Mongabay.co.id

Pertama dari Indonesia, Gugatan Iklim Warga Pulau Pari pada Holcim

 

“Gugatan ini bukan hanya untuk menyelamatkan warga Pulau Pari, tetapi juga agar semua yang ada di bumi selamat dari pemanasan global dan perubahan iklim,” seru Edi Mulyono, warga Pulau Pari dalam konferensi pers di sekretariat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jakarta, Selasa (20/9/2022).

Edi dan tiga orang perwakilan warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, lainnya sepakat mengajukan gugatan pada Holcim Limited di pengadilan Swiss. Mereka menganggap, perusahaan semen itu bertanggungjawab atas krisis iklim yang beberapa tahun belakangan menerpa ruang hidup mereka.

Sebagai masyarakat yang bermukim di pulau kecil, tempat tinggal mereka memang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sejak awal dekade 2000, mereka merasakan air laut naik hingga ke permukaan pulau. Antara 2019-2020, kata Edi, kenaikan air laut itu bisa mencapai 70 cm di rumah-rumah warga. Bahkan, air sumur yang mereka gunakan untuk kebutuhan minum dan mandi telah terkontaminasi air laut.

Dari sisi ekonomi, naiknya permukaan air laut itu membuat wisatawan enggan berkunjung karena takut. Jika banjir rob terjadi di malam hari, warga tidak bisa tidur karena harus memindahkan kasur dan peralatan elektronik. Tekanan psikologis itu, tentu saja dirasakan mulai dari orang tua hingga anak-anak.

“Di Pulau Pari ada sekitar 1.400 jiwa. Saya khawatir makin tahun, makin mengancam keberlangsungan hidup warga, menghilangkan tempat tinggal, dan tempat mencari nafkah,” ujarnya.

baca : Siapa Pemilik Pulau Pari Sebenarnya?

 

Pantai di sekitar Dermaga Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sebagai upaya mitigasi, warga harus meninggikan rumah-rumah dan menanam mangrove sebanyak-banyaknya untuk melindungi pulau. Edi merinci, dalam setahun belakangan, telah terjadi hingga 18 kali banjir rob di Pulau Pari, fenomena yang jarang mereka rasakan sebelum awal dekade 2000.

“Sebenarnya, yang terjadi saat ini lebih parah dari tahun2 sebelumnya. Saat ini banjir lebih sering. Kami khawatir, ini akan terjadi terus-menerus ketika air rob naik ke pulau,” tambah Edi Mulyono. “Mereka (Holcim) harus bertanggungjawab, karena mereka yang berkontribusi besar terhadap perubahan iklim.”

Boby, nelayan Pulau Pari yang juga hadir dalam konferensi pers itu menceritakan, dampak perubahan iklim di tengah laut. Ketika menangkap ikan, dia tidak lagi mampu memprediksi musim. Angin bisa tiba-tiba menghantam perahunya hingga nyaris tenggelam. Ikan yang dulu jadi favorit tangkapan, kini semakin sulit didapat.

“Krisis iklim ini mengurangi hasil tangkapan nelayan. Sudah 2 bulan ini saya tidak ada penghasilan. Itulah yang nelayan rasakan akibat cuaca ekstrem,” keluhnya.

Meski diperhadapkan sejumlah ancaman di tengah laut, Boby merasa tidak punya banyak pilihan. Ia ingin tetap menjadi nelayan dan warga Pulau Pari. Di usia yang sudah menginjak 50, alih profesi bukanlah imajinasi yang mudah dipraktikkan.

“Kami tidak tahu harus ke mana. Kami lahir dan besar di Pulau Pari. Kami berniat mati di Pulau Pari. Apapun yang terjadi, kami akan tetap di Pulau Pari,” tegas Boby. “Salah satu penyumbang emisi terbesar ya Holcim. Mereka harus bertanggungjawab. Memang kami jauh, tapi secara langsung atau tidak langsung, kami terdampak. Kami yang merasa kerugian ini. mereka dapat keuntungan besar.”

Perubahan iklim telah menyebabkan terendamnya 11% permukaan Pulau Pari. Jika tidak ada perbaikan, air laut dikhawatirkan akan merendam sebagian besar pulau pada awal 2050.

baca juga : Kala Rob Pantura Jawa Tengah Makin Parah

 

Kawasan mangrove di sekitar Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Atas beban dan dampak yang dihadapi warga Pulau Pari, empat perwakilan warga menuntut Holcim untuk bertanggung jawab atas ancaman keselamatan warga dan mengganti kerugian sebagai kompensasi atas kerusakan material.

Selanjutnya, warga juga menuntut Holcim untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya sebesar 43% pada tahun 2030 dan 69% pada tahun 2040. Holcim juga dituntut menanggung biaya tindakan mitigasi perubahan iklim yang diperlukan di Pulau Pari, termasuk penanaman bakau dan pertahanan banjir.

