan, di Fabukelo, dan Tanjung Uly. Dia ditegur dan diminta meninggalkan tempat itu.

Padahal, sebelum ada perusahaan di Lelilef dan Gemaf, warga bebas melaut di sana.

Riset Papua Study Center (PSC) di desa-desa sekitar tambang di Kecamatan Weda Tengah dan Weda Utara, Halmahera Tengah, menemukan, komunitas adat tercerabut dari sumber-sumber penghidupan hingga akan bekerja apa saja untuk memenuhi keperluan hidup.

Kekayaan di wilayah adat Halmahera Tengah telah tereksploitasi beberapa perusahaan selama puluhan tahun. Ia berdampak luar biasa dalam bentuk penurunan kesehatan masyarakat, kerusakan lingkungan, dan pencemaran cukup serius. Asupan gizi kurang, potensi terpapar bahan kimia yang dipakai dalam pengelolaan tambang nikel juga sumber kehidupan dan makanan dari hutan musnah.

Dalam riset itu juga menyebutkan, mata pencaharian masyarakat hilang mengakibatkan anak-anak kehilangan pendidikan karena putus sekolah. Riset ini juga menemukan peran perempuan adat sebagai penjaga pangan hilang. Ada kebiasaan ramedi atau memungut hasil di laut dan pianga (memungut) hasil hutan itu pun terkikis.

Ida atau perempuan Desa Lelilef Sawai yang lain biasa pergi ke hutan atau kebun untuk mengambil kelapa dan buah-buahan yang jatuh dari pohon, ataupun tanaman lain untuk bahan pangan keluarga. Namun, ketika lahan dan luasan hutan makin menghilang mereka sulit mendapatkan bahan makanan.

Mereka terpaksa menempuh waktu lebih lama untuk mencari makanan, bahkan harus membeli bahan pangan di pasar. Kondisi ini jarang terjadi sebelum perusahaan tambang atau kawasan industri masuk dan menggusur perkebunan mereka.

Astuti N Kilwouw, Direktur Fajaru Maluku Utara juga bergabung di Walhi Maluku Utara mengatakan, dalam beberapa penelitian mereka menemukan perempuan terdampak ganda dari kehadiran industri ekstraksi seperti pertambangan. Satu contoh, di sekitar perusahaan tambang, PT Nusa Halmahera Mineral (NHM). Di perusahaan ini, pekerja perempuan tak terakomodir.

Padahal, sumber penghidupan perempuan di kebun dan lahan pertanian maupun perikanan sudah sulit. Dulu, Teluk Kao, tempat perempuan cari teri, cumi atau kasiah (udang halus). Kini, ikan atau udah makin sulit ditemukan.

 

Baca juga: Lahan Terakhir Warga Halmahera di Tengah Pusaran Industri Nikel [3]

Perempuan adat di Halmahera Tengah, dengan ruang hidup makin terhimpit tambang dan kawasan industri nikel. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Orang Tabobo terutama perempuan dulu bikin terasi dari kasiah. Tambang hadir, buyar sumber penghasilan dari bikin terasi.

“Tahun 2014 waktu saya penelitian itu sisa empat perempuan yang masih sebagai perajin terasi.”

Ketika Teluk Kao sudah sulit temukan kasiah, perempuan Tabobo harus membeli bahan dasar di Desa Akelamo, jarak jauh dari desa mereka hingga biaya makin tinggi.

“Dengan ongkos transportasi, harga udang Rp25.000 per kilogram. Kalau dulu mereka bisa dapat udang gratis.”

Perempuan kehilangan ruang produksi, katanya, secara simultan tidak terakomodir di dalam jenis usaha baru yang masuk.

Kekerasan seksual, katanya, juga meningkat. Dari hasil penelitian di Gane, Halmahera Selatan, banyak kekerasan terhadap perempuan dampak kehadiran konsesi perkebunan sawit.

“Misal, satu kelompok harus mengerjakan empat blok di perkebunan hingga mereka ketika mengerjakan rentan menghadapi kekerasan seksual oleh rekan-rekan sesama buruh atau mandor maupun atasan. Itu ada tapi tidak pernah dilaporkan.”

Korban kadang masih menganggap kekerasan seksual sebagai aib hingga tak berani bersuara atau melaporkan.

 

Kesehatan terancam

Ancaman kesehatan juga dialami warga atas kehadiran industri ekstraktif di daerah mereka. Penyakit terutama terkait penapasan banyak warga alami. Data pelayanan rujukan UPTD Puskesmas Lelilef 2021 menyebutkan, kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), kelompok perempuan ada 287 orang.

