Mongabay.co.id

Tangkapan Ikan Melimpah, Dampak PAAP yang dirasakan Nelayan Pulau Buton

 

Laode Awaludin tidak hanya sekedar perokok berat dan ahli otodidak di bidang kerajinan batang kelapa. Ia multi-talenta. Bisa dikatakan, dia hanya satu-satunya pria di Kecamatan Siotapina yang berpredikat pakar pelestari Penyu, tanpa sekalipun pernah mendapat pelatihan dari pihak lain seperti Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

Setiap sore usai menyelesaikan pesanan ulekan cobek dari batang kelapa, Awaludin berjalan kaki sekitar satu kilometer ke penangkaran telur penyu yang dibuat seadanya menggunakan dana pribadi ratusan ribu rupiah.

Dengan perlahan dan berhati-hati menggali pasir, khawatir jemari kedua tangannya tidak sengaja membentur kulit telur yang masih elastis pecah. Beberapa telur diambil satu persatu, dilihat searah sinar matahari. Terlihat gumpalan berwarna gelap di dalam telur. “Beberapa hari lagi menetas,” kata Awaludin penuh yakin.

Telur lantas dikembalikan ke posisi semula, ditimbun dan dipastikan ulang kondisi pasir tetap gembur demi memudahkan tukik keluar dari pasir setelah menetas.

Selanjutnya, Awaludin bergeser sejauh ratusan meter mendatangi area gundukan pasir, tempat berlabuhnya induk-induk penyu untuk menyimpan telur-telurnya. Awaludin menusuk satu-persatu gundukan itu menggunakan ranting, untuk mengetahui persis apakah didalamnya terdapat telur yang luput dari pantauannya di malam hari. “Nihil. Tidak ada Penyu yang naik bertelur tadi malam,” katanya.

Awaludin sangat paham dengan telur penyu karena ternyata dia seorang eks pemburu telur penyu selama bertahun-tahun di sekitar pantai Mopaano, Kecamatan Lasalimu Selatan, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara.

Dia mengaku insyaf dari kegiatan berburu telur penyu ketika diterima bergabung dalam kelompok Pengelolaan Akses Area Perikanan (PAAP) Lasinta Lape-lape pada tahun akhir 2020 lalu.

baca : KTP dan Kisah Perempuan Nelayan Pesisir Buton Timur 

 

Laode Awaludin memeriksa telur-telur Penyu yang ditangkarkan secara swadaya di pantai desa Mopaano, Kecamatan Lasalimu Selatan, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Kelompok PAAP Lasinta Lape-lape merupakan kelompok nelayan dari Kecamatan Lasalimu Selatan dan Kecamatan Siontapina yang disingkat Lasinta. Sedangkan Lape-lape bermakna ‘perbaiki’ dalam bahasa lokal setempat.

Di dalam forum PAAP Lasinta Lape-lape, Awaludin banyak bertukar pikiran mengenai gagasan pentingnya melestarikan laut. Suatu ketika Awaludin terlibat dalam diskusi ringan membahas keberadaan Penyu merupakan indikator sehatnya perairan laut, yang menjaga keseimbangan mata rantai makanan di laut. Diskusi itu sontak menginspirasi dirinya untuk melestarikan penyu, yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupannya kini

Saat awal bergabung di PAAP, Awaludin sempat menuai pro-kontra di tingkat pengurus PAAP dan antar sesama pemburu telur penyu lainnya.

Sampai-sampai Wadu Marsidik seorang penyuluh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Buton yang bertugas di Siotapina turun tangan, menengahi polemik diantara sejumlah anggota PAAP lain yang menolak bergabungnya Awaludin dalam upaya pengelolaan Kawasan Larang Ambil (KLA) di laut dan pesisir pantai setempat.

KLA merupakan hasil keputusan bersama para nelayan sebagai bagian dari PAAP yang bertujuan untuk membentuk bank ikan sebagai cara meregenerasi populasi ikan dan spesies laut tangkapan lain secara alami, sekaligus sebagai cara mengurangi penangkapan yang berlebihan dan tidak ramah lingkungan dari nelayan luar.

Kesepakatan bersama pun ditempuh. Penyuluh DKP tersebut menggaransikan dirinya dan meyakinkan anggota PAAP dengan bergabungnya Awaludin akan berkontribusi positif kepada lembaga, asalkan diberi kesempatan untuk mengubah diri.

