Mongabay.co.id

Masyarakat Pesisir Bengkulu Desak Pemerintah, Cabut Izin Tambang Pasir Besi di Seluma

Sistem tatanan air untuk persawahan rusak dan bentang alam Tanjung Budi terganggu akibat wilayah ini ditambang. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

 

Baca sebelumnya: Masyarakat Pesisir Bengkulu Tolak Tambang Pasir Besi di Seluma

**

 

Penolakan tambang pasir besi di Desa Pasar Seluma, Kecamatan Seluma Selatan, Kabupaten Seluma, Bengkulu, makin menggema.

Novika dan sejumlah perempuan perwakilan masyarakat pesisir barat Kabupaten Seluma, telah mendatangi Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], Kantor Staf Presiden [KSP], Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP], Komnas Perempuan, dan Ombudsman Republik Indonesia.

Mereka menuntut izin tambang pasir besi PT. Faminglevto Bakti Abadi [FBA] dan perusahaan lainnya dicabut. Alasannya, penambangan pasir besi sangat mengancam ruang hidup masyarakat.

“Kami akan kehilangan hutan pantai jika perusahaan tersebut beroperasi,” kata Novika, saat konferensi pers yang disiarkan Walhi Nasional, Jum’at [7/10/2022].

Pesisir Seluma adalah wilayah zona merah rawan bencana tsunami. Hal itu ditandai early warning system di Desa Pasar Seluma dan shelter tsunami di Desa Rawa Indah. Sebagian besar perempuan Desa Pasar Seluma dan sekitarnya merupakan pencari remis [kerang]. Sementara kaum lelaki adalah nelayan.

“Dalam jangka panjang, tambang pasir besi akan menghancurkan kelestarian pesisir barat Bengkulu.”

Dodi Faisal, Kapala Divisi Advokasi Walhi Bengkulu menyampaikan, ancaman terhadap pesisir barat Kabupaten Seluma bukan hanya PT. FBA, tetapi juga konsesi pertambangan lain.

“Ada PT. Belindo Inti Alam yang memiliki 2 konsesi dengan total luas IUP 5 ribu hektar, di kawasan cagar alam. Seharusnya, wilayah tersebut dilindungi,” ujarnya.

Baca: Tanjung Budi yang Bukan Lagi Lumbung Padi

 

Kondisi hulu sungai di Bengkulu yang kini banyak berubah menjadi wilayah pertambangan. Foto: Ahmad Supardi Mongabay Indonesia

 

Masyarakat Pasar Seluma bersama Walhi Bengkulu, mahasiswa, dan elemen masyarakat sipil meminta KLHK menolak seluruh perbaikan dokumen lingkungan PT. Faminglevto Bakti Abadi. Juga, tidak memberikan rekomendasi persetujuan lingkungan kepada perusahan tersebut dan perusahaan tambang lainnya.

“Kami pun meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan, untuk tidak mengeluarkan izin operasional penggunaan ruang laut terhadap perusahaan pertambangan tersebut.”

Menurut kajian Walhi Bengkulu, pemberian izin akan melanggar UU 27 Tahun 2007 jo UU 1 Tahun 2014 Pasal 35 Huruf [K]. Isinya: Dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitar.

Baca: Tutupan Hutan Berkurang, Bengkulu Harus Fokus Perbaiki Lingkungan

 

Pantai rusak dan sumber air tercemar akibat perusahaan tambang ini beroperasi. Foto: Walhi Bengkulu

 

Tim terpadu

Sebelumnya, Gubernur Bengkulu juga sudah membentuk tim terpadu untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran yang dilakukan PT. Faminglevto Bakti Abadi. Tim sudah rapat crosschek di Kantor Gubernur Bengkulu. Dalam pertemuan tersebut, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] Provinsi Bengkulu menyatakan, perizinan PT. FBA belum lengkap.

Sementara, menurut laporan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Provinsi Bengkulu, PT. FBA masuk kawasan Cagar Alam Pasar Seluma, belum melakukan perbaikan amdal dan belum memiliki persetujuan teknis air limbah. Juga, terdapat tumpang tindih konsesi tambang dengan lahan masyarakat, vegetasi pantai, dan lahan lainnya.

“Gelombang penolakan terhadap PT. FBA mendorong Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menonaktifkan aktivitas perusahaan tambang pasir besi tersebut,” lanjut Dodi.

Surat penonaktifan itu bernomor: B-4368/MB.07/ DBT/2022 tentang Teguran 1 tertanggal 3 Agustus 2022 yang meminta PT. FBA memperbaharui dokumen lingkungan, atau mendapatkan rekomendasi, atau izin dari KLHK.

 

Masyarakat Pesisir Seluma menolak tambang pasir besi yang beroperasi di Bengkulu. Foto: Dok. warga Pesisir Seluma

 

Bertentangan hukum

Fikerman Saragih, Juru Kampanye Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan [KIARA], memaparkan pertambangan pasir besi yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, jelas bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2014 jo UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Hal ini bertentangan dengan mandat Undang-Undang Pemberdayaan dan Perlindungan Nelayan, Pertambak Garam, dan Pembudi Daya Ikan.”

Dia mendorong pemerintah mengevaluasi keseluruhan aktivitas industri ekstraktif di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

“Pemerintah seharusnya mengembalikan kedaulatan dan hak-hak konstitusional masyarakat pesisir secara mutlak, seperti yang dimandatkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010.”

Erwin, aktivis Jatam, mengkritisi pemerintah yang terkesan tak berpihak masyarakat. Data Jatam menunjukkan, sebanyak 91 warga pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia telah dikriminalisasi terkait penolakan tambang.

“Kriminalisasi ini menggunakan berbagai peraturan, di antaranya UU Minerba, pasal-pasal dalam KUHP, UU Mata Uang, UU ITE, hingga UU Kedaruratan,” katanya.

Semestinya, pemerintah dan aparat penegak hukum lebih keras terhadap perusahaan, terlebih jika terindikasi bermasalah.

“Pemerintah harus mengakomodir kepentingan warga, dengan tidak menerbitkan izin pertambangan yang menyasar ruang-ruang hidup masyarakat,” tegasnya.

 

Exit mobile version