- Kehadiran pertambangan, menyusul kawasan industri nikel di Halmahera Tengah, Maluku Utara, berdampak pada banyak sektor. Pada tulisan pertama dan kedua, mengulas soal masyarakat pesisir dan nelayan yang terdampak. Pertambangan datang, laut rusak karena tercemar limbah dari operasional perusahaan. Sungai-sungai tercemar, lalu mengalir ke laut, juga tercemar. Nelayan pun sulit dapat ikan di wilayah tangkap yang sebelumnya banyak ikan. Bagian ketiga ini menceritakan, lahan-lahan warga Halmahera Tengah yang terdampak dengan kehadiran pertambangan, belakangan kawasan industri.
- Kini, lahan-lahan produktif warga menyusut, sudah sedikit yang menggarap lahan. Sumber pangan seperti pisang, sagu, dan sayur mayor yang biasa mudah dapat dari kebun mereka terpaksa harus beli.Setelah lahan banyak lepas jadi pertambangan maupun bagian lain dari kawasan industri nikel itu, warga pun mulai alami kesulitan pangan.
- Melky Nahar, Koordinator Nasional Jaringan Adovokasi Tambang (Jatam) mengatakan, jauh sebelum tambang masuk, masyarakat adat di Weda Tengah, sebagian besar bekerja sebagai petani dan nelayan. Kini mereka harus tercerabut dari ruang hidup itu. Sebelumnya, warga bergantung hidup dari pala dan kopra tetapi kini hlang. Sebagian warga kini bekerja di kawasan industri.Dalam kondisi ini, akan terjadi perubahan fundamental, produksi dan komsumsi di tingkat warga.
- Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Maluku Utara mengatakan, dengan ada kawasan industri ini masyarakat termasuk adat makin terancam. AMAN, katanya, sebagai lembaga masyarakat adat selama ini berupaya memfasilitasi masyarakat untuk membuat peta wilayah adat.
Ada cengkih, kelapa, pala, maupun tanaman semusim seperti sayur mayur dan bumbu di kebun Hernemus Takuling, di Woenya, Halmahera Tengah. Hari itu, Hernemus sedang membersihkan kebun dari rumput liar dan semak belukar. Kebun itu berjarak tiga kilometer dari rumahnya di Desa Lelilef Sawai. Desa yang jadi kawasan industri nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).
Hernemus bilang, kebun ini merupakan lahan terakhirnya. Sejak perusahaan, PT Weda Bay Nikel beroperasi pada 2009, dia kerap mendapat intimidasi karena terus menolak pembebasan lahan.
“Saya lebih suka menjalani hidup sebagai petani daripada kerja di tambang,” katanya.
Saat itu, kata Hernemus, banyak warga di Desa Lelilef berkeinginan menjual lahan karena diiming-iming banyak uang oleh perusahaan.
“Waktu itu perusahaan beli lahan Rp8.000 per meter. Dulu, lahan saya mau dibebaskan PT Tekindo Energi, perusahaan yang menggarap nikel juga di desa kami, saya menolak dan persilakan mereka membayar Rp7 miliar, akhirnya mereka mundur.”
Lahan seluas delapan hektar ini merupakan satu-satunya perkebunan terakhir di sekitar desa. Sebagian habis terjual atau tergusur.
Sebagian lahan keluarga Hernemus, dijual. Mereka terpaksa melepaskan lahan sekitar 12 hektar berisi kelapa, pala, cengkih seluas seluas hektar. Lahan lain lima hektar juga banyak tanaman semusim.
Penetapan harga lahan, katanya, bukan berasal kesepakatan bersama tetapi sepihak. Harga juga bervariasi, rata-rata Rp8.000-Rp9.000, bahkan Rp6.000 per meter.
“Harga itu tak cukup untuk membeli minyak goreng sekilo[gram].”
Sebagian lahannya yang terpaksa dijual Rp35.000 per meter, lebih tinggi dari harga beli ke warga lain. Namun perbayaran tak jelas hingga Hermanus melawan dengan memblokir jalan pada 2013.
