Mongabay.co.id

Keragaman Tanaman Pangan Makin Terancam

 

Program ribuan hektar sawah untuk produksi pangan atau food estate di beberapa daerah ditenggarai makin mengancam keragaman pangan Indonesia. Sejumlah kelompok masyarakat etnik pun makin terdesak.

Sejumlah aspek dalam pangan etnik dan tradisisional ini dibahas dalam webinar “Memberdayakan Pangan Etnik dan Tradisional Indonesia” oleh Akademi dalam Bidang Ilmu Pangan dan Gizi, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPG AIPI), pada 6 September 2022.

Ahmad Arif, jurnalis dan penulis buku tentang pangan lokal ini berbagi cerita perjalanannya baru-baru ini ke sejumlah wilayah masyarakat adat. Jalan pangan terbaik adalah pemanfaatan sumberdaya alam lokal sekitarnya karena berhubungan erat dengan upaya pelestariannya.

Studi Kasus Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah dan Punan Batu, Kalimantan Utara, menunjukkan Suku Dayak Ngaju merupakan peramu dan pemburu. Keduanya dinilai memiliki jalan pangan yang sangat tua sejak kemunculan Homo Sapiens.

Adaptasi budaya bertani dengan berladang juga terkait dengan pusat orientasi kultural dan spiritualnya. Suku Dayak Ngaju menyambut tahun baru dengan pesta panen padi ladang. Mereka juga tergantung pada pangan liar di hutan seperti pakis, pucuk daun, ikan sungai, dan lainnya. Ada sistem hilir balik, membuka hutan, ditanami lagi lalu kembali dimanfaatkan beberapa tahun kemudian. Hal itu untuk memulihkan diri karena unsur hara tanahnya lebih tipis bagi tanaman padi, sayuran dan buah. Ada kolam alami di hutan berisi ikan. Salah satunya pakis merah kaya kandungan zat besi untuk ibu hami.

Implikasi kebijakan pemerintah sejak 2015, Suku Dayak Ngaju dilarang berladang karena dinilai memicu kebakaran hutan dan emisi. Dampaknya, menurut Arif luar biasa, ada kemunduran sosial ekonomi seperti pernikahan dini. Dulu bisa memenuhi pangan, sekarang harus beli. Misal anak laki-laki jadi penambang emas ilegal dan perempuan jadi buruh sawit sehingga dinikahkan dini. Juga ada indikasi penurunan ketahanan pangan karena produksi padi menurun, adanya stunting karena tidak ada perbaikan signifikan, dan angka partisipasi sekolah merosot dari SMP ke SMA.

“Solusi pemerintah dengan food estate tidak memperbaiki bisa memperburuk,” keluh Arif. Misal ada masalah di salah satu desa percontohan cetak sawah baru yang dinilai berhasil.

Sejak 1982 sampai 2000, sekitar 18 tahun warga bersawah di lahan gambut. Kebiasaan mereka bisa diubah dari ladang ke sawah tapi perlu pengorbanan sosial dan lingkungan. Keberagaman tanaman dan pangan pun menurun. Karena ladang Dayak kaya, tak hanya tanaman liar juga budidaya. Ini potensi besar yang tidak dianggap, karena seolah bisa diganti food estate.

baca : Mangenta, Makanan Khas Kalimantan Tengah yang Ciptakan Rekor Nasional

 

Keragaman bahan pangan di Indonesia. Sumber : presentasi Ahmad Arif

 

Sedangkan Punan Batu di Kalimantan Utara, sejumlah kelompok warganya nomaden tinggal dalam hutan. Warga ini memiliki data genetik yang berbeda dengan Dayak. Ketersediaan pangan liar untuk diet ini unik, misalnya warga tidak mau makan hewan yang dipelihara. Aktivitas fisiknya jadi tinggi karena berburu. Masalahnya, kematian balita tinggi beberapa tahun ini karena hutan menyusut dan keragaman pangan berkurang seperti umbi-umbian hutan. Pun dampak krisis iklim, tiga tahun terakhir madu berkurang karena bunga sedikit akibat curah hujan lebih panjang. Sistem ruang hidup mereka berubah.

