Mongabay.co.id

Menyoroti Putusan atas Gugatan UU Minerba, Hakim Dinilai Tak Peka Kondisi Daerah

 

 

 

 

Putusan atas gugatan uji materil UU Nomor 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Minerba sudah keluar pada 29 September lalu.

Majelis hakim Mahkamah Konstitusi menolak beberapa tuntutan dan mengabulkan sebagian. Beberapa hal yang ditolak MK antara lain, berkenaan dengan akses partisipasi dan layanan publik makin menjauh dampak penarikan kewenangan pertambangan pemerintah daerah ke pusat. Juga, potensi pengkriminalan masyarakat penolak tambang oleh Pasal 162 UU Minerba dan jaminan perpanjangan otomatis bagi kontrak karya dan PKP2B.

Tahun lalu, Tim Bersihkan Indonesia, antara lain, Walhi dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, serta Nur Aini, warga Banyuwangi maupun Yaman, nelayan Bangka Belitung, ajukan yudicial review atas Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) ke Mahkamah Konstitusi.

Majelis hakim mengabulkan sebagian dari pokok perkara terkait jaminan tak ada perubahan pemanfaatan ruang pada pemegang WIUP, WIUPK, dan WPR, dengan memberikan penafsiran sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan berlaku.

“Putusan ini sangat mengecewakan. MK hanya memakai pertimbangan pemerintah [pusat] terkait pasal-pasal yang kita gugat. Pasal terkait kewenangan perizinan, misal, MK hanya mempertimbangkan soal urusan pembagian kewenangan tanpa mempertimbangkan kondisi di lapangan imbas dari pemusatan perizinan,” kata Rere Jambore Christianto, dari Walhi Nasional.

Dia beri contoh yang terjadi di Trenggalek, Jawa Timur. Bupati Trenggalek menolak dan mengirimkan surat kepada KESDM untuk mencabut izin pertambangan emas di wilayahnya. Namun, pemerintah pusat masih bergeming.

 

Aksi berbagai elemen masyarakat protes rencana tambang emas Trenggalek, 25 Oktober lalu. Foto: A.Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Belum lagi, katanya, pemusatan izin itu juga berdampak pada akses masyarakat hilang. “Karena ketika masyarakat protes tambang, tak bisa lagi di daerah. Masyarakat harus datang mengadu ke pusat. Itu akan jauh lebih memberatkan masyarakat terutama di wilayah-wilayah terpencil,” katanya.

Pun ketika ada pelanggaran perusahaan tambang, pemerintah daerah sulit langsung menindak atau mencabut izin karena ranah pusat.

“Kewenangan pemerintah daerah itu betul-betul hilang dalam urusan penetapan pertambangan di wilayahnya.

MK, katanya, hanya pakai argumen pusat dalam putusannya. Bahwa, pemerintah daerah sudah diberikan hak untuk memberikan rekomendasi, menyiapkan IUP, dan lain-lain. Proses di tengah-tengah ketika izin sudah keluar ternyata ada pelanggaran dan penolakan masyarakat, itu tidak jadi bahan pertimbangan MK.

“Harusnya pemerintah daerah bisa segera melakukan tindakan pencabutan sebelum konflik betul-betul meletus. Hal-hal seperti ini kemudian hilang dari argumentasi di MK yang hanya mempertimbangkan persoalan prosedural pembagian kewenangan antara pusat dan daerah,” katanya, seraya bilang,   akses masyarakat tak lagi jadi pertimbangan.

Menurut dia, putusan MK justru makin memperkokoh kepentingan oligarki tambang sekaligus menghancurkan keselamatan rakyat. Majelis hakim MK dianggap hanya jadi corong pemerintah dan mengabaikan hak konstitusi rakyat atas keselamatan hidup dan lingkungan yang sehat.

“Mencermati pertimbangan majelis hakim terlihat jelas Mahkamah Konstitusi lebih banyak menggunakan dalil pemerintah sebagai pembelaan, termasuk pada dalil yang dikabulkan sebagian. “

Sebaliknya, kata Rere, majelis hakim justru mengabaikan argumentasi pemenuhan hak partisipasi masyarakat dan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Tak jauh beda dikatakan Mareta Sari, dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur. Dia bilang, putusan MK merupakan kabar buruk bagi warga Kaltim. Apalagi, di wilayah mereka ada 5,2 juta hektar luas izin pertambangan.

“Putusan ini sangat menyedihkan kami. Akan makin mempersempit ruang parisipasi masyarakat. Karena seluruh proses penetapan wilayah pertambangan tidak lagi melibatkan masyarakat.”

Kondisi ini, katanya, akan makin mempersulit masyarakat Kaltim dari sisi keberlanjutan lingkungan dan ekosistem.

 

Bermasalah dari hulu. Kondisi lubang tambang batubara yang ditinggalkan begitu saja, jaraknya dekat dengan pemukiman warga. Foto: dok Jatam Kaltim

 

Putusan MK, juga dianggap gagal melihat hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat secara holistik.

Ali Akbar, juru bicara Koalisi Bersihkan Indonesia mengatakan, putusan MK ini mengkhianati agenda reformasi. Karena salah satu hal penting dari agenda reformasi itu adalah bagaimana mendekatkan jarak antara negara dengan rakyat, hingga muncul agenda-agenda otonomi. Ketika itu ditarik ke pusat, katanya, berarti negara sedang bermain-main dengan nasib rakyat di tingkat tapak.

“Pemerintah pusat tidak akan mengetahui utuh bagaimana situasi di tingkat tapak.”

Putusan MK itu dia nilai ambigu antara rencana negara untuk transisi energi, tetapi sisi memberikan ruang lebih luas terhadap agenda eksploitasi batubara dan mineral di Indoensia.

Lasma Natalia, Tim Advokasi UU Minerba dari LBH Bandung menyebut, MK dianggap gagal melihat bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat terdiri dari hak substansial dan hak prosedural.

“Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan sama sekali pemenuhan aspek prosedural hak atas lingkungan, layanan publik, partisipasi, keadilan. Kondisi ini akan berdampak pada pemenuhan substansi hak atas lingkungan masyarakat sekitar tambang.”

Sementara itu Judianto Simanjuntak, tim advokasi UU Minerba kecewa dengan putusan MK.

“Seharusnya MK melihat ada permasalahan konstitusional warga dalam UU Minerba ini. Karena akses amsyarakat mendapatkan informasi dan berbagai hal terkait kebijakan negara bidang mineral dan batubara sangat sulit,” katanya.

Putusan MK tak sejalan dengan semangat otonomi daerah. Melalui UU Minerba justru kembali pada sentralistik. Padahal, dalam UU Minerba sebelumnya, kewenangan ada di pemerintah daerah.

 

Masyaakat Sangihe menolak tambang emas di pulau mereka. Foto: Save Sangihe Island

 

*******

Exit mobile version