Mongabay.co.id

Cengkih, Rempah Asli Indonesia yang Pernah Diperebutkan Bangsa Eropa

 

Dalam industri makanan, cengkih merupakan salah satu tanaman rempah yang sudah lama digunakan sebagai penyedap rasa alami dan pengawet bahan pangan.

Inilah yang membuat orang-orang Eropa untuk pertama kalinya bisa mengawetkan dan menimbun makanan selama bermusim-musim. Selain itu, tanaman yang memiliki nama latin Syzygium aromaticum ini juga digunakan dalam industri rokok, minuman dan obat-obatan.

Hampir semua bagian tanaman ini bisa dimanfaatkan, baik itu bunga, tangkai bunga maupun daunnya. Ciri khusus dari tanaman cengkih adalah pada semua bagiannya mengandung minyak astiri baik dari akar, batang, daun dan bunganya.

Roem Topatimasang dalam pengantar buku Ekspedisi Cengkih yang ditulis Puthut EA, dkk, menjelaskan, cengkih bukan hanya membuat perekonomian dan perdagangan serta ilmu dan teknologi berkembang, namun juga faktor yang paling menentukan dalam kemunculan satu babakan paling mengenaskan dalam sejarah politik dunia. Yaitu zaman penjajahan (kolonialisme) Eropa, terutama atas negeri-negeri Asia Selatan, Timur dan Tenggara, termasuk Indonesia.

Bangsa-bangsa Eropa, terutama Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda tergerak oleh syahwat untuk menguasai rempah-rempah yang menggiurkan dengan menggelar ekspedisi-ekspedisi besar untuk menemukan cengkih di tanah asalnya yaitu Kepulauan Maluku. Selain itu mereka juga ingin menguasai pala (Myristica fragrans).

Pada abad-16 perang pun tidak terhindarkan ketika armada-armada mereka sampai di kepulauan yang terletak di lempeng Eurasia dan Pasifik itu. Para penjajah ini silih berganti saling mengalahkan, namun pemenang terakhir adalah Belanda.

baca : Kala Pala dan Cengkih Warga Halmahera Tengah Terancam Sawit

 

Cengkih merupakan salah satu tanaman rempah yang sudah lama digunakan sebagai penyedap rasa alami dan pengawet bahan pangan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sempat Merosot

Untuk memusnahkan semua tanaman cengkih di Ternate, Tidore, Moti, dan Makian, Belanda lalu melancarkan ekspedisi pelayaran Hongi dengan membentuk Perusahaan Dagang Hindia Timur, atau biasa dikenal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Penanamannya kemudian hanya dibatasi di Pulau-pulau Ambon dan Lease. Ini dilakukan karena lebih dekat dengan pusat pemerintahan mereka yang waktu itu adalah Kepulauan Banda, sebelum akhirnya mereka pindah ke Batavia.

“Praktis, sejak akhir abad-16 Belanda pun menguasai penuh perdagangan rempah-rempah Maluku dengan jumlah produksi rerata 2.500 sampai 4.500 ton per tahun,” urai Topatimasang dengan mengutip beberapa sumber kepustakaan yang sudah dikenal luas seperti Glamann (1958) dan Boxer (1965 dan 1969).

Menurut Topatimasang, meskipun pada abad-18 dan 19 peran utama rempah-rempah Maluku tergusur oleh komoditas eksotika tropis lain yang ada di Pulau Jawa dan Sumatra, seperti tebu, tembakau, lada, kopi, teh, nila, kelapa sawit dan kayu jati.

Akan tetapi, sejarah sudah mencatat bahwa dua jenis rempah-rempah Maluku itu menjadi awal kepulauan Nusantara dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa, terutama Belanda.

baca juga : Cengkih yang Tidak Lagi Diandalkan Petani Aceh

 

Ciri khusus dari tanaman cengkih adalah pada semua bagiannya mengandung minyak astiri baik dari akar, batang, daun dan bunganya. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Dalam perjalanannya bersama pala, cengkeh mengalami masa suram yang terus berlangsung sampai pertengahan abad-20. Karena Revolusi Industri yang dimulai di Inggris pada pertengahan abad-18, peran cengkeh tergantikan oleh penemuan teknologi mesin pendingin. Sehingga pasaran cengkeh di Eropa merosot tajam. Padahal, rempah eksotika ini pernah membuat tergila-gila para saudagar Arab, pedagang Cina, serta kaum ningrat Eropa.