Dia pun harus mendekam di penjara setahun dengan tuduhan membawa alat tajam, pisau, untuk memblokade jalan menuju PT Weds Bay Nickel (WBN). Dulu, masih perusahaan tambang, belum kawasan industri, IWIP—perusahaan tambang hanya satu bagian.
“Saya memblokir jalan, karena belum dibayar [pelepasan lahan].”
Kala itu, dia aksi blokir jalan bersama warga lain, sekitar 66 keluarga di Desa Lelilef.
Hernemun sebenarnya enggan menjual lahan. Sejak 2008, kala perusahaan tambang akan masuk, dia sudah menolak.
“Sejak 2008 hingga 2013, memanas di sekitar desa-desa tambang karena terus kami tolak. Saya koordinatornya.”
Baca juga: Nasib Nelayan Halmerah Tengah Setelah Ada Industri Nikel [1]
Kemandirian pangan hancur
Setelah lahan banyak lepas jadi pertambangan maupun bagian lain dari kawasan industri nikel itu, warga pun mulai alami kesulitan pangan. “Masyarakat saat ini saja harus beli kelapa Rp5.000 per buah.” Dia beruntung masih ada kebun hingga ada tanaman kelapa sendiri.
Kini, lahan-lahan produktif warga menyusut, sudah sedikit yang menggarap lahan. Sumber pangan seperti pisang, sagu, dan sayur mayor yang biasa mudah dapat dari kebun mereka terpaksa harus beli.
“Di kampung ini yang dulu gratis, saat ini harus membeli. Contoh kasbi (singkong), sayur daun kasbi, pisang, semua harus kita beli.”
Da menerawang, mungkin lima atau 10 tahun mendatang, masyarakat Desa Lelilef Sawai dan Lelilef Waibulen, bisa alami kemiskinan bahkan kelaparan, karena kebun dan lahan telah terjual.
“Saat itu, uang penjualan lahan sudah habis dan tak ada lagi lahan. Disitulah kesengsaraan dan kelaparan akan melandai kampung kita.”
Ada yang terpaksa lepas lahan, ada juga lahan warga kena serobot. Arnol Burnama, misal, kebunnya tiba-tiba diserobot perusahaan.
Awal tahun lalu, dia mendapat laporan, tanaman di kebunnya bakal tergusur.
Kebun yang berada sekitar satu kilometer dari Desa Lelilef Sawai itu merupakan warisan keluarga Burnama. Arnol bersama dua kerabatnya, Afrida Burnama dan Julius Burnama, rapat kecil. Mereka berencana mencegah perusahaan agar tak menggusur lahan.
Saat itu, warga mendapat kabar kalau sudah sepekan perusahaan mulai mau garap lahan. Warga menolak karena tak ada kesepakatan lepas lahan.
Ketika tiba di kebun, tampak pekerja perusahaan tengah menikmati minum kelapa. Ketika, Arnol menegur, mereka bilang hanya ikut perintah perusahaan untuk bersihkan lahan. Sempat terjadi perdebatan, akhirnya, para pekerja ini meminta maaf dan mencoba menghubungi pimpinan mereka.
Tampak bebatuan raksasa jatuh dari ketinggian di lahan Arnol. Beberaa pohon sudah roboh.
“Perusahaan tinggal main serobot dan gusur, padahal belum ada negosiasi apakah torang mau jual atau tarada,”
Nestapa warga tak hanya saat perusahaan masuk, juga setelah perluasan jadi kawasan industri nikel.
Julius Burnama, warga Desa Lelilef, salah satu yang terdampak. Lelaki 74 tahun ini bersama keluarga merasakan dampak perampasan ruang hidup mereka.
Baca juga: Nasib Sungai di Halmahera Tengah Kala Industri Nikel Datang [2]
Dia memperlihatkan dokumen laporan permohonan ganti kerugian kepada manajemen IWIP, yang berkantor di Tanjung Ulie, Desa Lelilef Sawai.
