Mongabay.co.id

Hari Oligarki Nasional, Gurita Raksasa Bercokol di Depan Kantor Gubernur Sulsel

 

Rabu pagi, 5 Oktober 2022, sebuah gurita raksasa berwarna merah kehitaman setinggi 1 meter dengan panjang tentakel sekitar 5 meter bercokol di depan pintu masuk kantor gubernur Sulawesi Selatan. Gurita ini tampak mengitari seorang nelayan yang terlilit jaring. Sejumlah perempuan terduduk lesu di tiap-tiap tentakelnya. Di depan gurita tergeletak uang nominal Rp100 ribu berukuran besar.

Gurita raksasa ini hanyalah replika yang terbuat dari karton dengan tentakel yang tersusun dari sampah plastik yang dibungkus jaring. Kehadiran replika gurita raksasa itu adalah sebagai bentuk protes dari praktik oligarki yang dianggap telah menggurita, yang dampaknya pada masyarakat miskin. Termasuk perempuan nelayan Pulau Kodingareng, Makassar, yang melakukan aksi.

Sejumlah perempuan tampak membawa spanduk dan poster. Dua perempuan membentangkan spanduk bertuliskan ‘Perempuan Pulau Kodingareng melawan oligarki’. Terdapat juga tulisan ‘Stop reklamasi Makassar New Port, lalu ada tulisan ‘Nenek moyangku seorang pelaut, bukan penambang pasir laut’.

baca : Tambang Pasir Laut Proyek MNP Telah Dihentikan, Dampaknya Masih Dirasakan Nelayan

 

Aksi hari oligarki nasional 5 Oktober 2022 menghadirkan replika gurita raksasa di depan kantor gubernur Sulsel sebagai simbol perlawanan perempuan Pulau Kodingareng Makassar atas praktik oligarki dalam pembangunan MNP. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Herli, salah seorang perempuan peserta protes yang merupakan aktivis Walhi Sulsel, menyatakan bahwa aksi tersebut adalah bagian dari perayaan hari oligarki nasional yang diperingati setiap 5 Oktober, tanggal di mana undang-undang omnibus law ditetapkan pada 5 Oktober 2020 silam. Aksi ini dilakukan bersama perempuan Pulau Kodingareng, Greenpeace Indonesia, WALHI Sulawesi Selatan dan Green Youth Movement.

“Ini adalah simbol perlawanan perempuan, khususnya dari perempuan Pulau Kodingareng yang terkena dampak tambang pasir laut sebagai bagian dari proyek oligarki, beberapa tahun lalu dan sampai sekarang masih dirasakan dampaknya,” katanya.

Menurut Slamet Riadi, Kepala Departemen Advokasi dan Kajian WALHI Sulsel, aksi monster gurita ini pernah juga dilakukan di depan gedung DPR-MPR tahun pada 2021 lalu. Monster gurita adalah simbol atau wajah kekuasaan pemerintah dan korporasi saat ini yang telah mencengkeram dan menguasai sendi-sendi penghidupan masyarakat.

“Selain itu, gurita raksasa ini juga membawa pesan degradasi lingkungan hidup dan sumber daya alam di Indonesia yang diakibatkan oleh sejumlah aturan yang dilegalisasi oleh pemerintah, menguntungkan korporasi, dan memiskinkan masyarakat,” ujar Slamet.

Lebih jauh dikatakan Slamet bahwa kehadiran monster oligarki di Sulawesi Selatan tidak lepas dari banyaknya kesepakatan politik dan bisnis yang mencengkeram serta menggerogoti sumber daya alam, lingkungan hidup, dan penghidupan masyarakat. Salah satunya sumber daya alam pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

baca juga : Riset Koalisi Save Spermonde: Proyek MNP Rusak Ekosistem Laut dan Sengsarakan Nelayan

 

Perempuan Pulau Kodingareng dan aktivis menyuarakan keprihatinan atas kondisi mata pencaharian nelayan yang terganggu dengan adanya tambang pasir laut di perairan Makassar untuk pembangunan MNP. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Di Sulawesi Selatan sendiri, lanjut Slamet, terdapat sembilan proyek infrastruktur yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) dan salah satunya merupakan mega proyek pembangunan pelabuhan bertaraf internasional yaitu Makassar New Port (MNP). Proyek ini mulai masuk dalam skema program PSN sejak tahun 2016 dan mulai diresmikan pada tahun 2018.

Reklamasi untuk MNP ini sendiri baru selesai pada tahap 1A, 1B berupa pembangunan konstruksi, dan 1C juga berupa pembangunan konstruksi. Berdasarkan master plan yang dikeluarkan oleh PT. Pelindo IV menunjukkan bahwa ada tiga tahap reklamasi Makassar New Port yakni tahap 1 (A, B, C, dan D), tahap 2, dan tahap 3 (fase ultimate) dengan luasan total 1.428 Ha.

“Ini berarti masih akan ada kebutuhan pasir laut dan konflik ruang antara nelayan dengan pemerintah dan korporasi akan terjadi lagi,” katanya.

Menurut Slamet, selama aktivitas tambang pasir laut berlangsung pada 2020 lalu, nelayan dan perempuan Pulau Kodingareng mengalami penderitaan sosial-ekonomi dan wilayah tangkap nelayan rusak parah, seperti pendapatan nelayan menurun drastis hampir 90 persen.

