Mongabay.co.id

Peringatan Krisis Pangan di Hari Pangan Sedunia

 

Sejumlah elemen masyarakat menggelar aksi peringatan hari pangan sedunia di depan Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (17/10/2022). Dalam aksi itu, mereka menyerukan ancaman krisis pangan dan mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan masyarakat banyak.

Pada kesempatan itu, mereka membentangkan spanduk dan poster berisi seruan pemulihan lingkungan, iklim, serta perlindungan ruang produksi masyarakat. Mereka sesekali menyanyi, berorasi dan membunyikan panci sebagai peringatan krisis pangan yang sedang dihadapi.

Seperti dituliskan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dalam laporan berjudul “The State of Food Security and Nutrition in The World”, tahun 2021, sekitar 828 juta orang menghadapi kelaparan dan 3,1 miliar orang masih tidak mampu memenuhi pangan yang sehat.

FAO juga memprediksi, pada tahun 2030, jumlah angka kelaparan akan meningkat sebesar 670 juta. Angka ini disebut makin menjauhkan target program zero hunger. Laporan ini dipandang menjadi peringatan besar bagi dunia, terutama Indonesia, yang jumlah penduduknya berada di 4 besar terbanyak di dunia.

Suci Tanjung Fitriah, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta mengatakan, untuk meminimalisir dampak krisis pangan di masa depan, Pemerintah Indonesia harus melindungi dan mengakui produsen pangan, termasuk perempuan. Perlindungan itu mesti dilakukan dengan menjamin kepastian produksi pangan dapat berjalan dengan baik dan tanpa hambatan.

“Jadi, pembangunan tidak boleh mendahulukan kepentingan lain, terlebih sampai menghambat produksi pangan rakyat,” terang Suci, Senin (17/10/2022).

baca : Saatnya Manfaatkan Kekayaan Sumber Pangan Nusantara

 

Aksi dalam rangka hari pangan dengan spanduk dan poster berisi seruan pemulihan lingkungan, iklim, serta perlindungan ruang produksi masyarakat. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Pentingnya keterlibatan publik dalam produksi pangan itu ditunjukkan melalui data FAO tahun 2020 yang menyebut sebanyak 7,6 miliar manusia telah mengkonsumsi 178,5 juta ton ikan. Yang terbagi atas 96,4 juta ton dari perikanan tangkap, dan 82,1 juta ton dari budidaya laut.

Di Indonesia sendiri, terang Fitria, lebih dari 250 juta orang terus mengkonsumsi ikan setiap hari. Pada tahun 2020, angka konsumsi ikan tercatat sebanyak 54,56 kg per kapita. Angka ini naik signifikan dari tahun 2015 yang hanya 41,11 kg per kapita.

“Berbagai data tersebut menegaskan bahwa laut merupakan sumber pangan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat luas,” ujarnya.

Persoalannya, dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup, banyak keluarga nelayan mulai sulit memperoleh hasil tangkapan ikan. Asmania, Perempuan Pulau Pari yang mengikuti peringatan hari pangan menerangkan, sudah 4 tahun masyarakat di pulau itu mengalami kesulitan mendapat ikan. Dampaknya, kebutuhan konsumsi harian dipenuhi dengan lauk seadanya. Itupun, hanya dari hasil mencari di pinggir pantai.

“Malah sekarang kami dengar Pulau Seribu menjadi proyek pariwisatan nasional. Masa kami yang tiap hari hidup dari laut harus tersingkirkan akibat kebijakan pemerintah juga,” ungkap Asmania.

baca juga : Indonesia, Negeri Kaya Ragam Pangan Hadapi Beragam Persoalan

 

Krisis pangan juga dipicu oleh permasalahan iklim, pencemaran laut serta program pembangunan yang tidak menjadikan masyarakat sebagai subjek._Foto Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Muhayati, perempuan Pulau Pari lainnya yang juga hadir dalam aksi itu mengatakan, kelompok perempuan menjadi pihak yang terdampak paling parah dari krisis pangan. Perempuan seringkali hanya ditempatkan dalam persoalan rumah tangga, kerja-kerja kelompok ini disebut sering tidak diakui dan tidak dianggap sebagai subjek utama.