Surat itu dibuat Julius lantaran IWIP menggusur dan menutup tiga kolam atau tambak ikannya. Dia menunjukkan foto-foto penggusuran tambak ikan Januari 2019.
Dia punya lahan dua hektar. Kini sudah jadi perkantoran IWIP yang lengkap dengan bandar udara di Tanjung Ulie. Lokasi itu tergusur begitu saja.
Julius sudah bangun tambak sejak 1995. Semua hilang saat perusahaan masuk.
“Saya masih ingat hari itu, masih pagi. Saya mendapat info dan langsung menuju ke tambak. Saya melihat alat berat membongkar tambak saya,” katanya mengenang saat itu.
Di tambak itu dia pelihara nila dan bandeng sebanyak 3.700 ikan. Pada awal 1996, ditambah 2.000 bibit nila. “Budidaya ikan sudah banyak membantu masyarakat di desa kami.”
Dia lapor polisi pada September 2021 tetapi tak digubris perusahaan. Julius melalui kuasa hukum juga pernah melayangkan surat kepada Polres Halmahera Tengah, hingga kini tidak ada kejelasan.
M Fabanyo, Media dan Communications External Departement of Weda Bay Project membantah. Mereka menyebut, IWIP selalu patuh dan bersikap kooperatif terhadap seluruh aturan dan memiliki perizinan atas alih fungsi lahan yang dilakukan.
“Seluruh pembebasan lahan atas kesepakatan antara perusahaan dan pemilik lahan, tanpa ada unsur paksaan,” tulis Fabanyo dalam surat elekstoniknya.
IWIP di Tanjung Uli, termasuk proyek strategis nasional. Pembangunan kawasan industri Teluk Weda mengolah mineral nikel untuk bikin komponen baterai kendaraan listrik.
Proyek dengan total investasi US$10 miliar ini dibangun di atas lahan seluas 2.600 hektar. IWIP merupakan perusahaan patungan investor asal Tiongkok, Tsingsan Holding Group, Huayou Cobalt Co, dan Zhenshi Holding Group.
Anwar Salim, Ketua Komisi III DPRD Halmahera Tengah, mengatakan, masalah tumpang tindih lahan membuat masyarakat sekitar tambang mendatangi DPRD Halmahera Tengah.
“Menurut warga, lahan yang dipakai perusahaan adalah lahan mereka yang belum diselesaikan atau ganti rugi,”katanya.
Dari temuan DPRD, katanya, sejumlah lahan masyarakat belum dibayar, tetapi sudah ada aktivitas.
Jual beli pun tak pakai rujukan nilai jual obyek pajak (NJOP) tetapi berdasarkan SK Bupati Halmahera Tengah senilai Rp9.000.
Bagi yang di kawasan hutan, perusahaan tambang enggan membayar ganti. Pemerintah daerah berinisiatif memediasi dengan perusahaan hingga ada pembayaran tali asih Rp2.500 permeter.
DPRD bersama pemerintah kabupaten, katanya, sejak awal mendukung investasi pertambangan di Halmahera Tengah. Meski begitu, katanya, pemerintah daerah bersama DPRD Halmahera Tengah sedang berkomunikasi dengan IWIP.
Sampai saat ini, katanya, ada pajak belum dibayarkan IWIP kepada daerah, seperti pajak air dalam tanah, pajak restoran, dan pajak penerangan. “Belum ada kesepakatan antara IWIP dengan pemda.”
Edi Langkara, Bupati Halmahera Tengah, menampik soal harga lahan pemerintah daerah yang atur. Soal harga lahan warga, katanya, merupakan masalah personal dan tak ditangani langsung pemerintah daerah.
Pemerintah Halteng pun, katanya, sedang membicarakan dengan perusahaan agar berjalan ganti rugi lahan warga sekitar 192 hektar .
Yusmar Ohorella, Kepala Dinas Pertanian Halteng, berjanji mendorong para petani lokal di Weda Tengah dan Weda Utara.