Awaludin lantas tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia tidak bosan menghadiri pertemuan dan sosialisasi PAAP untuk mewujudkan KLA. Sebagai langkah awal, ia mencoba peruntungan dengan berupaya melindungi–merawat–menetaskan telur-telur penyu. Namun oleh para pemburu telur penyu lain, upaya tulus Awaludin dianggap menghalang-halangi kegiatan perburuan mereka.

baca juga : Jerit Hati Nelayan Gurita di Banggai, Tidak Punya Penghasilan Akibat Pandemi Corona

 

Warga memperhatikan baliho sosialisasi peta wilayah Kawasan Larang Ambil (KLA) di PAAP Lasinta Lape-lape. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Proses penetasan pertama gagal total, tidak ada telur yang menetas. Lantaran Awaludin menyiramkan air ke telur-telur penyu yang baru saja ditelurkan induknya, dengan tujuan untuk membersihkan telur dari lendir alami yang membalut telur. Belakangan ia baru tahu kalau lendir-lendir itu yang melindungi telur di dalam pasir hingga menjelang masa penetasan.

Di peruntungan kedua Awaludin sukses menetaskan telur dan melepasliarkan 16 tukik, tanpa mengulangi kesalahan pertama. Setelah itu, berhasil menetaskan 36 tukik. “Saya bertanya kepada aktor pelestari Penyu di Binongko, Wakatobi mengenai cara dan proses melestarikan penyu, mulai dari perawatan hingga menetas,” katanya.

Prestasi Awaludin membuat pengurus PAAP mempercayakan dirinya menjabat Koordinator Divisi Pemantauan. Sementara beberapa pemburu telur penyu lain sadar dan memilih bergabung bersama Awaludin untuk bersama-sama melestarikan Penyu. Sekarang fasilitas penangkaran telur penyu bertambah menjadi dua, yang tidak lama lagi menetaskan ratusan ekor tukik untuk dilepasliarkan.

Perjuangan Awaludin menginspirasi kelompok nelayan perempuan untuk menamakan kelompok simpan pinjam (KSP) yang dibentuk bernama KSP Penyu Lestari.

“Saya tidak tahu jadi apa kalau tidak gabung di PAAP, laut ini rusak, tidak seimbang karena tidak ada Penyu,” ujarnya lirih, sambil membersihkan area bertelur penyu dari sampah kiriman rumah tangga yang terbawa ombak ke pantai saat air pasang. Limbah sampah terus bertambah dari tahun ke tahun mencemari pesisir.

baca juga : Upaya Kelompok Nelayan Pulihkan Laut dan Pesisir Lora

 

Anggota PAAP Lasinta Lape-lape mempersiapkan pipa patok pembatas Kawasan Larangan Ambil (KLA) yang akan dipasang di tengah laut. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Kesepakatan PAAP

Nasarudin, 47 tahun, Ketua PAAP Lasinta Lape-lape berdomisili di pusat keramaian Kecamatan Siontapina yang jauh dari pantai. Dia berprofesi ganda sebagai nelayan dan juga petani yang setiap hari mengolah ladang seluas satu hektar di atas jejeran tebing karang setinggi lima meter dari permukaan pesisir. Di ladang ini ia menanam tumbuhan musiman seperti sayur di musim hujan, dan ubi kayu di musim kemarau.

Hasil panen tanamannya itu untuk memenuhi kebutuhan pangan rumah tangganya. Sayangnya di tengah anomali cuaca yang terjadi belakangan ini, Nasarudin kerap dibuat kebingungan harus menanam apa.

“Saya dulu nelayan aktif, dan sekarang hanya meti-meti (aktivitas menangkap ikan dan hewan laut di pesisir pantai saat saat air laut surut),” kata Nasarudin yang selama lima tahun terakhir ini terpaksa banting setir beralih profesi menjadi petani kecil. Dia mengeluhkan hasil dari melaut sudah tidak bisa lagi untuk menghidupi keluarga dan membiayai ketiga anaknya sekolah hingga ke perguruan tinggi.