Namun, seiring berjalannya waktu, jelas Topatimasang, nasib cengkeh terselamatkan berkat penemuan oleh seorang Haji Djamhari di Kudus, Jawa Tengah. Pada akhir tahun 1880-an pria itu menemukan kegunaan baru cengkeh sebagai ramuan utama rokok.

Selain tembakau, cengkeh merupakan bahan baku esensial untuk industri rokok. Hal ini membuat tanaman yang berdasarkan klasifikasi saintifik termasuk ke dalam domain Eukarya itu kembali berjaya. Bahkan, sejak dasawarsa 1970-an, telah menjadi salah satu penyumbang terbesar keuangan Indonesia.

menarik dibaca : Kebun Cengkih dan Jalur Rempah Nusantara di Pulau Nangka 

 

Warga melintas diantara pohon-pohon cengkih di Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jateng. Hampir semua bagian tanaman ini bisa dimanfaatkan, baik itu bunga, tangkai bunga maupun daunnya. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Komoditas Unggulan

Data Food Agriculturan Organization (FAO) pada tahun 2020, produksi cengkeh di Indonesia mencapai 133.604 ton. Di pasar dunia, cengkeh merupakan salah satu komoditas unggulan di negara Kepulauan di Asia Tenggara.

Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik, cengkeh dari Indonesia juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Menurut data Kementerian Pertanian di tahun 2019 volume ekspor cengkeh sekitar 25,9 ribu ton. Sedangkan tahun 2020 sebanyak 47,7 ribu ton, jumlah ini melonjak 84% dari tahun sebelumnya.

Meski begitu, lewat esainya tentang Suramnya Masa Depan Petani Cengkeh Indonesia, Kokok Dirgantoro memaparkan, saat ini petani cengkeh sedang menghadapi berbagai persoalan, seperti perubahan iklim. Hal itu diperkuat dengan pengakuan seorang petani cengkeh di Bali yang panennya menurun karena curah hujan tinggi. Dia menilai, hingga di masa-masa yang akan datang permasalahan gagal panen karena perubahan iklim akan terus mengintai petani cengkeh.

Permasalahan lainnya adalah ancaman over supply. Sebut Kokok, dengan adanya ekspansi lahan cengkeh dan perbaikan perawatan terus, maka produksi cengkeh akan berpotensi meningkat pesat di masa depan. Dengan begitu, ia menebak, harga akan turun.

perlu dibaca : Warga Mandioli Hidup Sejahtera dari Pala, Cengkih dan Kelapa

 

Warga menjemur cengkih di samping rumahnya di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Selanjutnya adalah tekanan pada industri rokok terutama kretek. “Tekanan dari dalam dan luar negeri sedemikian keras. Terkait kesehatan tentunya. Pressure ini sungguh luar biasa. Pegiat-pegiat kemanusiaan dalam dan luar negeri turun gunung untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman kesehatan atas rokok,” jelasnya.

Atas kondisi tersebut menurut Kokok peran negara sangat penting. Perlu solusi dalam jangka pendek seperti memperkuat pendapatan petani cengkeh dengan menanam teknik tumpang sari, sebagai pendapatan sampingan petani bisa memaksimalkan lahan untuk tanaman lain seperti durian, sayur-sayuran, maupun bio farmaka.

Solusi berikutnya yaitu pemerintah melakukan riset mendalam terkait dengan cengkeh. Bukan hanya Kementerian Pertanian, tetapi juga terkait dengan arah kebijakan perdagangan, industri dan investasi.

 

Exit mobile version