Mongabay.co.id

Penangkapan Ikan Terukur Dimulai dari Tual

 

Presiden Joko Widodo menjadi saksi kesiapan Pemerintah Indonesia untuk menjalankan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang sudah disiapkan sejak tahun lalu. Presiden melihat hal itu saat berada di Kota Tual, Maluku, Rabu (14/9/2022).

Salah satu bukti kesiapan itu adalah kehadiran timbangan elektronik yang akan dioperasikan di Pelabuhan Perikanan Nusantar (PPN) Tual. Pelabuhan tersebut menjadi lokasi percontohan untuk penerapan kebijakan terukur dan pemungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pasca produksi.

Melihat kesiapan tersebut, Presiden tanpa ragu menyampaikan apresiasinya atas kerja keras yang sudah dilakukan oleh KKP bersama tim di lapangan. Dia meminta agar program tersebut bisa berjalan baik dan memberi manfaat yang besar untuk nelayan dan masyarakat pesisir di sekitar.

“Pastikan bisa terkontrol dan terukur,” ucap dia.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada kesempatan tersebut menjelaskan bahwa penggunaan timbangan elektronik di pelabuhan bertujuan untuk meningkatkan akurasi hasil tangkapan dengan lebih detail. Itu juga menjadi bagian dari penyiapan saran dan prasarana yang dibutuhkan.

Selain itu, timbangan elektronik juga membantu pelabuhan untuk mempermudah proses inventarisasi data perikanan dengan bantuan teknologi. Jumlah alat tersebut yang saat ini tersedia di PPN Tual sebanyak enam unit.

baca : Laut Arafura Jadi Panggung Pertunjukan Utama Penangkapan Ikan Terukur

 

Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono (tengah) saat meninjau aktivitas perikanan di PPN Tual, Provinsi Maluku, Rabu (14/9/2022). Dalam kunjungan ini, Presiden melihat kesiapan sarana prasana pendukung implementasi kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Foto : KKP

 

Bersama dengan pelabuhan tersebut, penggunaan timbangan elektronik juga dilaksanakan di dua pelabuhan perikanan lain yang menjadi percontohan, yaitu PPN Kejawanan, Kota Cirebon (Jawa Barat); dan PPN Ternate, Kota Ternate (Maluku Utara).

Dua pelabuhan tersebut, mendapatkan masing-masing tiga alat timbangan elektronik. Semuanya akan digunakan untuk melaksanakan proses pengumpulan data bongkar muat hasil tangkapan ikan milik nelayan atau kapal perikanan.

“Jadi nantinya semua data bisa terdata dengan baik, sehingga nelayan mengetahui total tangkapan setiap melaut,” jelasnya.

Trenggono melanjutkan, penggunaan alat seperti timbangan elektronik juga dilakukan karena akurasi data yang dihasilkan sangat baik. Walau masih memiliki tingkat kekeliruan, namun itu masih bersifat kecil dan ada dalam jangkauan toleransi.

Dengan demikian, data timbangan ikan hasil tangkapan masih bersifat representatif, kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan. Keunggulan lainnya, data yang dihasilkan dapat dikirim secara langsung (real time), sehingga dapat langsung diverifikasi dan divalidasi oleh verifikator.

Penjelasan lebih rinci kepada Presiden Joko Widodo, dipaparkan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi. Kata dia, ada dua wilayah penangkapan perikanan Negara RI (WPPNRI) di wilayah laut Maluku dan masuk pada zona 03 penangkapan ikan terukur.

Keduanya adalah WPPNRI 715 yang mencakup perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau; dan WPPNRI 718 yang mencakup perairan Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian Timur.

Dengan potensi yang besar dengan diapit dua samudera besar, Pasifik dan Hindia, perikanan di Maluku menjadi salah satu yang besar di Indonesia. Untuk zona 03, kuota industri yang ditetapkan mencapai 2,44 juta ton dengan nilai produksi ikan sebesar Rp75 triliun.

