Mongabay.co.id

Pangan Lokal Mulai Menghilang di Kampung Saga

 

Pagi itu, Jumat (7/10/2022) Susana kantor Desa Saga, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT) tampak beda. Puluhan anak muda sibuk mengidentifikasi berbagai jenis tanaman pangan dan obat-obatan.

Mereka meletakan berbagai jenis buah, biji, daun serta batang tanaman pangan dan tanaman obat-obatan di atas kertas putih di lantai ruang tengah kantor desa.

Kertas bertuliskan nama tanaman diletakkan di bagian bawahnya. Terdapat 3 kelompok besar penempatannya disesuaikan dengan lokasi ditemukannya tanaman ini. Ada perkampungan,hutan dan perkebunan kopi.

Rupanya kegiatan di hari keempat ini merupakan Lokakarya Literasi Pangan Masyarakat Adat Saga.Kegiatan berlangsung selama 5 hari sejak tanggal 4 hingga 8 Oktober 2022.

Kegiatan diinisiasi komunitas Kampus Tanpa Dinding menggandeng Mantasa, lembaga yang fokus pada isu-isu seputar ketahanan pangan, lembaga penelitian multidisiplin yang bergerak di penelitian tanaman liar untuk bahan pangan.

Kegiatan ini juga melibatkan Fakultas Pertanian Universitas Flores (Unflor) Ende dan Pemerintah Desa Saga dan didukung Women’s Earth Alliance (WEA).

“Kami ingin membawa perempuan dan anak-anak muda berkontribusi dan betanggungjawab untuk pangan masa depan dan mengembangkan kewirausahawan dengan berbasis potensi lokal sesuai misi Kampus Tanpa Dinding,” sebut Maria P.W. Beribe, founder Kampus Tanpa Dinding kepada Mongabay Indonesia, Sabtu (8/10/2022).

baca : Sorgum Pangan Lokal NTT yang Kian Mempesona, Bagaimana Pengembangannya? (Bagian 1)

 

Peserta Lokakarya Literasi Pangan Masyarakat Adat Saga sedang mengidentifikasi tanaman pangan dan obat-obatan yang dikumpulkan dari wilayah Desa Saga, Kabupaten Ende, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Iis sapaannya menjelaskan Desa Adat Saga dipilih sebab pihaknya melihat komunitas adat Saga merupakan salah satu komunitas adat yang memiliki pangan lokal yang luar biasa yang belum dieksplore anak-anak muda.

Untuk itu, pihaknya berkinginan melakukannya bersama masyarakat adat Saga terutama menggandeng ibu-ibu dan anak-anak muda yang bergabung di komunitas Anak Tanah Saga (ATS).

“Jumlah peserta ada 13 mahasiswa dari Fakultas Pertanian Unflor dan 23 Anak Tanah Saga dan serta ibu-ibu dan tetua (orang tua atau tokoh) di komunitas adat Saga,” ucapnya.

Iis mengaku trenyuh melihat kondisi pangan lokal.Ia bertutur, seiring berjalannya waktu, ia melihat sebenarnya pangan lokal dari jenis, jumlah dan keberadaannya masih banyak yang tersisa.

“Namun kini, baik dari  internal maupun eksternal, pangan lokal mulai diabaikan,” ucapnya.

Untuk itu sebut Iis, dengan kegiatan yang diadakan, lembaganya ingin memberikan sebuah persepktif baru terutama bagi anak-anak muda di komunitas adat Saga.

Mereka diberi ruang untuk mengeksplore lebih jauh keberadaan pangan lokal baik yang dibudidayakan maupun tumbuh liar di hutan, perkebunan dan daerah aliran sungai yang sudah banyak mereka temukan.

Hayu Dyah Patria dari Mantasa mengatakan kegiatan yang diadakan ini penting sebab kehilangan keanekaragaman hayati kita sangat cepat. Untuk itu perlu segera diselamatkan.

Lanjut Hayu,hasil temuan dari peserta kegiatan, komunitas masyarakat adat Saga telah kehilangan pangan lokal Wete atau jewawut dan Lolo atau sorgum.

“Ini terjadi ketika mulai masuknya tanaman kopi dan bencana alam gempa tahun 1992 sehingga masyarakat pindah dari kampung adat ke perkampungan yang sekarang,” ungkapnya.

Hayu katakan, ketika pihaknya mengadakan lokakarya ini, baru masyarakat mulai menyadari ternyata beberapa pangan lokal mulai hilang. Ternyata mereka juga sangat merindukan pangan tradisional ini.

baca juga : Pangan Lokal Nusantara, Semua Pihak Harus Dilibatkan Menjaganya

 

Peserta Lokakarya Literasi Pangan Masyarakat Adat Saga, Kabupaten Ende, Provinsi NTT sedang mengelompokkan tanaman pangan dan obat-obatan yang dikumpulkan dari wilayah Desa Saga. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Penyebab Pangan Lokal Hilang

Masyarakat adat Saga, Alexander S. Sina dan Wilhemus Gowa kepada peserta menjelaskan, sejak tahun 1974 hingga 1982, pangan lokal seperti sorgum (Lolo), jewawut (Wete), Jali-Jali (Keo) masih dibudidayakan masyarakat Saga.

Masyarakat beralasan,pangan lokal masih dibudidayakan sebab benih dari luar belum tersedia dan masih ada benih atau bibit tahun sebelumnya.

Masyarakat juga masih menanam bawang di dalam kawasan hutan sebelum adanya penetapan kawasan hutan Lindung Taman Nasional Kelimutu (TNK).

