- Dedi Yansyah mendapat penghargaan dari Whitley Fund for Nature [WFN], pada 27 April 2022, atas kerja kerasnya bersama Forum Konservasi Leuser [FKL] dalam upaya penyelamatan badak sumatera.
- Dedi dipercaya sebagai Koordinator Konsorsium Badak Utara guna penyelamatan badak sumatera yang beranggotakan Forum Konservasi Leuser, ALeRT, Fakultas Kedokteran Hewan [FKH] Universitas Syiah Kuala, dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor [FKH IPB].
- Meskipun butuh energi luar biasa untuk memimpin pembangunan SRS Badak Sumatera di Aceh Timur, Aceh, Dedi tetap menjalankan tugas utamanya sebagai Koordinator Perlindungan Satwa Liar F Dia memimpin 36 tim Ranger yang setiap bulan berpatroli di hutan Leuser.
- Leuser adalah satu-satunya kawasan hutan yang saat ini dihuni empat satwa kunci ikonik sumatera, yaitu gajah, badak, harimau, dan orangutan Tidak ada tempat lain di dunia, selain Leuser.
Dedi Yansyah, lelaki dari Kabupaten Aceh Besar, Aceh, ini tidak pernah berpikir bakal terlibat dalam kerja-kerja penyelamatan hutan dan satwa. Sebagai pemuda kampung yang tinggal sekitar 10 kilometer dari Kota Banda Aceh, kesehariannya hanya sekolah dan membantu pekerjaan orang tua.
Setelah menyelesaikan SMAN 2 Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar, tahun 2000, Dedi melanjutkan pendidikan ke Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam [FMIPA], Universitas Syiah Kuala.
Lelaki kelahiran Januari 1983 ini tidak hanya fokus pada urusan akademik, tetapi juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan dan lingkungan.
Keinginannya untuk terlibat dalam penyelamatan Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] semakin tumbuh, setelah datang langsung ke hutan tersebut. Tujuannya, melakukan penelitian tentang pakan gajah di Stasiun Penelitian Sikundur, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara, tahun 2002.
Tahun 2005, Dedi terlibat dalam usaha-usaha penyelamatan hutan Leuser dan satwanya bersama Forum Konservasi Leuser [FKL].
Baca: Hanya Hutan Leuser di Hati Rudi Putra
Tidak terpikirkan juga, pada 27 April 2022, Dedi mendapat penghargaan dari Whitley Fund for Nature [WFN], atas kerja kerasnya menyelamatkan badak sumatera di KEL.
Penghargaan dari badan amal konservasi satwa liar Inggris itu, diberikan langsung di London, Inggris, oleh Putri Anne bersama lima pekerja konservasi lainnya dari beberapa negara. Acara tersebut dihadiri juga oleh Duta Besar Indonesia untuk Inggris, Desra Percaya.
Dedi dipercaya sebagai Koordinator Konsorsium Badak Utara guna penyelamatan badak sumatera yang beranggotakan Forum Konservasi Leuser, ALeRT, Fakultas Kedokteran Hewan [FKH] Universitas Syiah Kuala, dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor [FKH IPB].
Meskipun butuh energi luar biasa untuk memimpin pembangunan SRS Badak Sumatera di Aceh Timur, Aceh, ayah dua anak ini tetap menjalankan tugas utamanya sebagai Koordinator Perlindungan Satwa Liar FKL. Dia memimpin 36 tim Ranger yang setiap bulan berpatroli di hutan Leuser.
Berikut wawancara Mongabay Indonesia dengan Dedi Yansyah.
Baca: Hidup Mati Ranger untuk Hutan Leuser
Mongabay: Kenapa Anda tertarik bekerja konservasi untuk Leuser?
Dedi: Leuser itu magnet. Ketika Anda masuk hutan ini, Anda akan terhipnotis akan keindahan dan kekayaan flora fauna yang ada. Ini anugerah yang harus kita jaga.
Leuser adalah kawasan penyangga lebih lima juta penduduk di Aceh dan Sumatera Utara. Dari hutan ini mengalir air bersih sebagai sumber kehidupan kita dan hutan ini juga memainkan peran sebagai pengatur iklim lokal.
Mongabay: Sebagai Koordinator Perlindungan Satwa Liar, apa yang Anda dan tim lakukan?
Dedi: Saya mengkoordinir tim Ranger FKL untuk patroli.
Tugas utama ranger adalah mencegah perburuan satwa liar dilindungi dan ancaman kerusakan habitat. Tim juga mendata flora dan fauna di KEL.
Tugas Ranger tidak mudah, harus berjalan kaki lebih 15 hari di hutan, menyeberangi derasnya sungai dan menerjang hujan.
Tugas kami mendukung pemerintah [BBTNGL dan DLHK Aceh] untuk pengamanan Leuser.
Baca: Pembangunan Suaka Badak Sumatera di Aceh Timur Dimulai
Mongabay: Bagaimana kondisi satwa liar di KEL?