“Sekitar 1,2 juta ton pendaratan dilakukan di sejumlah pelabuhan pangkalan di wilayah Provinsi Maluku, termasuk di Kota Tual,” terang Zaini.

baca juga : Hak Istimewa Nelayan Tradisional pada Zona Penangkapan Terukur

 

Presiden Joko Widodo (kanan) mendapat penjelasan dari Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Sakti Trenggono (tengah) saat meninjau unit pengolahan ikan di PT Samudera Indo Sejahtera, Kota Tual, Provinsi Maluku, Rabu, 14 September 2022. Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr.

 

Pada 2020, volume produksi perikanan tangkap di Maluku sudah tercatat mencapai angka 445.577 ton dengan nilai produksi sebesar Rp13,3 triliun. Dari jumlah tersebut, Kota Tual berada pada urutan kelima dari seluruh Kabupaten/Kota dengan pembagian produksi sebesar 5 persen, yaitu mencapai 21.992 ton dengan nilai sebesar Rp143,6 miliar.

Selain melihat langsung proses penggunaan timbangan elektronik, Presiden Joko Widodo bersama Menteri KP juga melakukan dialog dengan para nelayan untuk mendengarkan aspirasi langsung dari nelayan di Tual.

Diketahui, luas wilayah Kota Tual didominasi lautan dengan cakupan mencapai 98,67 persen dari keseluruhan luas wilayahnya. Kota yang ada di tengah Laut Arafura itu memiliki potensi perikanan yang relatif besar terutama pada jenis ikan pelagis kecil, dengan ikan tangkapan dominan adalah Tongkol, Tenggiri, Teri, Layang, Kembung, dan lainnya.

Dengan potensi tersebut, Tual dipilih menjadi salah satu lokasi percontohan untuk kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Kebijakan tersebut menjadi bagian dari upaya Pemerintah untuk mewujudkan ekonomi biru.

Konsep tersebut mentransformasikan pengelolaan perikanan yang sebelumnya berbasis input control ke dalam pengelolaan berbasis output control. Dengan cara itu, kuota penangkapan ditetapkan lebih dulu agar kapal perikanan yang berizin tidak lagi menangkap ikan melebihi kuota.

Catatan lainnya, kapal perikanan yang berizin harus mendaratkan ikan di pelabuhan perikanan yang sudah ditentukan. Tujuannya agar pendaratan ikan tidak lagi tersentralisasi di Pulau Jawa, dan pemerataan pertumbuhan ekonomi bisa muncul di setiap WPPNRI.

Tentang kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, Pemerintah membagi 11 WPPNRI menjadi tiga zona, yaitu zona berbasis kuota penangkapan ikan (fishing industry), yang terdiri dari tujuh WPPNRI; zona non kuota penangkapan ikan, yang terdiri dari tiga WPPNRI; dan zona penangkapan terbatas (spawning & nursery ground), yang terdiri dari satu WPPNRI.

baca juga : Tak Ada Sistem Kontrak dalam Penangkapan Ikan Terukur

 

Ilustrasi. Aktivitas perikanan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Pada awal Agustus 2022, Muhammad Zaini Hanafi sudah mengonfirmasi kepada Mongabay Indonesia bahwa kebijakan tersebut akan diterapkan tanpa menyertakan sistem kontrak yang sebelumnya dijanjikan.

Sistem tersebut batal diterapkan, karena ada penolakan dari banyak pihak tentang sistem yang melibatkan dua belah pihak antara Pemerintah dengan pihak swasta yang diwakili para pelaku usaha itu.

Sebagai gantinya, KKP akan fokus pada sistem kuota yang sudah disiapkan bersama dengan sistem kontrak. Sistem tersebut disiapkan agar pelaksanaan kebijakan penangkapan ikan terukur bisa berjalan seimbang antara kegiatan ekonomi dan ekologi.

Dengan sistem kuota, maka fokus akan dilakukan pada jumlah tangkapan yang bisa dilaksanakan oleh kapal ikan yang sudah mendapatkan izin dari Pemerintah Pusat. Untuk itu, KKP sudah menyiapkan timbangan elektronik yang dipasang di tiga pelabuhan percontohan.

Sistem kuota tersebut diterapkan dengan perizinan khusus, karena ada batasan waktu maksimal 15 tahun. Saat ini, kebijakan tersebut dalam uji coba di tiga lokasi pelabuhan perikanan yang sudah ditunjuk.

