Mongabay.co.id

Upaya Penanganan Sampah Laut: dari Plastik hingga Mikroplastik

 

Keberadaan sampah plastik di laut masih terus menjadi persoalan yang tak kunjung bisa dipecahkan. Walau berbagai upaya sudah coba dilakukan oleh banyak pihak, namun produksi sampah plastik masih terus berjalan tanpa bisa dihentikan.

Bukan hanya di Indonesia saja, persoalan sampah plastik di laut juga sedang menjadi persoalan yang krusial di dunia. Untuk mengatasinya, diperlukan kerja sama yang erat dan kompak antar negara, antar instansi, dan antar pihak di seluruh dunia.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan berharap, penanganan sampah plastik di laut tidak hanya menjadi tanggung jawab dari Pemerintah Indonesia saja. Namun juga, masyarakat dan para pemangku kepentingan lain.

“Mereka diharapkan bisa lebih peduli dan berperan aktif dalam mengatasi permasalahan persampahan di Indonesia,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.

Pelibatan banyak pihak dalam upaya penanganan sampah plastik di laut, diakuinya sudah berjalan selama tiga tahun terakhir. Selama proses tersebut, produksi sampah plastik di laut sudah berhasil dikurangi hingga mencapai 28,5 persen.

Tetapi, persentase tersebut dinilai masih belum cukup banyak jika merujuk pada target pengurangan produksi sampah plastik di laut pada 2025 mendatang atau tersisa tiga tahun lagi. Pada tahun tersebut, produksi sampah plastik di laut diharapkan sudah berkurang hingga 70 persen.

Angka 70 persen pun menurutnya masih jauh dari cukup jika rujukannya adalah 2040, yaitu tahun penetapan target bebas sampah plastik di lautan yang ditetapkan Pemerintah. Target tersebut dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut.

“Upaya sinergis kita melalui berbagai kebijakan, program, dan aksi-aksi di lapangan,” sebut dia.

baca : Indonesia Kejar Target Bebas Sampah Plastik 2025

 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan (tengah) saat menghadiri acara Gerakan Laut Bersih Nasional Tahun 2022 di Tanjung Priok, Jakarta, awal September 2022. Foto : Kemenko Marves

 

Salah satu upaya yang sedang dilakukan adalah melaksanakan intensifikasi pengelolaan sampah dengan terintegrasi dari hulu ke hilir. Upaya tersebut dilakukan dengan memanfaatkan teknologi dan inovasi yang fokus pada pengurangan produksi sampah plastik di laut.

Kegiatan tersebut saat ini sudah berjalan di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Pusat pembuangan akhir sampah milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu sudah berhasil mengubah sampah menjadi energi terbarukan.

Rincinya, TPST karya anak bangsa itu diketahui sudah mampu melaksanakan pengolahan sampah setiap hari sebanyak 100 ton menjadi energi listrik. Serta, mengolah sampah sebanyak 2.000 ton menjadi bahan bakar refuse derived fuel (RDF).

Menurut Luhut, bahan bakar dari RDF sudah bisa digunakan untuk kegiatan produksi di pabrik semen. Dia bermimpi, pada kuartal kedua 2024 nanti produksi RDF bisa lebih banyak melalui pengolahan 12 ribu ton sampah setiap hari.

“Itu menjadikan Indonesia bersih (dari sampah),” ucap dia.

Selain melakukan upaya teknis yang bersifat taktis, penanganan sampah plastik di laut juga dilakukan Pemerintah Indonesia dengan melaksanakan mitigasi kebocoran sampah yang berasal dari daratan. Upaya tersebut seharusnya bisa didukung dan mendapat perhatian paling besar dari semua pihak.

Perlunya melaksanakan mitigasi, karena fakta menyebut bahwa sampah yang ada di laut itu sebanyak 80 persen berasal dari daratan. Sampah-sampah tersebut masuk ke laut setelah terbawa melalui sungai dan anak sungai.

“Upaya pengelolaan sampah yang lebih baik dan kolaboratif akan mewujudkan ekosistem laut yang lebih bersih dan sehat. Terlebih, karena wilayah Indonesia itu 75 persen adalah lautan,” tegas Luhut.

baca juga : Mencari Cara Terbaik untuk Menghentikan Sampah di Laut

 

Petugas memperlihatkan sampah yang diolah dengan teknologi refuse-derived fuel (RDF) menjadi energi bersih di TPST Desa Tritih Lor, Cilacap, Jateng. Foto : dokumentasi panitia

 

Dilansir dari laman resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), merujuk pada PP 83/2018, sampah laut atau marine debris adalah sampah yang berasal dari daratan, badan air, dan pesisir yang mengalir ke laut atau sampah yang berasal dari kegiatan di laut.

