Mongabay.co.id

Akibat Penambangan Timah, Kerang di Pulau Bangka Mengandung Logam Berat?

 

 

Kegiatan ekstraksi timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung belum menunjukkan tanda-tanda berhenti. Hal penting yang harus dicermati adalah limbah tambang timah yang tidak hanya menurunkan kualitas perairan, tetapi juga menyebabkan terakumulasinya logam berat ke tubuh biota laut. Seperti apa?

Berdasarkan penelitian Danny Zulkifli Herman [2006] dalam Jurnal Geologi Indonesia, dijelaskan bahwa penambangan timah yang menghasilkan limbah atau tailing, mengandung timbal signifikan. Kegiatan itu mengekspos kandungan logam di alam, sehingga mencemari perairan.

Dalam tesis Hasti Wahyuni, yang meneliti di sekitar Perairan Batu Belubang, Kabupaten Bangka Tengah, dijelaskan bahwa Tambang Inkonvensional [TI] Apung berkontribusi menyebarkan logam berat [Pb, Cd, dan Zn] yang terkandung dalam tanah sehingga terlepas ke perairan.

Peningkatan kandungan logam berat dalam air laut akan diikuti peningkatan kandungan logam berat dalam tubuh biota [bioakumulasi]. Biota laut yang mampu mengakumulasi logam berat adalah kelompok bivalvia, diantaranya jenis kerang-kerangan.

“Kerang-kerangan sifatnya menetap, sehingga sangat cepat terpengaruh akibat perubahan parameter fisik perairan. Jika terus menerus masuk ke kerang, yang kemudian dikonsumsi manusia, akan berbahaya bagi kesehatan,” kata Kurniawan, peneliti lingkungan hidup dari Universitas Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia, Jumat [19/08/2022].

Baca: Merusak Teluk Kelabat Sama Saja Menghancurkan Potensi Laut Bangka

 

Lokan, jenis kerang-kerangan di pesisir Pantai Tanah Merah, Bangka, yang terdampak penambangan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan hasil penelitian Pitria Handayani, Kurniawan, dan Sudirman, berjudul “Kandungan Logam Berat Pb Pada Air Laut, Sedimen dan Kerang Darah [Anadara granosa] di Pantai Sampur Kabupaten Bangka Tengah” dikatakan bahwa logam berat yang berasal dari beberapa aktivitas kapal nelayan, limbah solar, oli dan buangan dari sisa pencucian biji timah hitam yang diduga mengandung logam Pb, menyebabkan kerang darah di sekitar Pantai Sampur mengandung logam berat Pb.

Hasil analisis menunjukkan, logam berat Pb pada satu kerang darah ukuran lebih dari 3 sentimeter di ketiga stasiun adalah 0,324–0,436 mg/kg. Sedangkan ukuran kurang dari 3 sentimeter pada ketiga stasiun adalah 0,472–0,576 mg/kg. Hasil ini masih dibawah baku mutu SNI 7387 Tahun 2009, yakni 1,0 mg/kg.

“Meskipun kandungan logam berat Pb berada dibawah baku mutu, namun mengonsumsi kerang darah dari Pantai Sampur tetap harus dibatasi,” tulis penelitian yang diterbitkan dalam Jurnal IPTEK Terapan Perikanan dan Kelautan tahun 2020 lalu.

Berdasarkan analisis data Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] Kepulauan Bangka Belitung terhadap Perda RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, terdapat 434.166,7 hektar zona pertambangan yang tersebar di hampir seluruh wilayah pesisir Pulau Bangka.

Jumlah itu terbagi di pesisir utara [139.163,9 hektar], pesisir barat [65.933,8 hektar], pesisir timur [229.069 hektar], dan pesisir selatan [89.329,4 hektar].

Meski demikian, lanjut Kurniawan, belum tentu perairan ataupun biota di semua wilayah penambangan timah di Pulau Bangka mengandung logam berat.

“Kalau perairan, tergantung musim, kecepatan, arah arus dan sebagainya. Semenara biota, tergantung jenis dan radius lokasi penambangan. Butuh penelitian lanjutan yang komprehensif,” katanya.

Baca: Kima dan Potensi Laut Bangka yang Harus Dijaga

 

Pesisir Pantai Sampur, Bangka, yang dipenuhi sedimentasi lumpur yang berasal dari aktivitas tambang timah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dampak kesehatan

Berdasarkan keputusan FAO tahun 1983, konsentrasi residu maksimum yang diizinkan bagi produk laut untuk kesehatan manusia adalah Pb [1,5 mg kg-1 berat basah] dan Cd [0,2 mg kg-1 bb]. Sementara, Cu dan Zn yang merupakan unsur essensial masing-masing adalah 10 dan 150 mg kg-1 berat basah.

Pada dasarnya, logam berat termasuk unsur penting yang diperlukan makhluk hidup. Dalam kadar yang tidak berlebihan, logam berat esensial seperti tembaga [Cu], selenium [Se], besi [Fe] dan Zink [Zn] dibutuhkan untuk menjaga metabolisme tubuh manusia. Sebaliknya, logam berat seperti timbal [Pb], merkuri [Hg], arsenik [As dan cadmium [Cd], tidak dibutuhkan tubuh manusia hingga dapat menyebabkan keracunan.

“Logam berat dalam perairan merupakan jenis polutan utama yang mengancam kehidupan invertebrata, ikan, dan manusia serta menimbulkan efek buruk yang mengganggu keseimbangan ekologi lingkungan dan keragaman organisme akuatik,” kata [Aticiet al., 2008] dalam buku “Logam Berat Sekitar Manusia” terbitan Lambung Mangkurat University Press 2017.

Menurut Hutagalung [1997] dalam buku yang sama, logam berat dapat menjadi sumber pencemar berbahaya, karena tidak dapat dihancurkan mikroorganisme yang hidup di lingkungan sekitarnya.

“Ketika dikonsumsi manusia, logam berat akan diakumulasi dalam jaringan tubuh dan tidak bisa diekskresikan lagi ke luar.”

Sementara dalam studi literatur oleh Suksmerri, yang diterbitkan Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, menyimpulkan bahwa lingkungan yang mengandung Pb dengan konsentrasi tinggi, dapat berdampak pada peningkatan kadar Pb dalam darah yang mengakibatkan gangguan terhadap sistem syaraf pusat, dan dapat mengurangi kecerdasan [IQ] pada anak-anak.

Baca juga: Ampak, Kearifan Masyarakat Melayu di Bangka Melawan Tambang Timah

 

Akitivtas penambangan inkonvensional di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hentikan

Proses pembuangan limbah tambang timah yang tidak sesuai aturan [diatas permukaan air], diduga telah memperparah proses penumpukan logam berat pada sedimentasi di sepanjang peisisir dan laut Bangka Belitung.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.12/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2018 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Dumping [Pembungan] Limbah ke Laut, dijelaskan bahwa setelah memenuhi persyaratan limbah [konsentasi zat pencemar dan sebagainya], lokasi pembungan limbah harus terletak pada laut yang memiliki lapisan termoklin permanen. Yaitu, tidak berada di lokasi tertentu atau di daerah sensitif, dan rona awal kualitas air laut harus memenuhi baku mutu air laut sesuai ketentuan perundang-undangan.

Namun, menurut Jessix Amundian, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Kepulauan Bangka Belitung, dalam praktiknya, masih banyak limbah yang dibuang langsung ke permukaan air.

“Sudah saatnya penambangan mineral apapun di Bangka Belitung dihentikan perlahan. Hingga saat ini, sulit menemukan aktivitas penambangan yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan,” tegasnya.

 

Exit mobile version