Tadinya hasil tangkapan ikan di perairan laut Siontapina melimpah. Dia bersama kawanan nelayan lainnya menangkap ikan menggunakan jaring bermata kecil selebar 1,5 inchi. Ketika laut surut, banyak warga yang membalik dan merusak karang menggunakan linggis hanya untuk menangkap ikan.

“Setelah terbentuk kelompok PAAP, kami mulai sosialisasikan larangan untuk tidak mengulang dan melakukan tindakan kami yang merusak keseimbangan sumber daya laut-pesisir. Banyak ikan berukuran kecil yang terjaring, tidak sempat bertumbuh kembang hingga mencapai masa untuk melepas telur. Rumah karang yang rusak membuat ikan pergi ke tempat lain untuk bertelur,” kata Nasarudin.

Kini para nelayan yang tergabung di PAAP Lasinta Lape-lape menyepakati beberapa poin penting, seperti penggunaan mata jaring dengan ukuran minimal 2,5 inchi dan mata kail pancing ukuran minimal bernomor 13.

Aturan penggunaan mata jaring dan mata kail pancing untuk menghindari ikan-ikan kecil tertangkap dan selanjutnya memberi kesempatan ikan-ikan itu berkembang biak menjadi dewasa. Ikan Baronang, ikan Katamba, dan Kepiting Bakau merupakan jenis hewan laut menjadi prioritas utama untuk dijaga keberlangsungan spesiesnya. Masyarakat juga diedukasi untuk tidak membuang sampah di laut.

Para nelayan kelompok PAAP dan masyarakat juga menyepakati perairan sebagai kawasan PAAP Lasinta Lape-lape seluas 10.750 hektar di sepanjang garis pantai yang mencapai 32 km, dan di dalam perairan tersebut terdapat KLA yang disepakati seluas 339 hektar. Di dua kawasan ini terdapat sebaran karang seluas 915 hektar. Kini kesepakatan PAAP yang telah diusulkan ke pemerintah telah ditetapkan dalam Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara pada Januari 2022 lalu.

baca juga : Aksi Nelayan Teluk Moramo Hadapi Perubahan Iklim

 

Kawasan pengelolaan area akses perikanan (PAAP) dan kawasan larang ambil (KLA) di perairan Siotapina dan Lasalimu Selatan, Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Sumber : Rare Indonesia

 

Sebelumnya pada tahun 2019 lalu, dibentuk kelompok PAAP dengan 30 orang anggota yang terdiri dari 17 laki-laki dan 13 perempuan. Kelompok PAAP ini bertujuan untuk menjaga kesehatan terumbu karang dan mangrove, yang merujuk pada Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K), dimana area 0-2 mil laut dari pesisir pantai dialokasikan untuk perikanan tangkap skala kecil nelayan lokal.

RARE, lembaga non pemerintahan yang menginisiasi pembentukan PAAP sebelumnya telah melakukan studi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim, dengan nilai kerentanan berada pada level 3 (sangat rentan) sampai -2 (sangat adaptif).

Dampak perubahan iklim menimbulkan fenomena seperti gelombang tinggi dan badai sering di Januari dan Agustus; perubahan pola migrasi ikan terjadi di Februari-Mei; perubahan pola angin di sepanjang tahun; pemutihan terumbu karang di tahun 2006; abrasi pantai sekitar 10 tahun terakhir; dan kemarau panjang di tahun 2019. Dampak perubahan iklim tersebut membuat nelayan kesulitan untuk menentukan wilayah penangkapan ikan dan musim penangkapan ikan.

Dari program PAAP yang telah dilakukan tersebut, secara umum para nelayan merasakan peningkatan jumlah tangkapan ikan pasca kerusakan ekosistem pesisir dan perairan. Terlebih pasca pemberlakuan sosialisasi menjaga KLA di kawasan perairan PAAP.

Wa Dali, merupakan seorang mamalele –perempuan pengepul dan penjual ikan– di Desa Karya Jaya yang tergabung sebagai anggota Divisi Usaha PAAP Lasinta Lape-lape.

Sejak tahun 2020, dia dipercaya menggunakan aplikasi Ourfish di ponselnya untuk melakukan pendataan digital perkembangan tangkapan hasil laut para nelayan, terutama kepiting dan rajungan. Pesisir Desa Karya Jaya merupakan pemilik hutan mangrove terluas di wilayah PAAP.

