Mongabay.co.id

Tenggulun, Permukiman Masyarakat yang Kini Dikelilingi Kebun Sawit

 

 

Di rumah kecilnya yang dikelilingi kebun sawit, Wagini tengah menunggu beberapa perempuan. Mereka berencana membuat perlengkapan rumah tangga dari lidi daun sawit.

Wagini tinggal di Desa Tenggulun, Kecamatan Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh. Desa ini berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Utara, yang sebagian wilayahnya masuk Kawasan Ekosistem Leuser [KEL].

Menuju Tenggulun, perjalanan ditempuh sekitar dua jam dari Kuala Simpang, Ibu Kota Kabupaten Aceh Tamiang. Kebun sawit terhampar di kiri dan kanan jalan.

Wagini menetap di Tenggulun sejak 2002. Sebelumnya, wilayah ini banyak pepohonan besar.

“Sekarang hutan berganti sawit. Cuaca panas dan tidak nyaman ditempati.”

Wagini mengatakan, saat ini masyarakat Tenggulun sulit mendapatkan lahan untuk pertanian, karena sudah ditanami sawit oleh perusahaan maupun masyarakat.

“Kemarau sudah biasa kami rasakan. Sebulan tidak hujan, sumur kering dan kami kesulitan air bersih. Selain itu, banjir sering terjadi,” ungkapnya, baru-baru ini.

Wagini masih ingat banjir bandang yang melanda Aceh Tamiang pada 22 Desember 2006. Air bah turun dari gunung melalui Sungai Tamiang, menghanyutkan apa saja yang menghalangi.

Menurut data Sekretariat Posko terpadu Kabupaten Aceh Tamiang, dari 58.674 kepala keluarga atau 246.852 jiwa penduduk Aceh Tamiang, sekitar 203.722 jiwa harus mengungsi. Bencana tersebut merenggut 28 korban meninggal dan menyebabkan 12.518 rumah rusak berat.

“Saat itu, masyarakat mengungsi dan tidak bisa keluar dari desa karena jalan rusak dan tertutup lumpur,” kenangnya.

Baca: Hutan Lindung yang Direstorasi Itu Jantungnya Aceh Tamiang

 

Perkebunan sawit yang berada di wilayah • Desa Tenggulun, Kecamatan Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hal senda disampaikan Mursinah, masyarakat Tenggulun. Sawit di Kecamatan Tenggulun, tidak hanya ditanam di lahan budidaya atau area penggunaan lain, tapi juga di hutan lindung.

“Banyak pohon besar ditebang,” ujarnya.

Mursinah berharap, pemerintah serius mengembalikan fungsi hutan dengan tidak lagi mengizinkan perluasan kebun sawit di Tenggulun.

“Kami cukup sengsara. Banjir dan kemarau sangat mengganggu hidup kami.”

Data Badan Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Aceh Tamiang menunjukkan, tahun 2018 luas perkebunan yang dikelola perusahaan pemegang hak guna usaha [HGU] mencapai 46.817 hektar. Sebagian besar perkebunan sawit. Sementara, perkebunan rakyat sekitar 44.460 hektar yang sebagian besar juga kebun sawit.

Baca: Mereka Penjaga Hutan Aceh Tamiang

 

Tenggulun yang dulunya hutan berganti perkebunan sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dulunya hutan

Luas Tenggulun sekitar 29.555 hektar. Kecamatan di hulu Kabupaten Aceh Tamiang ini, sebelum tahun 1970-an, merupakan hutan alami. Namun hingga 2001, pemerintah memberikan izin hak pengusahaan hutan [HPH] kepada PT. Tjipta Rimba Djaya dan PT. Kuala Langsa.

Setelah izin berakhir, lahan bekas hutan di Tenggulun dijual, dijadikan perkebunan sawit yang luasnya mencapai 4.000 hektar. Sawit-sawit tersebut ditanam secara ilegal dan sebagian besar pemiliknya bukan orang lokal.

Penebangan sawit liar, terutama yang masuk hutan lindung, dimulai 2008 oleh Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser [BPKEL], Polda Aceh, Polres Aceh Tamiang, Dinas Kehutanan dan Perkebunan [Dishutbun] Aceh Tamiang, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Masyarakat Aceh Tamiang.

