Mongabay.co.id

Menjaga Hutan, Menjaga Kehidupan Masyarakat Adat Karampuang

 

Hutan itu terlihat asri. Sebuah pohon besar berusia ratusan tahun berdiri kokoh di pintu masuk hutan, di samping sebuah sumur yang airnya berwarna putih susu. Orang-orang kadang singgah untuk membasuh muka sambil menyampaikan hajatnya dalam hati.

Di sekitar pohon juga terdapat sebuah plang berwarna hijau dengan tulisan berwarna merah gradasi kuning milik kehutanan yang menyatakan bahwa hutan tersebut adalah hutan adat Karampuang sebagai simbol harmonis hutan dan masyarakat, yang telah dipasang sejak April 2007.

Memasuki kawasan hutan adat Karampuang harus melalui jalan berbatu yang sudah berlumut, sehingga harus hati-hati dalam melangkah. Di dalam kawasan ini terdapat dua rumah adat berdiri kokoh sebagai kediaman dua pemangku utama yaitu To Matoa dan Gella.

Dalam struktur adat Karampuang terdapat sejumlah jabatan penting, yaitu To Matoa, Gella, Sanro dan Guru. To Matoa adalah pimpinan tertinggi adat yang menjalankan roda pemerintahan yang dibantu oleh beberapa pemangku adat. Sementara Gella mengurus sektor pertanian, perkebunan, kehutanan. Sanro memiliki tugas di bidang kesehatan, sosial dan kesejahteraan rakyat. Sementara Guru berperan di bidang keagamaan, pendidikan dan kebudayaan serta urusan pemuda.

Berbeda dengan kunjungan terakhir saya ke tempat ini, kini sudah ada penerangan listrik. Beberapa bagian rumah yang ditempati Gella direnovasi dua tahun silam. Proses renovasi ini harus melalui serangkaian ritual panjang, termasuk pada saat penyiapan kayunya.

Komunitas adat Karampuang secara administratif berada di dua desa, yaitu Desa Tompobulu dan Desa Bulu Tellue, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, meski pengaruhnya jauh lebih luas. Komunitas ini memiliki luas wilayah adat sekitar 2.554,95 hektar, didiami penduduk 3.286 jiwa.

baca : Berharap Pengakuan Hutan Adat Barambang

 

Sebuah plang berwarna hijau milik kehutanan yang menunjukkan bahwa kawasan itu adalah hutan adat Karampuang, yang telah dipasang sejak April 2007. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Dalam sebuah kunjungan bersama tim Kemitraan awal September 2022 lalu, kami bertemu dengan Puang Mengga, yang merupakan Gella di komunitas ini. Wajahnya terlihat ceria menyambut kami di kejauhan, yang kemudian menuntun kami masuk ke dalam kawasan.

Kedatangan kami adalah untuk mengetahui perkembangan pengajuan hutan adat yang telah diajukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beberapa waktu lalu.

“Masih sementara proses, semoga segera bisa disahkan,” katanya sumringah.

Komunitas adat Karampuang bersama komunitas adat Barambang Katute, dua komunitas adat di Kabupaten Sinjai, saat ini memang dalam penantian pengakuan hutan adat dari pemerintah. Segala proses identifikasi dan verifikasi sudah dilakukan. Segala dokumen yang dibutuhkan pun sudah diserahkan ke pemerintah beberapa waktu lalu, dengan luas hutan yang diusulkan 1.116,6 hektar.

Dorongan untuk pengakuan hutan adat ini turut difasilitasi oleh Kemitraan (Partnership for Governance Reform) didukung oleh Ford Foundation dan Kementerian Dalam Negeri.

Masyarakat adat Karampuang sangat menghargai hutan dan punya mekanisme tersendiri dalam pengelolaannya.

Menurut Puang Mengga, dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan mereka memiliki sejumlah prinsip seperti mappakalebbi ale’ atau menghargai dan menghormati hutan, mappatau ale’ atau memanusiakan hutan, makkamase ale’ atau kasih sayang hutan serta tuo kamase ale’ atau prinsip hidup selaras dengan alam.

Bagi masyarakat adat Karampuang, menjaga hutan sama halnya dengan menjaga kehidupan sehingga menjadi tugas dan tanggung jawab bersama untuk terus menjaganya.

“Seluruh warga yang tinggal di Karampuang punya tugas dan tanggung jawab penuh untuk memelihara dan menjaga kelestarian hutan seperti halnya menjaga keluarga, sebab kalau hutan rusak maka warga pun akan celaka,” jelasnya.

baca juga : Pertama di Indonesia, Sulsel Segera Miliki Sistem Informasi Wilayah Adat

 

Puang Mengga sebagai pemangku adat Gella di komunitas adat Karampuang Sinjai berpose berlatar rumah adat Karampuang yang berada di dalam kawasan hutan adat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Hutan bukannya tak bisa dimanfaatkan. Di beberapa lokasi hutan pohonnya bisa dimanfaatkan namun harus seizin pemangku adat. Hanya untuk pemanfaatan sendiri bukan untuk dijual.

“Kalau ada yang melanggar aturan ini maka akan ada sanksi pengucilan, tidak akan mendapatkan layanan adat.”