Data yang dicatat dalam aplikasi ourfish merupakan data hasil transaksi yang dilakukan oleh pembeli tingkat pertama dengan nelayan yang menjual ke mamalele Wa Dali. “Setiap tahun jumlah tangkapan para nelayan meningkat,” katanya.

baca juga : Menghapus Bias Gender di Pesisir Indonesia

 

Wa Dali memperlihatkan aplikasi Ourfish yang digunakan mencatat perkembangan tangkapan hasil laut para nelayan di Desa Karya Jaya, Kecamatan Lasalimu Selatan, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Foto : Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Pengeboman ikan

Sedangkan Djena, 45 tahun, seorang perempuan nelayan menjabat Koordinator Divisi Penjangkauan PAAP Lasinta Lape-lape. Dia bertugas mensosialisasikan aturan-aturan PAAP kepada masyarakat, dengan tingkat penerimaan warga mencapai 80 persen dari jumlah total penduduk setempat.

Tidak jarang Djena terlibat bersama anggota PAAP lain menggunakan perahu ketinting pergi memantau nelayan-nelayan dari luar yang berdatangan menangkap ikan di KLA, ketika laut sedang teduh. Nelayan yang tertangkap basah, akan diberi pemahaman bahwa area yang dibatasi pancangan pipa-pipa dengan ujung berwarna merah dan bertuliskan KLA tidak diperuntukan untuk kegiatan penangkapan jenis ikan apapun.

Pernah sekali Djena dan rekan-rekannya mendapati sekelompok orang tidak dikenal mencuri terumbu karang di laut dan batu cadas ukuran besar di tebing pantai pada bulan Mei kemarin. Bongkahan-bongkahan batu itu dimuat di atas perahu ketinting. “Aktifitas itu berbahaya, bisa membuat abrasi pantai kita. Mereka pergi menjauh dan tidak marah saat ditegur. Mereka beralasan batu-batu itu untuk keperluan memancing,” katanya.

Sedangkan La Rami merupakan nelayan pemanah ikan karang hingga di kedalaman 15 meter. Seiring usianya genap 31 tahun, kemampuannya berburu ikan menurun, hanya sebatas kedalaman sembilan meter. Ia mengaku menghafal semua titik terumbu karang di laut Siotapina.

“Banyak terumbu karang yang rusak, dibom,” kata Rami, yang mengaku kesulitan untuk memantau aktivitas pemboman yang dilakukan nelayan luar Siotapina secara sembunyi-sembunyi. Setelah terumbu karang luluh lantah terkena bom, nelayan kesulitan mendapat ikan selama satu pekan.

Dari pengamatannya selama hampir 30 tahun, ada perbedaaan kondisi karang dulu dan sekarang jauh berbeda. “Kalau di musim dingin karang bermekaran, halus. Tapi kalau sekarang karang sering berlumut, berwarna biru, karang terlihat seperti tidak hidup,” katanya bingung dengan fenomena tersebut.

 

Ilustrasi. Nelayan Desa Labotaone tidak mendapatkan ikan saat melepas jaring di sekitar terumbu karang yang rusak akibat aktivitas pemboman ikan di Teluk Moramo, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Dalam 10 tahun terakhir jumlah tangkapan ikan di Teluk Moramo semakin berkurang. Foto: Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Sementara Wadu Marsidik, fasilitator pendamping PAAP dari DKP Buton di Kecamatan Siontapina dan Kecamatan Lasalimu Selatan, berharap PAAP bisa memberi akses pengelolaan laut kepada masyarakat sejauh 0 – 2 mil laut dari pesisir pantai. “Mereka yang mengatur, menjaga, dan pemanfaat utama dalam pengelolaan PAAP ini,” katanya.

Dia menjelaskan selama ini nelayan pesisir timur pulau Buton melaut sampai ke laut Kabupaten Wakatobi. Namun setelah dipasangnya batas Kawasan Larang Ambil dalam area PAAP, banyak nelayan yang memilih menangkap ikan di area PAAP.

“Kalau PAAP diimplementasikan dengan baik, saya pikir 2-3 tahun ke depan sudah bisa dirasakan manfaatnya,” pungkas Wadu. (***)

 

Artikel ini didukung oleh Rare Indonesia

 

Exit mobile version