Kurun waktu 1983-1992, tanaman pangan lokal sudah tidak dibudidayakan lagi setelah ada himbauan pemerintah untuk menanam tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh, kakao, kemiri dan kelapa.

Gempa dan tsunami Flores tahun 1992 membuat masyarakat banyak pindah dari perkampungan adat ke lokasi pemukiman saat ini.

Tetua desa Saga, Marsianus Pa menyebutkan, dampak dibukanya lokasi pemukiman baru membuat lahan pertanian pun berkurang drastis.

Lahan ini sebut Marsianus, dulunya ditanami tanaman pangan untuk konsumsi. Penetapan tapal batas hutan lindung di tahun 1984 juga membuat kawasan kebun warga menyusut drastis.

Ia katakan, warga pun dilarang masuk ke dalam kebun mereka yang sudah ditetapkan masuk kawasan hutan lindung. Ini berdampak semakin berkurangnya lahan untuk tanaman pangan.

“Dulu masyarakat berladang tapi kini kebun untuk menanam tanaman pangan sudah tidak ada kecuali sedikit saja lahan untuk tanam jagung dan ubi untuk kepentingan ritual adat,” terangnya.

baca juga : Menyoal Sumber Pangan Lokal dan Kehidupan Petani

 

Hayu Dyah Patria pendiri Mantasa sedang menunjukan aneka pangan lokal amsyarakat adat Saga di Kabupaten Ende, Provinsi NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Marsianus menjelaskan, sebelum tahun 90-an sorgum dan jewawut biasanya ditabur di pinggir kebun. Kearifan lokal ini dimaksudkan agar burung bisa memakannya sehingga tanaman padi dan jagung di tengah kebun tidak diganggu.

Sebutnya,pangan lokal mulai hilang tahun 90-an sejak ada gempa dahsyat tahun 1992. Penyaluran beras dan makanan instan oleh pemerintah membuat masyarakat mulai mengenal dan mengkonsumsinya.

“Pangan lokal mulai hilang karena tidak ditanam sebab masyarakat beralih menanam tanaman perkebunan.Ini diperparah karena beras dan makanan instan kian hari mudah diperoleh di kios-kios yang ada di Desa Saga,” ucapnya.

Hayu menambahkan,pangan lokal mulai hilang ketika ada program berasnisasi dari pemerintah. Penyeragaman makanan yang dikonsumsi masyarakat.

Jelasnya, ini tidak bisa lepas dari propaganda pangan saat revolusi hijau ketika beras secara besar-besaran diperkenalkan kepada masyarakat.

Bahkan sampai di iklan-iklan media massa digaungkan kita belum menjadi masyarakat Indonesia seutuhnya ketika belum mengkonsumsi beras. Dampaknya, perlahan masyarakat lokal menganggap pangan lokal tidak terlalu bagus dikonsumsi.

“Masyarakat akhirnya sudah terbiasa berpikir mengkonsumsi makanan modern, makanan indutrialis dan instan lebih baik dari makanan lokal. Sangat sulit membalik pola pikir itu,” tuturnya.

Hayu katakan,masyarakat sudah terlanjur percaya makanan lokal kelasnya rendah dan untuk masyarakat kelas dua.

 

Terung Telunjuk yang banyak terdapat di kebun dan pekarangan rumah warga di Desa Saga, Kabupaten Ende, Provinsi NTT yang sering dikonsumsi ketika masih muda dan berwarna hijau. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Mulai Memahami

Anak muda Saga, Yutina Redho kegiatan ini membuat anak muda memiliki wawasan soal pangan lokal baik jenis maupun manfaatnya.

Yustin sapaannya sebutkan,anak-anak muda bisa mengetahui dan mencari tahu cara mengolahnya untuk dikonsumsi. Ia tak menyangka,ternyata pangan lokal di desanya banyak sekali.

Mahasiswa Unflor, Ferdinandus Lara bersyukur selama kegiatan banyak hal didapat terlebih khusus terkait literasi pangan lokal di desa adat Saga.

Mahasiswa juga ikut terlibat aktif dengan kawula muda desa adat Saga untuk melakukan pemetaan secara komunal pangan lokal yang sudah punah dan hampir punah untuk diperkenalkan kembali ke masyarakat.

Sebutnya, dari persepktif anak muda, pangan lokal merupakan makanan khas yang biasa dikonsumsi dalam sebuah upacara adat yang tidak semua anak muda mengetahuinya.

“Bagi kami sendiri sesuatu yang sangat berharga bila diperkenalkan kepada anak muda,” ungkapnya.

Ferdinandus sebutkan,apa yang didapat saat kegiatan menjadi keuntungan bagi mereka. Nantinya saat pulang ke daerah masing-masing, bisa memberitahukan kepada masyarakat di kampungnya.

Iis katakan, akan dibuat buku yang berisi sistem pangan masyarakat adat Saga. Keaneragaman hayati tanaman pangan baik yang dibudidayakan maupun pangan liar dan resep-resep makanan tradisional komunitas adat Saga.

Hayu menambahkan, pihaknya sedang mendokumentasikan aneka pangan lokal Saga.

Menurut Hayu, ketika masyarakat mulai menyadari pengetahuan itu maka benih-benih bisa didatangkan dari desa sekitar untuk dibudidayakan kembali.

“Ternyata ada pangan lokal kita yang biasa dikonsumi namun tidak dijaga sampai saat ini dan ini yang akan kita perjuangkan,” ucapnya.

 

Exit mobile version