 

Penolakan

Namun, walau diklaim sudah mengikuti semua saran dari publik, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota tetap dinilai tidak tepat untuk diterapkan di WPPNRI. Karenanya, banyak kelompok nelayan yang menyatakan penolakannya terhadap kebijakan tersebut.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebut bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan semangat keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan. Juga, bertentangan dengan upaya menyejahterakan nelayan tradisional dan/atau nelayan lokal yang menggunakan alat penangkapan ikan (API) ramah lingkungan.

“Kebijakan ini akan semakin menyulitkan nelayan tradisional karena akan berhadapan dan bersaing dalam ruang yang sama tetapi dengan penggunaan alat produksi yang jauh berbeda,” ungkap Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati belum lama ini di Jakarta.

perlu dibaca : Penangkapan Terukur dan Penerapan Kuota Apakah Layak Diterapkan?

 

Ilustrasi. Sejumlah nelayan perempuan mengumpulkan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Dia menyebut kalau nelayan tradisional saat ini masih menggunakan API sederhana hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan mereka. Sementara, di saat yang sama industri menggunakan API dengan cara yang masif dan bersifat eksploitatif.

Berdasarkan pertimbangan itu, KIARA meminta KKP untuk menghentikan dan mengevaluasi secara penuh kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Jangan sampai, kebijakan tersebut menyingkirkan nelayan tradisional dan membuat mereka terpuruk secara ekonomi.

Sebaliknya, jika terus dibiarkan, maka kebijakan tersebut akan memberi jalan semakin lebar kepada para investor bersama jaringan korporasi mereka. Itu artinya, kesempatan bagi mereka untuk melakukan eksploitasi sumber daya perikanan semakin terbuka peluangnya.

Lebih spesifik tentang kebijakan penangkapan ikan terukur dengan basis kuota, KIARA menilai ada permasalahan mendasar seperti di bawah ini:

  1. Rancangan kebijakan penangkapan ikan terukur akan meminggirkan nelayan tradisional atau nelayan lokal dan cenderung akan menguntungkan pemilik modal besar ataupun korporasi perikanan. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan asas Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terutama asas pemerataan, asas peran serta masyarakat, dan asas keadilan;
  2. Kebijakan ini belum memiliki kajian ilmiah tentang dampak yang akan ditimbulkan dan juga bertentangan dengan asas keberlanjutan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 3 Undang-Undang No.27/2007 jo UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yaitu asas keberlanjutan mengandung arti bahwa pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang memadai;
  3. Kebijakan ini tidak memiliki dasar tentang asal muasal penetapan kuota dan tidak ada kejelasan metode dalam menghitung potensi sumber daya ikan;
  4. Kebijakan ini bertentangan dengan mandat UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan dan Petambak Garam, yaitu perlindungan nelayan dalam hal ini adalah nelayan tradisional. Kenyataan yang terjadi di berbagai perairan bahwa wilayah perairan tradisional, nelayan sering didapati aktivitas nelayan skala besar/modern dengan alat tangkap tidak berkelanjutan, bahkan alat tangkap cantrang masih dapat dijumpai di berbagai perairan di pulau-pulau kecil.

baca juga : Pengawasan Terintegrasi untuk Penangkapan Ikan Terukur Mulai Awal 2022

 

Nelayan tradisional sedang menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

Semua permasalahan tersebut menjelaskan bahwa pengawasan penggunaan alat tangkap masih lemah. Jika rancangan kebijakan terus dijalankan, maka akan semakin mengancam keberlanjutan nelayan tradisional di berbagai wilayah.

KIARA meminta KKP untuk segera menghentikan kebijakan tersebut dan fokus untuk menggagas kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan nelayan tradisional. Dengan demikian, kebijakan berikutnya akan bisa meningkatkan kesejahteraan sekaligus menjaga kelestarian alam.

Susan menyebut, langkah yang seharusnya KKP ambil adalah terlebih dulu menuntaskan permasalahan utama seperti melaksanakan mandat UU No.7/2016 dan melaksanakan mandat Putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang menganulir konsep Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP–3) yang ditetapkan dalam UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

 

Exit mobile version