Haruna Muhammad, Kepala UPTD Puskesmas Lelilef, mengatakan, kasus ISPA karena lingkungan masyarakat berada di dekat industri pertambangan maka debu sangat mempengaruhi.

“Kita tidak memakai alat untuk mengukur, tapi dari kasat mata, debu itu terlihat menempel di daun-daun, menempel di tembok, bahkan kendaraan itu sudah menggambarkan bahwa terjadi peningkatan debu yang sangat tinggi,” katanya.

Pengalaman saya, di jalan utama menuju Desa Lelilef Waibulen dan Lelilef Sawai, sekitar 30 menit berdiri, kaos hitam penuh debu.

Warung makan dan kios-kios di tepi jalan juga penuh debu. Pedagang yang saya temui bilang, harus menyiram jalan agar debu tak masuk ke dalam dagangan mereka.

Mama Ona, pedagang warung makan mengatakan jualan kerap merugi karena orang enggan makan karena tak nyaman dengan debu berterbangan di sekitar warung. Meski warung sudah disekat dengan plastik namun banyak kendaraan lewat membuat debu tetap masuk lewat celah fentilasi.

“Saya ini siram terus jalan pakai air, tapi kendaraan perusahaan ini lalu lalang terus hingga debu berterbangan di dagangan saya.”

Pedagang pakaian dan asesoris elektronik juga keluhkan hal senada. Mereka kesal karena debu menempel pada dagangan mereka, meski sudah disiram air.

“Air kami beli. Dikalikan saja kalau sehari itu bisa 3–4 drum harga Rp20.000, mau dapat berapa kita dari hasil jualan ini?”

Siti Maimunah, peneliti Sajogyo Institute mengatakan, pembangunan yang tak berkeadilan lingkungan hidup berdampak langsung terhadap kerja-kerja perempuan di ruang domestik maupun publik. Salah satu indikasinya terlihat dari kualitas dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Dia katakan, data Kementerian Lingkungan Hidup 2008 (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) menunjukkan, 75% dari 9.000 dokumen amdal yang disetujui kategori buruk. Sekitar 50% Komisi Amdal Daerah tak berjalan sesuai tugas dan fungsi.

Dengan kondisi amdal proyek seperti itu, katanya, akan berdampak terhadap rasa tidak aman, baik lingkungan hidup, pangan maupun kesehatan masyarakat, terutama perempuan.

Perempuan tambah beban karena ruang hidup berubah. Hutan hilang, air sungai atau laut tercemar menyulitkan perempuan yang kebanyakan masih bertanggung jawab atas peran domestik seperti pemenuhan pangan dan sumber air.

Belum lagi, katanya, berelasi dengan sistem reproduksi perempuan, misal, kalau haid memerlukan air bersih. “Kalau lingkungan hancur tentu berpengaruh bagi kesehatan reproduksi.”

Hal lain lagi, keterlibatan perempuan dalam mengambil keputusan atau diminta pendapatnya masih minim.

Dewi Chandraningrum, aktivis perempuan juga pengajar di Univesitas Muhammadiyah Surakarta mengatakan, perempuan sekitar tambang mengalami banyak masalah, antara lain, secara biologis sistem reproduksi lebih kompleks dari laki-laki. Perempuan mendapat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Karena sistem reproduksi ini, katanya, menyebabkan perempuan lebih rentan terhadap polusi dan bencana iklim.

 

Dalam struktur masyarakat patriarki, baik komunitas tradisional dan modern, perempuan masih ditugasi dalam arena merawat, mengasuh, dan melayani. Kondisi ini, katanya, menyebabkan perempuan harus berhubungan dengan air lebih banyak daripada laki-laki.

“Perempuan melakukan tugas-tugas domestik, mulai mencuci peralatan masak, memasak, mencuci baju, membersihkan rumah, memandikan anak. Hal-hal itu membuat perempuan berhubungan banyak dengan air.”

Saat ini saja, perempuan adat Sawai sudah mengalami kondisi begitu berat, bagaimana ke depan?

Aktivitas warga mencari ikan di Muara Sungai Waleh, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Gambar diambil pada bulan Oktober 2020. Foto: Rian Hidayat Husni

 

*******

 

 

*Liputan ini merupakan Fellowship Pasopati Journalism Fund (PJF) Auriga Nusantara dengan Mongabay Indonesia.

Exit mobile version