Dalam situasi seperti itu, mereka tambah diperhadapkan dengan sulitnya mengakses air bersih. Dia mengatakan, kondisi yang serba sulit rentan menjadikan perempuan sebagai sasaran kekerasan dalam rumah tangga. Serta, membuat anak-anak menjadi tidak terawat karena tidak bisa mandi

“Air kotor banyak, banjir kiriman banyak. Tapi air bersih kami tidak punya, karena pemerintah tidak berpihak pada masyarakat kecil,” seru Muhayati.

 

Lindungi Ruang Produksi Rakyat

Langkah lain yang perlu ditempuh untuk menghindari dampak krisis pangan adalah memastikan komitmen pemerintah Indonesia dalam menekan dampak perubahan iklim, serta menjamin hak masyarakat untuk mengelola ruang hidup dan ruang produksinya.

Ary Jr, Koordinator Nasional Extinction Rebellion Indonesia menilai, akibat akumulasi emisi yang berasal dari akivitas industri, banyak petani harus berhadapan dengan gagal panen, nelayan sulit membaca musim, rusaknya ekosistem laut yang mengakibatkan sulitnya menangkap ikan.

Pendekatan pembangunan semacam Proyek Strategis Nasional dan Food Estate dituding sebagai biang pengabaian hak petani, serta masyarakat adat. “Kita jelas tidak boleh melanjutkan Business As Usual yang membawa masyarakat Indonesia berlari menuju krisis pangan massal,” ujar Ary Jr.

Padahal, pasal 3 poin D, Undang-Undang 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan mengatur perlindungan kepemilikian lahan pertanian pangan milik petani. Sayangnya, pemerintah justru dinilai meletakkan penyediaan pangan pada model monokulutur skala luas yang mengabaikan petani kecil berbasis keluarga sebagai subjeknya.

baca juga : Gempuran Masalah pada Nelayan dan Laut di Negeri Bahari dalam Film Angin Timur

 

Sejumlah elemen masyarakat menggelar aksi peringatan hari pangan sedunia di depan Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (17/10/2022). Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Selain masalah lahan produksi, krisis pangan juga dipicu oleh sulitnya memeroleh bibit pertanian yang unggul. Supri, perwakilan Rukun Tani dan Nelayan menjelaskan, saat ini banyak petani menggunakan pupuk berbahan kimia yang tidak ramah lingkungan. Menurutnya, penggunaan pupuk ini membahayakan kesuburan lahan dan membuat tanah menjadi keras.

Karena itu, pihaknya mendorong penggunaan pupuk dan bibit organik untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Pertanian organik dipercaya dapat meningkatkan kemungkinan hidup lebih panjang dan kesehatan lebih baik.

“Mari kita sama-sama gerakkan pembuatan pupuk dan pertanian organik. Kita bisa saling belajar. Jangan tergantung pada orang lain. Kita harus mandiri. Karena kalau kita gunakan pupuk pabrikan, anak-cucu kita tidak akan menikmati pertanian dengan baik,” kata Supri.

Dari berbagai situasi yang mengancam kedaulatan pangan nasional, dalam aksi itu mereka menyampaikan 5 tuntutan pada pemerintah, di antaranya: 1) Lindungi wilayah kelola rakyat dan hentikan proyek-proyek yang mengancam kedaulatan pangan, seperti food estate, reklamasi, pencemaran, NCICD, proyek strategis nasional dan lain sebagainya. 2) Dukung rakyat untuk menjalankan sistem pangan berbasis komunitas dengan prinsip keadilan ekologis yang bebas monopoli.

3) Bebaskan faktor-faktor penghambat produksi pangan nelayan dengan memberikan akses pada alat produksi. 4) Akui dan lindungi perempuan sebagai subjek produksi pangan, baik petani maupun dalam kebijakan maupun pelaksanaannya. 5) Berhenti dari keanggotaan G20 karena berpotensi merampas wilayah kelola rakyat dan mengancam kedaulatan pangan.

 

Exit mobile version