“Kami akan dorong petani lokal dengan bantuan-bantuan bibit, jadi kita dorong terus petani lokal,” kata Ohorela usai rapat internal di ruangan Bapati, 21 Januari lalu. Dia tak membahas soal lahan pertenian atau perkebunan warga yang hilang setelah ada kawasan industri.
Makin terancam
Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Maluku Utara mengatakan, dengan ada kawasan industri ini masyarakat termasuk adat makin terancam. AMAN, katanya, sebagai lembaga masyarakat adat selama ini berupaya memfasilitasi masyarakat untuk membuat peta wilayah adat.
“Kita bikin peta-peta wilayah adat mulai dari Patani, Banemo, Fritu, dan Kobe. Itu kita berupaya untuk memfasilitasi mereka berjuang mempertahankan wilatah adat melalui pemetaan,” katanya.
Ruang hidup masyarakat dan wilayah adat yang dikuasai perusahaan seperti IWIP maupun PT Tekindo, AMAN terus suarakan agar mendapatkan perhatian pemerintah maupun pihak terkait.
Politisi Partai Nasdem ini mengatakan, masyarakat di sekitar lingkar tambang tidak memiliki apa-apa lagi,. “Semua yang diwariskan nenek moyang, hari ini dikuasai koorporasi,”katanya.
Masyarakat, kata Sekertaris Komisi III DPRD Halmahera Tengah ini, tak bisa lagi menafkahi kehidupan mereka.
Riset Aksi untuk Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Desember 2020 berjudul “Rangkaian Pasok Nikel Baterei dari Indonesia dan Persoalan Ekologi” menemukan permasalahan jual beli lahan terjadi di Halmahera Tengah juga terjadi di wilayah lain di Maluku Utara.
Perseteruan lahan masih panas terjadi di Halmahera Timur. IWIP, dengan saham dikuasai Tsingshan, Eramet, dan PT Antam, tengah membuka pertambangan nikel baru di Kao Rahai.
Rencana ini mendapat kecaman dari warga Kecamatan Wasile Selatan. Ekspansi tambang kian mengancam ruang hidup masyarakat adat Tobelo Dalam, yang masih hidup di dalam hutan.
Perusahaan juga menawar lahan sangat murah, Rp2.500 per meter. Warga protes. Pada Juli 2020, 450 warga Wasile Selatan berjalan kaki dua hari menuju Kao Rahai. Mereka memblokade jalan dengan membangun tenda dan mengehentikan aktivitas pertambangan.
Melky Nahar, Koordinator Nasional Jaringan Adovokasi Tambang (Jatam) mengatakan, soal ruang hidup masyarakat adat sekitar tambang sebagian sudah hilang setelah mereka terpaksa jual.
Dia sebutkan, warga hilang lahan dalam dua kategori, legal dan ilegal. Lahan hilang legal, katanya, karena warga sukarela menyerahkan lahan untuk dibeli perusahaan. Secara ilegal ketika pelepasan dengan intimidasi dan ancaman kepada pemilik lahan.
Untuk kasus Burnama, kata Melky, merupakan perampasan lahan karena enggan menyerahkan lahan.
“Dia terpaksa melepaskan lahan karena di sekeliling lahan telah digusur. Kalau bertahan pasti dia tidak mendapat apa-apa.”
Melky bilang jauh sebelum tambang masuk, masyarakat adat di Weda Tengah, sebagian besar bekerja sebagai petani dan nelayan. Kini mereka harus tercerabut dari ruang hidup itu.
Sebelumnya, warga bergantung hidup dari pala dan kopra tetapi kini hlang. Sebagian warga kini bekerja di kawasan industri.
Dalam kondisi ini, katanya, akan terjadi perubahan fundamental, produksi dan komsumsi di tingkat warga.
“Sebelumnya warga bisa memenuhi kebutuhan pangan mandiri, ketika mereka kehilangan lahan tentu akan beralih ke ekonomi uang.” (Selesai)
******
*Liputan ini merupakan Fellowship Pasopati Journalism Fund (PJF) Auriga Nusantara dengan Mongabay Indonesia.