Masyarakat adat Karampuang juga memiliki banyak model kearifan lokal terkait pengelolaan sumber daya alam dan gotong royong. Misalnya ada yang disebut mabbaja ase dare atau pembersihan padi daratan yaitu penggarapan sawah darat yang dilakukan oleh semua warga pada jadwal tertentu yang telah ditetapkan pemangku adat. Tradisi ini disebut mattora atau massubbe menggunakan sejenis cangkul kecil yang bisa digunakan dengan hanya satu tangan.

Dikenal juga tradisi mabbaja ase galung atau secara gotong royong membajak sawah menggunakan mareha atau sapi dan mabbingkung atau mencangkul. Lalu ada malleleng, yaitu secara gotong royong saling membantu membajak sawah, kebun ataupun membangun rumah.

Tradisi lainnya adalah abbahang yaitu rapat adat sebelum menebang pohon yang akan digunakan untuk pembangunan rumah adat. Dalam abbahang ini ditentukan waktu penebangan (tanra esso), ritual sebelum penebangan (mappaota) dan pelaksanaan penebangan (tu’bbang).

Tradisi pengambilan kayu untuk pembangunan rumah adat ini sendiri disebut madduik yang berarti menarik atau menghela, di mana proses pengangkutan kayu dilakukan dengan cara digotong bersama-sama, tak boleh menggunakan alat modern. Prosesi ini biasanya berlangsung meriah melibatkan seluruh masyarakat tanpa melihat strata sosialnya.

baca juga : Pemetaan Wilayah Adat Lebih 20 Juta Hektar tetapi Pengakuan Minim, Mengapa?

 

Kehidupan keseharian masyarakat adat Karampuang yang mengelola hasil sawah dengan cara tradisional. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Sejarah Kelahiran Karampuang

Sama dengan daerah lainnya di Sulawesi Selatan, pembentukan masyarakat adat Karampuang tak terlepas dari kehadiran sosok misterius yang diyakini turun dari langit yang disebut To Manurung. Dia muncul di atas sebuah bukit yang saat ini dikenal dengan nama Batu Lappa. Dalam lontara Karampuang dikisahkan bahwa asal mulanya adanya daratan di Sinjai, berawal dari Karampuang ini.

Konon daerah sekitar Sinjai adalah lautan luas dengan sejumlah pulau-pulau atau daratan di tengahnya, termasuk Karampuang. Daratan yang tersembul dari lautan ini dinamakan cimbolo, yakni daratan seperti sebuah tempurung yang tersembul di atas permukaan air. Di puncak cimbolo inilah diyakini awal mula muncul Manurung Karampulue yang bisa diartikan ‘seseorang yang karena kehadirannya menjadikan bulu kuduk berdiri’, yang kemudian berubah menjadi Karampuang.

Meski sebuah versi sejarah juga menyatakan bahwa Karampuang berasal dari perpaduan kata ‘Karaeng’ dan ‘Puang’, karena daerah tersebut merupakan lokasi pertemuan antara Raja Gowa (Karaeng) dan Raja Bone (Puang) dalam sebuah peristiwa bersejarah di masa lalu.

Setelah diangkat menjadi raja, Manurung Karampulue memimpin pembukaan lahan-lahan baru. Tak lama kemudian dia mengumpulkan warganya dan berpesan ‘eloka tuo te mate, eloka madeceng tea maja’.

“Ungkapan ini adalah suatu pesan yang mengisyaratkan kepada warganya pendukungnya untuk tetap melestarikan segala tradisinya,” jelas Puang Mengga.

Tak lama kemudian terjadi peristiwa besar yakni dengan hadirnya tujuh To Manurung baru yang diawali dengan munculnya cahaya terang di atas busa air. Konon saat sang raja melepaskan saudara-saudaranya turun ke bumi, dia berpesan ‘nonno makkale lembang numaloppo kuallinrungi, numatanre kuaccinaungi, makkelo kuakkelori uala lisu’.

“Artinya, turunlah ke daratan, namun kebesaranmu kelak harus mampu melindungi Karampuang, raihlah kehormatan namun kehormatan itu kelak turut menaungi leluhurmu. Meski demikian segala kehendakmu adalah atas kehendakku juga, kalau tidak maka kebesaranmu akan kuambil kembali.”

Akhirnya enam To Manurung menjadi raja di Ellung Mangenre, Bonglangi, Bontona Barua, Carimba, Lante Amuru dan Tasesse, yang kemudian membentuk dua Gella di masing-masing kerajaan. Sehingga terciptalah 12 Gella baru yakni, Bulu, Biccu, Salohe, Tanete, Maroangin, Ana’karung, Munte, Syiung, Sulewatang Bulu, Sulewatang Salohe, Satenga, Pengepena Satenga.

Setelah keenam saudaranya menjadi raja, raja tertua yang tinggal di Karampuang menghilang dan meninggalkan sebuah benda, yang kelak dijadikan Arajang atau pusaka kebesaran adat dan sampai saat ini masih disimpan di rumah adat. Sedangkan untuk menghormati Tomanurung tertua itu maka rumah adatnya semuanya dilambangkan dengan simbol wanita.

 

Exit mobile version