Mongabay.co.id

Farwiza Farhan, Perempuan Inspiratif Penjaga Hutan Leuser

 

 

Farwiza Farhan, perempuan asal Provinsi Aceh yang bekerja untuk penyelamatan dan pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser [KEL], dinobatkan oleh TIME sebagai TIME 100 Next 2022.

Ada lima kategori penghargaan: Artis, Phenoms, Innovators, Leaders, dan Advocates. Farwiza dipilih untuk kategori Leaders, atau sosok pemimpin yang dianggap membawa perubahan lebih baik untuk dunia. Usahanya memimpin tim HAkA yang bekerja untuk pelestarian hutan Leuser yang berada di 13 kabupaten/kota di Provinsi Aceh dengan luas 2,25 juta hektar.

Farwiza lahir di Kota Banda Aceh, pada 1 Mei 1986. Setelah menyelesaikan Sekolah Menengah Atas, dia melanjutkan pendidikan sarjana sains dengan studi biologi kelautan di Universiti Sains Malaysia.

Selanjutnya, dia melanjutkan pendidikan Magister Manajemen Lingkungan di The University of Queensland, Australia, tahun 2009-2010, lalu mengambil studi doktor Antropologi Budaya dan Studi Pembangunan Universitas Radboud pada 2013.

Sejak 2016, Farwiza menyelesaikan pendidikan untuk meraih Phd di Universitas Amsterdam, Belanda.

Kerja kerasnya untuk pelestarian hutan Leuser, membuatnya banyak meraih penghargaan internasional seperti National Geographic Wayfinder Award 2022, Pritzker Emerging Environmental Genius Award 2021, TED Fellow 2021, Future for Nature Award 2017, dan Whitley Award 2016.

Berikut wawancara Mongabay Indonesia dengan Farwiza pada Selasa, 4 Oktober 2022.

Baca: Hanya Hutan Leuser di Hati Rudi Putra

 

Farwiza Farhan yang dinobatkan sebagai TIME 100 Next 2022. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Sejak kapan Anda terlibat penyelamatan Kawasan Ekosistem Leuser?

Farwiza: Tahun 2010, ketika saya lulus di University of Queensland. Saya bergabung dengan Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser [BPKEL], lembaga yang dibentuk Pemerintah Aceh, yang ditugaskan untuk mengelola KEL.

Saya belajar keanekaragaman hayati, berkenalan dengan orang-orang terlibat perlindungan KEL, mengenal regulasi, bersapa dengan dengan orangutan untuk pertama kalinya, juga berenang di Sungai Ketambe. Saya jatuh cinta dengan landskap luar biasa ini.

 

Mongabay: Awal mula Anda terlibat penyelamatan Kawasan Ekosistem Leuser?

Farwiza: Awalnya membantu teman memetakan berbagai lembaga yang bekerja untuk perlindungan lingkungan di Sumatera. Dari proses ini saya bergabung dengan BPKEL.

Saya belajar kompleksitas melindungi landskap, tarik-menarik kepentingan, mencari dan menemukan titik tengah antara perlindungan satwa dan pengembangan ekonomi masyarakat, serta mencari jawaban terhadap tantangan-tantangan pembangunan infrastruktur.

Penguatan masyarakat sipil untuk mendorong peningkatan akuntabilitas pemerintah dan penegakan hukum lingkungan adalah bagian dari inti perlindungan KEL.

Ketika BPKEL dibubarkan pada 2012, saya dan para kolega di BPKEL menolak menyerah. Kami tetap memilih mendedikasikan diri untuk KEL dengan membentuk lembaga baru, namanya  Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA].

 

Mongabay: Banyak peluang yang Anda dapatkan dengan pendidikan Anda, mengapa memilih menjaga KEL?