Dedi: Leuser adalah satu-satunya kawasan hutan yang saat ini dihuni empat satwa kunci ikonik sumatera, yaitu gajah, badak, harimau, dan orangutan sumatera. Tidak ada tempat lain di dunia, selain Leuser.
Kondisi satwa liar di Sumatera mengalami tekanan, baik karena ancaman perburuan maupun berkurangnya tutupan hutan dan fragmentasi habitat.
Di KEL, ancaman terhadap satwa liar juga terjadi. Selama lima tahun terakhir, kami telah berhasil menurunkan angka perburuan lebih 30 persen. Ini adalah keberhasilan luar biasa.
Untuk itu, pengamanan kawasan hutan harus terus ditingkatkan, dengan memperbanyak tim patroli. Saya menilai, untuk menjaga hutan Leuser, minimal butuh 100 tim patroli.
Selain itu, penegakan hukum harus dilakukan, sehingga ancaman terhadap satwa liar dapat ditekan. Faktor penting lain, meningkatkan kepedulian masyarakat di sekitar hutan dalam dalam pelestarian satwa liar dan habitatnya.
Baca: MpU Uteun, Ranger Perempuan Penjaga Hutan Aceh
Mongabay: Sejak kapan Anda terlibat dalam penyelamatan badak sumatera?
Dedi: Sejak pertama kerja di Leuser. Namun, kami di FKL mulai lebih fokus pada 2018, setelah dipercaya pemerintah untuk mendukung program penyelamatan badak sumatera di KEL.
Sejak 2019 sampai sekarang, kami fokus pada kegiatan implementasi Rencana Aksi Darurat [RAD] Penyelamatan Populasi Badak Sumatera di KEL.
Beberapa kegiatan yang dilakukan, misalnya patroli dan monitoring intensif di Leuser bagian barat. Ini penting untuk menjaga badak tetap aman di habitat alaminya serta mendukung pemulihan atau restorasi hutan yang rusak. Hutan ini merupakan penyangga habitat alami badak sumatera.
Sementara di Leuser bagian timur, tim fokus membangun SRS dan memindahkan badak dari habitat alami ke SRS.
Kondisi badak sumatera di Leuser bagian barat masih baik dan bisa berkembang secara alami. Sedang di Leuser bagian timur, kondisinya kurang dari 15 individu dengan habitat yang terisolasi, sehingga sulit berkembang biak. Perlu intervensi untuk menyelamatkannya.
Paling penting adalah, kita semua bersinergi, terus bekerja menyelamatkan badak sumatera agar tidak punah.
Baca: Wawancara Dwi Adhiasto: Mengenali Motif Perburuan Harimau Sumatera
Mongabay: Bagaimana prosesnya Anda mendapat penghargaan Whitley Fund for Nature?
Dedi: Awalnya, WFN menyebarkan informasi tentang perhargaan ini, tentunya dengan persyaratan yang telah mereka tentukan.
FKL dengan rekomendasi beberapa pihak yang bekerja di isu konservasi, mengusulkan saya sebagai kandidat.
Setelah itu WFN melakukan proses seleksi dan verifikasi, termasuk memastikan calon peraih penghargaan benar-benar bekerja sesuai yang diusulkan.
Informasi dari WFN, jumlah yang diusulkan lebih 200 kandidat dari seluruh dunia. Dari jumlah itu, yang diberikan penghargaan hanya enam kandidat.
Alhamdulillah, tahun ini, saya mewakili Indonesia khususnya Aceh, sebagai penerima Whitley Award 2022.
Mongabay: Pengalaman yang Anda rasakan saat menerima penghargaan?
Dedi: Saya sangat bersyukur. Hal paling membahagiakan saya adalah, penghargaan ini membuat tim lapangan, khususnya Ranger bangga. Sebenarnya, saya mewakili mereka untuk menerima penghargaan tersebut dari Putri Anne di London, Inggris.
Yang lebih membanggakan, semua yang hadir memberikan apresiasi luar biasa terhadap kerja keras kawan-kawan Ranger di Leuser.
Ada pernyataan Putri Anne yang langsung disampaikan kepada saya: “Dedi, kalian harus berhasil menyelamatkan badak sumatera di Leuser.”
Selain memberikan penghargaan, WFN juga mendukung beberapa kegiatan penyelamatan badak sumatera di Leuser bagian timur. Dukungan ini akan kami implementasikan dengan menambah tim Ranger.
Baca juga: Peneliti Indonesia Terima Penghargaan Konservasi Internasional Bergengsi Whitley
Mongabay: Harapan Anda tentang Leuser?
Dedi: Perlu upaya lebih intensif dalam hal pengamanan satwa terancam punah dan habitatnya di Leuser.
Hutan Leuser itu luas, butuh sumber daya manusia dan dukungan finansial cukup besar untuk melindunginya.