Kehadiran sampah laut bisa dilihat di semua habitat laut, dari kawasan padat penduduk hingga lokasi terpencil yang tidak terjamah manusia, dari pesisir dan kawasan air dangkal hingga palung-palung laut dalam.

KKP menyebut bahwa kepadatan sampah laut memiliki perbedaan dari satu lokasi ke lokasi lain, karena dipengaruhi oleh kegiatan manusia, kondisi perairan atau cuaca, struktur dan perilaku permukaan bumi, titik masuk, dan karakteristik fisik dari materi sampah.

Di sisi lain, sampah plastik selalu menjadi komponen terbesar dari sampah laut. Biasanya, sampah plastik adalah sampah yang mengandung senyawa polimer. Jenis dari sampah plastik mencakup polimer sintetis, termasuk jaring ikan, tali, pelampung dan perlengkapan penangkapan ikan lain.

Selain jenis di atas, jenis sampah plastik juga bisa ditemukan pada barang-barang konsumen keseharian, butir resin plastik, partikel plastik mikro, logam, gelas, kertas dan kardus, karet, pakaian dan tekstil.

Lebih detail, sampah laut memiliki ukuran yang beragam, dimulai dari mega debris atau ukuran sampah yang panjangnya lebih dari 1 meter, dan pada umumnya ada di perairan lepas. Kemudian, macro debris merupakan ukuran sampah yang panjangnya berkisar kurang dari 2,5 sentimeter (cm) sampai lebih dari 1 m. pada umumnya sampah ini ditemukan di dasar maupun permukaan perairan.

Kemudian, ada juga meso debris yang tidak lain adalah sampah laut yang berukuran lebih dari 5 milimeter (mm) sampai kurang dari 2,5 cm. Sampah ini pada umumnya terdapat di permukaan perairan maupun tercampur dengan sedimen.

baca juga : Teknologi Mudahkan Upaya Pengurangan Sampah Plastik, Seperti Apa?

 

Kondisi dasar sungai Brantas yang penuh sampah plastik di Sengguruh, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Selanjutnya, micro debris adalah jenis sampah yang sangat kecil dengan kisaran ukuran 0,33-5,0 mm. Sampah seperti ini sangat mudah terbawa oleh arus, dan juga sangat berbahaya karena dapat dengan mudah masuk ke organ tubuh organisme laut seperti ikan dan kura-kura.

Terakhir, nano debris adalah jenis sampah laut yang ukurannya di bawah micro debris. Dengan ukuran yang sangat kecil, sampah jenis ini sangat berbahaya karena dapat dengan mudah masuk ke dalam organ tubuh organisme.

Saat masuk ke laut, sampah mengandung banyak plastik dan logam yang kemudian mengalami proses pelapukan serta penguraian yang cukup lama selama rentang waktu 50 hingga 400 tahun. Lama proses tergantung pada jenis sampahnya.

 

Mikroplastik

Lebih spesifik, sampah yang masuk ke laut juga ada yang masuk kategori mikroplastik. Sampah jenis ini biasanya bersumber dari ban kendaraan, bahan tekstil, cat kapal, cat marka jalan, produk Kesehatan/pembersih, pakan ikan, dan limbah lain akibat pencucian atau pelapukan yang berasal dari banyak kegiatan.

Pada 2015, Universitas Hasanuddin di Makassar, Sulawesi Selatan melakukan penelitian tentang mikroplastik. Hasilnya, sebanyak 28 persen dari 76 ikan yang berasal dari 11 spesies diketahui memakan mikroplastik dengan ukuran bervariasi dari 0,1-1,6 mm di Tempat Pemasaran Ikan (TPI) Putere, Makassar. Temuan tersebut menunjukkan bahwa pencemaran plastik sudah sangat tinggi di laut Indonesia.

Jika sampah laut terus dibiarkan tanpa ada penanganan yang serius, maka itu akan berdampak negatif pada banyak aspek. Tak hanya mengganggu kegiatan ekonomi dan pariwisata yang ada di laut dan pesisir, sampah laut juga bisa mengganggu kehidupan biota laut dan kesehatan manusia.

Dampak lainnya, akan terjadi proses pelapukan menjadi mikro dan nanoplastik yang akan merusak ekosistem pesisir dan/atau dimakan oleh plankton atau ikan. Maka dari itu, sampah laut harus dikendalikan melalui pengelolaan yang tepat.

menarik dibaca : Ilmuwan Temukan Cacing Super Pemakan Sampah Plastik

 

Seekor penyu berenang di kawasan padang lamun dengan polusi limbah plastik berupa sarung tangan sekali pakai. Foto : shutterstock

 

Riset Penanganan Sampah

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pun tak mau diam untuk ikut berkontribusi melakukan riset dalam upaya penanganan sampah di laut. Kegiatan tersebut mendapat dukungan pembiayaan dari kelompok negara yang tergabung dalam Kerja sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC).