Farwiza: Saya tumbuh dan besar di keluarga yang selalu memilih Aceh dalam kesempatan apapun. Setelah lulus pendidikan Doktoral, Ayah saya pernah dihadapkan pada pilihan untuk menetap di negeri jiran, tapi beliau memilih pulang dan menjadi dosen. Paman saya juga memilih hal yang sama.

Ketika saya merasakan sendiri bekerja di negeri orang, di usia muda dengan penghasilan sangat besar, akan tetapi saya merasa tidak puas dengan kontribusi saya. Saya merasa, hidup akan lebih berguna jika ilmu, pengalaman, dan jejaring yang saya dapatkan selama saya menempuh pendidikan bisa saya bawa pulang ke Aceh.

Saya ingin bekerja di bidang konservasi sudah sejak lama, namun kesempatan itu datang ketika saya pulang dan berkenalan dengan KEL. Sejak itu, keinginan untuk mendedikasikan diri di KEL semakin kuat, terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi.

Baca: Jiwa Raga Dedi Yansyah untuk Penyelamatan Badak Sumatera

 

Farwiza yang selalu komitmen menjaga Kawasan Ekosistem Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Bagaimana kondisi KEL sekarang, terutama hutan dan satwanya?  

Farwiza: KEL merupakan tempat hidup beragam jenis satwa liar, sangat penting sebagai habitat penyangga satwa di Taman Nasional Gunung Leuser.

Yayasan HAkA melakukan pemantauan tutupan hutan KEL. Tim GIS bekerja menggunakan Satelit Landsat, Sentinel, Planet Explore dan data GLAD Alert dari Global Forest Watch. Terlihat, tutupan hutan di Aceh dari tahun ke tahun semakin berkurang.

Namun, perlu kita apresiasi juga bahwa ratę kehilangan tutupan hutan relatif menurun setiap tahun, kecuali tahun 2020 ketika ada spike yang cukup signifikan.

Berkurangnya tutupan hutan jangka panjang, berdampak langsung pada bencana. Data yang ada di http://bit.ly/monitorbencanaaceh menunjukkan, hilangnya tutupan hutan 30 tahun lalu [tahun 1990-an] di DAS Krueng Keureuto berdampak banjir rutin di area Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, beberapa tahun belakangan.

Selain menyebabkan meningkatnya intensitas dan frekuensi banjir, kehilangan tutupan hutan juga menyebabkan meningkatnya konflik antara satwa dan manusia.

KEL sejauh ini merupakan habitatnya 382 spesies burung, 105 spesies mamalia, serta 95 spesies reptil dan amfibi.

KEL adalah rumah terakhir untuk empat satwa langka kharismatik, gajah sumatera, harimau sumatera, badak sumatera, dan orangutan sumatera. Keberadaannya makin terancam akibat fragmentasi habitat, perburuan yang disengaja, atau karena jerat.

HAkA berkolaborasi dengan berbagai stakeholder dan instansi terkait, melakukan pelatihan pemantauan hutan melalui alat Global Forest Watch [GFW].

GFW adalah aplikasi yang bisa diinstal di ponsel kta, dengan harapan mempermudah kerja-kerja semua pihak guna memantau hutan Aceh bersama. Dengan begitu, laju deforestasi setiap tahun terus berkurang.

Baca: Hidup Mati Ranger untuk Hutan Leuser

 

Hutan Leuser merupakan bentang alam luar biasa yang kaya keragaman hayati dan sebagai sumber air bersih. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Apa yang membuat Anda tidak bosan mengunjungi hutan Leuser?

Farwiza: Di Jepang ada konsep shinrin-yoku atau forest bathing. Intinya menyerap “hawa hutan” untuk mendapatkan manfaat kesehatan jiwa dan raga. Di beberapa belahan dunia, bahkan dokter sudah bisa memberi resep jalan-jalan ke hutan, untuk kesehatan.

Di Indonesia kita sering mengatakan, pergi ke alam untuk healing. Sayangnya, konsep healing ke hutan sering berdampak rusaknya area hutan yang dikunjungi, karena perilaku yang tidak bertanggung jawab.