Sejumlah pangan lokal di daerah lain juga makin terancam di antaranya sagu dan beberapa jenis tumbuhan liar dalam hutan. Sagu, walau kadar protein lebih rendah, tapi dikombinasikan dengan protein lain misal ulat sagu dan kuah ikan kuning. Sedangkan di Merauke, sagu dicampur daging. “Ini upaya jalan pangan yang compatible. Tidak semata memenuhi nutrisi tubuh tapi ada sistem pengetahuan yang terbangun,” kata Arif.

Pada aspek produksi, pemenuhan pangan tak hanya individu tapi komunitas, misalnya pemburu dan peramu Punan Batu. Setiap dapat hewan buruan, dibagi komunitasnya. Dengan prinsip berbagi, tiap minggu warga bisa konsumsi daging.

Prinsip lain, lanjut Arif, adalah warisan benih. Tiap keluarga punya benih yang harus dijaga keragamannya. Untuk aspek konsumsi, cirinya musiman dan beragam diet kunci penting kesehatan. Ada juga hal tabu, larangan konsumsi jenis tertentu untuk jaga keseimbangan ekosistem. Titik produksi dan konsumsi pangan inilah menurutnya jadi pusat penting.

Ritus atau tradisi adat juga sangat penting dalam menjaga kearifan pangan lokal. Misalnya di Pulau Seram, Maluku. Tiap tahun ada tradisi sebelum puasa, warga makan makanan adat bersama.

Dalam bukunya, Masyarakat Adat dan Kedaulatan Pangan, Arif merangkum kisah di 4 daerah yakni Boti, Timor Tengah Selatan, NTT; Meorumba, Sumba Timur, NTT; dan Kasepuhan Cilebang, Badui, Banten. Masyarakat adat Boti, menurutnya relatif tertutup dengan sistem tradisional ketat. Mereka sangat menentukan produksi pangan misal jenis yang ditanam.

Sedangkan di Meorumba, saat ini ada ketergantungan pangan luar salah satunya karena meninggalkan beberapa jenis pangan lokal yang cocok ditanam di daerah kering seperti sorgum dan jagung. Kini mulai tergantung beras.

baca juga : Sorgum Pangan Lokal NTT yang Kian Mempesona, Bagaimana Pengembangannya? (Bagian 1)

 

Seorang perempuan menanen tanaman sorgum di Flores Timur dan Lembata sebagai bentuk konkrit mengupayakan kedaulatan pangan lokal. Foto: Dewi Hutabarat

 

Hal menarik di Boti, tidak ada kasus gizi buruk walau daerah sekitarnya banyak kasus anak gizi buruk atau stunting. Warga juga menjalankan pergantian pangan, hari ini misalnya pisang, besok jagung bose, sorgum, jewawut, dan lainnya. Mereka menggunakan sistem hari 9 hari, berbeda dengan kalender masehi 7 hari. Mereka menanam beragam sumber pangan walau lahan kering, dan sampai sekarang menolak beras untuk penduduk miskin (raskin).

Selama pandemi, warga memiliki daya tahan baik. Ada mekanisme karantina wilayah, melarang orang luar datang dan membatasi transaksi. Hal ini tidak masalah karena warga bisa memenuhi pangan sendiri. Seperti komunitas adat Badui.

Potensi keragaman pangan dinilai terancam karena peningkatan penyeragaman jalan pangan. Saat ini konsumsi nasional disebut didominasi padi 75% dan gandum 25%. Berasisasi atau konsumsi beras didorong terus, sayangnya lebih dari 50% produksi nasional masih ditopang Pulau Jawa yang luasnya hanya 7% dari wilayah Indonesia. “Papua pun harus membuat ladang padi baru. Di sisi lain ada masalah iklim dengan kenaikan suhu,” keluh Arif.