Kegiatan riset tersebut diharapkan bisa memberikan manfaat untuk penanganan secara komprehensif dari sejak hulu hingga ke hilir yang dilakukan oleh KKP, instansi lain, ataupun masyarakat secara umum.

Ada tiga program akan dilaksanakan BRIN, yaitu “Determining Microplastics Distribution in Coastal Aquaculture Input System and Developing its Mitigation Plan towards Seafood Safety”; Capacity Building on Vessel Innovation to Combat Marine Debris”; dan “Workshop on Promoting Bioplastic Materials to Reduce Marine Plastic Litter in the Asia Pacific Region.”

Selain sampah laut, KKP juga mendapatkan pembiayaan dari APEC untuk melaksanakan kegiatan penanganan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, tak dilaporkan, dan menyalahi aturan (IUUF). Kegiatan tersebut adalah “Workshop for Fisheries Enforcement Strategies to Prevent, Combat and Deter IUU Fishing Related to Covid-19 Pandemic.”

Sekretaris Jenderal KKP Antam Novambar mengatakan, empat proyek yang mendapat pembiayaan dari APEC menjadi gambaran bahwa Indonesia sangat serius untuk menangani permasalahan sampah di laut dan IUUF.

Proyek tersebut juga selaras dengan program prioritas implementasi ekonomi biru yang sedang dijalankan Pemerintah Indonesia sekarang. Utamanya, tentang pengelolaan dan penanggulangan sampah laut, juga pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan berkelanjutan melalui pencegahan dan pemberantasan IUUF.

Keempat program kegiatan di atas sudah ada dalam dokuen APEC tentang Roadmap on Combatting IUU Fishing dan Roadmap on Managing Marine Debris. Kedua dokumen itu menjadi upaya 21 negara APEC untuk memerangi IUUF dan sampah laut di kawasan Asia-Pasifik yang berjalan sejak 2019.

Implementasi kedua peta jalan kemudian ditindaklanjuti dengan penyusunan rencana implementasi yang memuat aksi beserta output dan indikator, yang pelaksanaannya rutin dilaporkan oleh para anggota Ekonomi APEC.

Antam menerangkan, agar rencana implementasi kedua peta jalan di atas bisa sesuai harapan, Indonesia akan terlibat aktif dalam proses penyusunannya. Hal itu sekaligus untuk memastikan rencana implementasi sesuai dengan kepentingan dan kapasitas Indonesia, serta perikanan skala kecil dan budi daya (SSFA) ASEAN.

perlu dibaca : Sampah di Laut Dampak Kegagalan Penanganan di Darat

 

Lumba-lumba yang berenang diantara sampah plastik di lautan. Foto : shutterstock

 

Kebocoran Sampah Daratan

Kepala Badan Riset dan Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) KKP I Nyoman Radiarta mengatakan kalau timbulan sampah yang ada di Indonesia bisa mencapai jumlah 25,6 juta ton setiap tahun.

Angka tersebut berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) per 16 Juni 2022 dari 207 kabupaten dan kota pada tahun 2021. Dari sistem tersebut diketahui kalau komposisi sampah tertinggi, sebesar 29,5 persen berasal dari sisa makanan dan kedua adalah plastik dengan 15,4 persen.

“Kita tahu bahwa sebanyak 80 persen sampah laut berasal dari kegiatan di daratan yang bocor melalui sungai dan mencemari laut,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.

Dia memastikan, komitmen Indonesia untuk mengurangi kebocoran sampah plastik ke laut terus dikuatkan sampai target 70 persen pengurangan bisa tercapai pada 2025 mendatang. Bahkan, jika bisa pada 2040 kebocoran sampah plastik ke laut sudah mendekati nol.

Upaya tersebut sesuai dengan RAN Sampah Laut 2018-2025 yang sudah berjalan saat ini. Selain itu, melalui keterlibatan Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL), KKP ikut berperan dalam kelompok kerja (Pokja) tentang Penanganan Sampah Laut dan Pesisir.

Dalam Pokja TKN PSL, KKP bertugas untuk mengelola sampah di pesisir dan laut, seperti pengelolaan sampah plastik yang berasal dari kegiatan transportasi laut, wisata bahari, kegiatan kelautan dan perikanan, serta luar pulau dan pulau-pulau kecil.

 

Exit mobile version