Dampak lainnya adalah perubahan arus dan kedalaman laut, air laut menjadi keruh, terumbu karang rusak dan mengalami pemutihan (bleaching) akibat sedimentasi tambang pasir laut. Utang nelayan juga semakin menumpuk akibat pendapatan tidak ada.

“Banyak perempuan yang kemudian menggadaikan emasnya untuk bertahan hidup, beberapa nelayan memilih untuk meninggalkan pulaunya untuk mencari penghidupan, banyak anak sekolah yang harus putus sekolah, dan banjir rob semakin mengancam,” tambahnya.

baca juga : Begini Nasib Perempuan Pulau Kodingareng Setelah Penambangan Pasir Laut Berakhir

 

Aksi nelayan Pulau Kodingareng Makassar pada Agustus 2020 mendatangi lokasi pembangunan Makassar Newport (MNP) yang menjadi ‘biang’ penambangan pasir laut di peraiaran Sangkarrang Makassar. Foto: Walhi Sulsel

 

Sita, seorang istri nelayan di Pulau Kodingareng mengakui bahwa meski tambang pasir telah dihentikan namun dampaknya masih dirasakan, di mana perekonomian mereka belum pulih seutuhnya.

“Bagaimana ekonomi mau pulih kalau terumbu karangnya sudah rusak karena tambang pasir laut, ikan-ikan sudah pindah tempat. Bahkan copong sebagai tempat ikan berkumpul sudah tidak sama seperti dahulu lagi. Ombaknya juga sudah semakin tinggi. Sekarang ini banyak nelayan yang tinggalkan pulau mencari pekerjaan lain,” katanya.

 

MNP dan Tambang Pasir Laut

Dikatakan Slamet, aksi 5 Oktober ini membawa pesan bahwa pembangunan MNP dan aktivitas tambang pasir laut hanya menguntungkan kelompok oligarki tertentu tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Pada September 2020 silam, Koalisi Selamatkan Laut Indonesia telah merilis hasil investigasi kelompok oligarki di balik proyek tambang pasir laut. Dengan menelusuri sejumlah dokumen dari Ditjen AHU Kemenkumham RI dan akta perusahaan yang tercantum di dokumen AMDAL, diperoleh informasi bahwa dari total 12 izin usaha pertambangan yang beroperasi di perairan Takalar, dua di antaranya yaitu PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur tercatat dimiliki oleh orang-orang dekat Gubernur Sulsel saat itu, Nurdin Abdullah.

Hasil penelusuran Koalisi Save Spermonde juga telah menemukan sejumlah korporasi besar dan nama-nama yang diduga kuat memiliki hubungan dekat dengan para pengambil kebijakan di balik pembangunan reklamasi dan jalan tol MNP.

Berbagai pembangunan dan permufakatan tersebut telah menjadi awal mula merosotnya penghidupan nelayan-perempuan pesisir dan pulau-pulau kecil saat adanya aktivitas tambang pasir laut dan reklamasi Center Point of Indonesia (CPI) pada tahun 2017.

“Sekarang, melalui Perda RZWP3K Sulsel yang kini terintegrasi dengan perda RTRW Sulsel tahun 2022-2041, praktik tambang pasir laut dan reklamasi MNP semakin mengancam penghidupan masyarakat dan ekosistem pesisir pulau-pulau kecil Sulsel. Bahkan hal tersebut dilegalisasi melalui produk perundang-undangan yang tentu saja menguntungkan para oligarki,” ujar Slamet.

perlu dibaca : Penambangan Pasir Laut di Spermonde Datang, Ikan Tenggiri Menghilang

 

Nelayan terlilit jaring dalam cengkeraman gurita menyimbolkan kesulitan yang harus mereka hadapi dengan adanya tambang pasir laut di Perairan Spermonde, Makassar. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, mengatakan terjadinya proses pembangunan serampangan tak hanya merusak daratan tapi juga lautan, dan yang paling terdampak tentu saja masyarakat kecil, khususnya perempuan, dan ini umum terjadi di berbagai daerah.

“Dan ini tidak hanya terjadi di Kodingareng tapi juga banyak daerah lain. Sudah banyak contoh nyata bagaimana oligarki menghancurkan kehidupan masyarakat kecil hanya demi kepentingan segelintir golongan saja,” ungkap Afdillah.

 

Tuntutan Aksi

Peserta aksi kemudian menyampaikan sejumlah tuntutan. Kepada pemerintah pusat dan provinsi diminta menghentikan pembangunan Makassar New Port dan aktivitas tambang pasir laut yang berada di wilayah tangkap nelayan.

Kepada gubernur dan DPRD Sulsel diminta untuk merevisi RTRW 2022-2041 yang melegalisasi zona tambang pasir laut dan reklamasi di Sulsel.

Kepada PT Pelindo IV diminta bertanggung jawab atas kemiskinan dan kerusakan yang terjadi di wilayah tangkap nelayan. Sementara untuk PT Boskalis, perusahaan asal Belanda, sebagai mitra PT Pelindo IV juga harus bertanggung jawab untuk mengembalikan dan memulihkan wilayah tangkap nelayan agar masyarakat dapat bisa melaut seperti sedia kala.

 

Exit mobile version