Kenyataannya, sebagai seorang introvert, saya tidak pernah bosan masuk hutan Leuser karena saya merasa jauh lebih sehat, tenang, dan bahagia.

Tahun 2021, ketika kita semua terkurung karena pandemi, saya mendapat kesempatan istimewa, ikut patroli bersama ranger dari Forum Konservasi Leuser [FKL], selama 10 hari.

Saya berjalan dan tidur di hutan, tanpa sinyal telepon maupun internet. Mandi di sungai, makan dan minum bersama ranger, mengenal lebih dekat tugas berat mereka.

Setiap dari kita memiliki skill-set dan kemampuan berbeda untuk menyelamatkan Leuser. Saya menyadari, peran saya dalam perlindungan Leuser adalah dengan berada di luar hutan, yaotu dengan mengajak lebih banyak orang untuk mencintai lanskap ini, serta mengadvokasi ke publik lebih luas.

Baca: Rubama dan Semangat Perempuan Penjaga Hutan Aceh

 

Lingkungan yang baik akan memberikan kualitas hidup yang baik juga bagi kehidupan manusia. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Anda baru terpilih menjadi TIME 100 Next, bagaimana prosesnya?

Farwiza: Saya tidak pernah mengajukan atau mendaftarkan diri untuk mendapatkan penghargaan ini, editor TIME yang menominasikan saya.

Sejujurnya, saya kurang tahu prosesnya di belakang layar. Saya hanya dihubungi, dalam proses nominasi, dan diminta mengatur jadwal photoshoot bersama photographer TIME.

Nominasi tersebut bersifat rahasia, bahkan saya hanya mengetahui hasilnya sesaat sebelum diumumkan ke publik.

 

Mongabay: Mengapa perempuan harus terlibat dalam penyelamatan hutan Leuser?

Farwiza: Separuh penduduk Bumi adalah perempuan, separuh dari populasi Aceh, dan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan Leuser juga perempuan.

Pelibatan perempuan dalam upaya penyelamatan KEL merupakan upaya untuk mengembalikan keseimbangan dalam proses pengambilan keputusan.

Jika sebuah keputusan diambil tanpa melibatkan separuh dari kelompok yang akan terdampak, tentu putusan tersebut tidak akan adil dan inklusif, bukan?

Perempuan adalah bagian dari kelompok yang paling terdampak dari kerusakan lingkungan. Ketika terjadi bencana, akses untuk air bersih seringkali terbatas dan perempuan mengalami kesulitan paling besar dari keterbatasan ini.

Berbagai penelitian menunjukkan, ketika perempuan terlibat dalam suatu inisiatif, tingkat keberhasilan inisiatif tersebut meningkat pesat. Demikian pula dengan upaya perlindungan lingkungan, dalam beberapa kasus, perempuan jauh lebih efektif dalam perannya sebagai “forest guardian”.

Baca juga: MpU Uteun, Ranger Perempuan Penjaga Hutan Aceh

 

Ranger MpU Uteun, penjaga hutan di Bener Meriah, Provinsi Aceh, yang seluruh anggotanya perempuan. Foto: Dok. HAkA

 

Mongabay: Apa yang harus dilakukan perempuan-perempuan di Aceh dan Indonesia, untuk menjaga lingkungan?

Farwiza: Satu hal penting yang bisa dilakukan perempuan-perempuan di Aceh maupun di Indonesia untuk menyelamatkan lingkungan dan hutan adalah dengan berjejaring dan berhubungan dengan gerakan lebih luas. Caranya, temukan dan bentuk kelompok-kelompok yang saling mendukung dan berbagi kesempatan maupun pengetahuan.

Banyak tantangan di lapangan, terutama terhadap kelompok yang ingin mengeksploitasi sumber daya alam. Perempuan perlu saling menguatkan, dalam upaya perlindungan sumber-sumber kehidupan.

 

Exit mobile version