Menurutnya sistem pangan nasional harus dikembalikan ke konsep keberagaman nusantara. Sebagai penghormatan pada ragam jalan pangan lokal.

Adi Haryono, Anggota Komite Gamma AIPG AIPI membagi sudut pandangnya tentang skema pangan berkelanjutan. Hambatannya, olahan pangan seperti tepung dari nongandum masih lebih mahal dibanding terigu. Perlu konsep diversifikasi tanaman pangan, yang dapat menghasilkan bahan baku untuk pangan tradisional atau etnik.

Seiring permintaan konsumen domestik, pengerjaan olahan pangan lokal cukup kompleks dari pembibitan sampai pasca panen. Ia mencontohkan skema contract farming rantai nilai jagung di Desa Bareng, Bojonegoro, Jawa Timur.

Diversifikasi pertanian pangan yang berkelanjutan dan mandiri berkaitan dengan permintaan konsumen, penyerapan hasil produksi petani, jaminan keberhasilan, kerjasama menguntungkan, keunggulan teknologi pembibitan.

baca juga : Sagu Kobace, Pangan Khas dari Merauke

 

Seorang warga Manurwar, Biak, Papua, sedang mengolah sagu dari pohon sagu dengan kapak tradisional Amau. Foto : shutterstock

 

Sedangkan Guru Besar IPB University, Prof Dr Antonius Suwanto berbagi analisisnya terkait karakter umum pangan etnik dan tradisional. Mulai dari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancamannya.

Ulat sagu sangat terkait geografi dan budaya. Sumber nitrogen enak, sehat, dan berkelanjutan. Ia berangan-angan bisa jadi trendi misalnya makanan mentah dan unik seperti sashimi dan kopi luwak.

Berikut pemaparan karakter umum pangan etnik dan tradisional. Kekuatannya bergizi, berkelanjutan, enak, organik, turun temurun sudah jadi tradisi, menunjukkan keragaman, dan sudah jadi bagian dari sehari-hari. Pangan etnik juga ada aspek fungsional di atas fungsi nutrisi dasar, memiliki citarasa khas, kandungan senyawa antimikroba, dan disajikan dengan rempah alami setempat.

Kelemahannya persediaan terbatas, ada yang terkesan kuno dan kumuh, riset dan publikasi terbatas, kemasan kurang menarik, dan sebagian pangan etnik mempunyai kandungan gizi kurang adekuat. Di sisi lain harganya lebih mahal untuk pangan olahan, belum ada data konsumen secara nasional, dan ketersediaan bahan baku. Berikutnya, orang yang menguasai proses sudah lansia tanpa regenerasi, serta kurang data pendukung ilmiah dan peta jalan pemberdayaan untuk kesehatan dan kebugaran.

Peluangnya besar jika ada sentuhan teknologi, diproduksi massal, dan konsisten. Keanekaragaman hayati tinggi ini mendukung pariwisata dan kuliner, dan studi dampak kesehatan yang benar.

Ancamannya jika dipatenkan negara lain, beberapa pangan lokal yang makin sulit ditemukan dan berpotensi punah. Ancaman lain adalah hilangnya resep makanan lokal karena modernisasi, dan gaya hidup yang kurang mendukung gaya hidup sehat yang berpengaruh pada lingkungan hidup.

Rekomendasinya, menghasilkan buku informasi komprehensif tentang pangan etnik. Karena daerah-daerah yang fokus pada pengolahan pangan etnik dengan baik mampu menekan stunting dan kekurangan gizi seperti suku Boti dan Badui.

Kandungan gizi pangan etnik pun harus terus diteliti. Kalau bagus harus dikembangkan dan dikemas baik. Teknik budidaya bahan baku juga perlu diteruskan ke anak muda dan gerakan pelestariannya.

 

Exit mobile version