 

Holcim dan Carbon Majors

Institut Akuntabilitas Iklim (Climate Accountability Institute) menempatkan Holcim dalam Carbon Majors atau 100 perusahaan penyumbang 70% emisi global. Perusahaan ini merupakan produsen bahan bangunan terbesar di dunia, mengoperasikan 266 pabrik semen dan stasiun penggilingan di seluruh dunia, serta memimpin pasar global untuk industri semen.

Puspa Dewi, Kepala Divisi Kajian Hukum Lingkungan Walhi mengatakan, gugatan pada Holcim merupakan tuntutan pada perusahaan-perusahaan emiter. Gugatan telah berproses sejak Juli 2022, dan memasuki tahap konsiliasi di Swiss dalam tenggat 3 bulan. Jika tidak menemukan kesepakatan, mereka akan mengajukan tuntutan itu ke pengadilan Swiss, Oktober ini.

Gugatan serupa pernah ditempuh Friends of the Earth Belanda bersama 17.000 penggugat, yang terdiri dari masyarakat dan 6 organisasi. Hakim kemudian memenangkan tuntutan warga, yang menekan Shell untuk menurunkan emisi.

“Kalau di Indonesia ada pulau hilang, mereka harus bertanggung jawab. Asia pasifik yang sedang bicara keamanan karena terancam diungsikan ataupun hilang identitasnya, maka top emiter ini harus bertanggungjawab. Selama dia masuk dalam carbon majors, dia harus bertanggung jawab,” terang Puspa.

baca juga : Kala Penurunan Tanah Picu Banjir di Pantura Jawa

 

Senja di Pantai Perawan,Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Di Indonesia, gugatan iklim ini adalah yang pertama kalinya. Namun, harus dilayangkan melalui pengadilan Swiss karena Indonesia belum punya kebijakan untuk menuntut perusahaan terkait permasalahan iklim.

Bagi Walhi, kasus ini dapat menjadi momentum mendorong Pemerintah Indonesia untuk menerbitkan kebijakan semisal Undang-Undang (UU) Perubahan Iklim. UU itu dipercaya akan menggambarkan krisis iklim lebih baik. Menjabarkan konsep adaptasi, mitigasi termasuk kehilangan dan kerusakan akibat perubahan iklim.

“Hari ini kita punya ratifikasi Paris Agreement, tapi itu belum menggambarkan persoalan krisis iklim di Indonesia. Itu bisa dijawab UU Perubahan Iklim. Hari ini pemerintah belum punya kebijakan itu. Jadi gugatan iklim ini, perlu kita sampaikan pada KLHK, Presiden dan DPR sebagai pengambil keputusan untuk merespon krisis iklim,” lanjut Puspa.

Menurutnya, warga negara seharusnya punya hak untuk menuntut perusahaan-perusahaan di Indonesia yang berkontribusi menyebabkan krisis iklim. Hak itu, bahkan seharusnya juga melekat pada negara. Sebab, pemerintah banyak mengeluarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang seharusnya dibebankan pada perusahaan-perusahaan penyumbang emisi.

“(Gugatan) ini adalah bagian tidak terpisahkan, dengan mengubah sistem, menuntut pertanggungjawaban pihak-pihak yang menyebabkan krisis iklim hari ini. Negara-negara dan perusahaan-perusahaan penyumbang emisi memang harus ditekankan untuk bertanggung jawab.”

“Yang dilakukan warga Pulau Pari adalah inisiatif untuk penyelamatan bumi, untuk keselamatan warga dunia. Yang mereka suarakan ini tentang kita, bumi kita, dan rakyat dari krisis iklim. Tuntutan warga sudah seharusnya dipenuhi,” ujar Puspa.

Holcim, merujuk penelitian HEKS/EPER antara tahun 1950 hingga 2021, telah memproduksi lebih dari 7 miliar ton semen. Pada 2021, perusahaan ini memproduksi hingga 200 juta ton semen. Mereka diperkirakan menyumbang emisi global sebesar 0,42%.

Pihak Holcim tidak banyak menanggapi tudingan itu, seperti dilaporkan The Guardian. Mereka hanya mengatakan telah mengambil tindakan iklim dengan serius, dan telah secara signifikan mengurangi jejak CO2 dalam satu dekade belakangan.

Holcim juga menyatakan telah menetapkan target dekarbonisasi berbasis sains, termasuk komitmen mengurangi emisi absolut lingkup 3 sebesar 90% pada tahun 2050. Pada 2030, perusahaan memiliki target mengurangi intensitas CO2 dan jumlah emisi CO2 per ton bahan semen.

 

Exit mobile version