Namun, restorasi hutan di Kecamatan Tenggulun baru terlaksana pada September 2014. Hingga saat ini, jumlah kebun sawit ilegal yang telah dimusnahkan mencapai 1.106 hektar.

Sekitar 509,5 hektar, kawasan hutan itu dekat permukiman penduduk. Terkait kondisi tersebut, Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] Wilayah III Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh didukung Forum Konservasi Leuser [FKL] melakukan pola hutan kemitraan dengan masyarakat, dalam pengelolaannya.

Baca juga: Robohnya Sawit Ilegal di Hutan Lindung Aceh Tamiang

 

Berubahnya hutan menjadi perkebunan sawit di Tenggulun menyebabkan pula berubahnya ekosistem lingkungan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pengelolaan hutan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya saat berkunjung ke Banda Aceh pada 14 September 2022 mengatakan, saat ini ada kebijakan baru terkait kehutanan di Indonesia.

“Diantaranya, adalah akses kelola hutan, kesempatan berusaha dan manajemen pengelolaan hutan. Jika bisa diaktualisasikan di Aceh, tentu bisa memudahkan masyarakat dalam mengelola kawasan hutan dan mengurangi kemiskinan.”

Terkait Kawasan Ekosistem Leuser, Siti mengatakan, saat ini ada kegiatan Indonesia’s Folu Net Sink 2030, yang diharapkan tidak hanya mencapai target penurunan emisi GRK, namun juga momentum mempercepat penguatan tata kelola lingkungan hidup. Utamanya, konservasi sumber daya hutan berbasis lanskap.

“KEL memiliki nilai kekayaan alam tertinggi dan terlengkap. Satu-satunya kawasan hutan di Indonesia yang menjadi habitat harimau, gajah, orangutan, dan badak sumatera. KEL adalah lanskap luas yang terdiri lanskap konservasi, perlindungan, produksi, dan permukiman masyarakat,” ujarnya.

Siti menjelaskan, KEL dengan luas areal 2,5 juta hektar, tidak sama dengan Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL] yang merupakan kawasan konservasi seluas 830 ribu hektar. TNGL menjadi bagian dan tulang punggung KEL.

“KEL merupakan ruang hidup yang dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Tidak ada yang perlu diperdebatkan, mengenai KEL dapat dimanfaatkan atau tidak. Mengingat, lanskap di KEL merupakan satu kesatuan utuh, saling menopang dan memperkuat,” tegasnya.

 

Sawit yang mendominasi wilayah Tenggulun. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dampak negatif

Yeeri Badrun dan Mubarak dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau [November 2010], dalam makalah “Dampak Industri Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Lingkungan Global” menjelaskan, pada tahap konstruksi, pemilik perkebunan akan melakukan beberapa kegiatan utama yaitu pembuatan jalur jalan, cut and fill, persiapan area tanam, dan pembangunan pabrik.

“Seluruh kegiatan tersebut akan memberikan dampak negatif, seperti pengaruh kualitas tanah, berkurangnya kemampuan tanah menahan hujan, serta hilang atau punahnya jenis-jenis tanaman, binatang, dan mikroorganisme yang menjaga keseimbangan ekosistem.”

Dampak negatif lain adalah hilangnya area yang berguna menjaga kelembaban udara dan tanah, serta hilangnya tanaman tinggi yang menjaga area tropis agar tidak terlalu panas.

“Pembukaan lahan yang luas mempengaruhi iklim mikro, pada akhirnya berdampak pada perubahan iklim global,” tulis mereka.

 

Hutan Tenggulun yang menjadi harapan dan masa depan masyarakat Aceh Tamiang, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Penelitian ini mengingatkan akan bencana yang masih berlangsung di Tenggulun. Pada 18 Agustus 2022, Sungai Kiri di Kecamatan Tenggulun meluap, merendam ruas jalan dan permukiman penduduk. Pada 28 Februari 2022, Kecamatan Tenggulun, Kecamatan Karang Baru, dan Kecamatan Bendahara, Kabupaten Aceh Tamiang juga tergenang air akibat meluapnya sungai.

Sebelumnya, awal Januari 2022, sebanyak 12 kecamatan di Aceh Tamiang terendam banjir, termasuk Tenggulun.

 

Exit mobile version