Mongabay.co.id

Masa Depan Gajah Sumatera di Hutan Ulu Masen

 

 

Baca sebelumnya: Mengapa Konflik Manusia dengan Gajah Sumatera di Aceh Tinggi?

**

 

Hutan Ulu Masen merupakan masa depan kehidupan gajah sumatera.

Hutan ini terletak di lima kabupaten di Provinsi Aceh, yaitu Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, dan Pidie Jaya. Luasnya sekitar 750 ribu hektar.

Di sekitar blok hutan Ulu Masen terdapat sejumlah desa yang mengitarinya. Di Aceh Besar [604 desa], Aceh Jaya [172 desa], Aceh Barat [321 desa], Pidie [731 desa], dan Pidie Jaya [222 desa].

Secara umum habitat Ulu Masen merupakan hutan dataran rendah, hutan pegunungan, dan padang rumput. Perbedaan habitat ini membuat Ulu Masen kaya keanekaragaman satwa, seperti jenis burung, mamalia, reptil, amfibi, dan primata.

Hasil penelitian melalui kamera pengintai oleh Radinal dkk [2019], dalam publikasi IOP Conference Series: Earth and Environmental Science menunjukkan, selain gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus], terdapat satwa liar di Ulu Masen yang berstatus Kritis [Critically Endangered/CR], yaitu harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae] dan trenggiling [Manis javanica].

Baca: Rancangan Pergub Aceh Tentang Konflik Satwa Liar Disusun, Sebagai Bencana Luar Biasa

 

Seekor gajah liar terlihat berada tidak jauh dari pagar kawat kejut di Kabupaten Pidie, Aceh, sebagai bentuk mitigasi konflik manusia dengan gajah. Foto: Dok. BKSDA Aceh/FFI

 

Habitat gajah sumatera

Gajah di Ulu Masen sangat memilih habitat hutan primer dataran rendah yang keberadaannya dipengaruhi kemiringan lahan. Hasil ini berdasarkan penelitian Abdullah [2009].

Menurut Abdullah, gajah membutuhkan hutan primer untuk interaksi sosial, menghindari musuh, reproduksi, makan, dan istirahat. Sedangkan kemiringan lahan yang dipilih, dari 0-20 derajat atau landai.

Dalam penelitian Abdullah [2009] dan Zahran dkk [2014] mengenai aktivitas harian gajah, mereka mencatat bahwa gajah beristirahat dua kali sehari, yaitu siang dan tengah malam.

Siang hari, gajah istirahat sambil berdiri di bawah pohon rindang dengan tutupan kanopi 20-60 persen, sedangkan malam hari tidur dengan merebahkan diri di hutan. Saat istirahat, gajah sering berkubang atau menggesekkan badan ke pohon.

Menurut Zahrah dkk, gajah memakan sekitar 40 jenis kulit kayu seperti Streblus elongatus, Mallotus paniculatus, Macaranga sp, atau Baccaurea macrocarpa. Jenis belukar yang disukai adalah jenis Rubus moluccanus.

Berdasarkan analisis kesesuaian habitat, penelitian Abdullah menunjukkan, habitat yang sesuai [suitable] untuk gajah di Ulu Masen dan terdapat sumber daya yang selalu dimanfaatkan hanya 143.678,60 ha atau 21.82%.

Merujuk data Dokumen Strategi Rencana Aksi Pengelolaan Satwa Liar [SRAP SL] Tahun 2022, dijelaskan bahwa estimasi populasi gajah di Aceh berkisar 507-610 individu. Sebarannya ada di empat bagian. Utara meliputi Kabupaten Pidie, Pidie Jaya, Aceh Besar, dan Aceh Jaya. Tengah, meliputi Kabupaten Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Barat dan Nagan Raya. Timur, meliputi Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tamiang. Selatan meliputi Aceh Selatan, Aceh Tenggara, dan Subulussalam.

Untuk konflik manusia dengan gajah dari 2017 hingga 2021 tercatat ada 344 kejadian. Konflik  paling tinggi ada di Pidie [lebih 80 kejadian], Aceh Timur [80 kejadian], dan Aceh Jaya [lebih 70 kejadian].

Baca: Instruksi Penyelamatan Satwa Liar dari Jerat dan Perburuan Telah Dikeluarkan, Implementasi Lapangan?

 

Pembuatan pagar kawat kejut untuk mencegah konflik manusia dengan gajah dilakukan di Kabupaten Pidie, Aceh. Foto: Dok. BKSDA Aceh/FFI

 

Ancaman kehidupan gajah di Ulu Masen

Penelitian Abdullah [2009] menjelaskan, rerata jumlah konsumsi harian gajah di kawasan Ulu Masen sekitar 308,22 kg berat basah tumbuhan pakan.

Untuk memenuhi kebutuhannya, gajah akan mencari makan tidak hanya di hutan primer, tetapi juga hutan terbuka, seperti hutan sekunder, padang rumput, hingga perkebunan masyarakat.

Evaluasi SRAK Gajah 2007-2017 menjelaskan, konversi lahan untuk pembangunan permukiman konflik gajah dengan manusia meningkat. Termasuk, perburuan dan ancaman langsung seperti jerat, racun, serta pagar listrik ilegal yang semakin mengancam populasi gajah.

Menurut Boyhaqie, Biodiversity Officer Fauna & Flora International’s Indonesia Programme, penyebab konflik manusia dengan gajah secara umum adalah perburuan. Sementara, konflik yang sudah lama terjadi adalah gajah sudah terbiasa makan hasil kebun masyarakat dan padi karena mudah didapat.

“Masyarakat banyak menanam pinang yang disukai gajah, serta menanam padi yang tidak serentak saat panen. Dengan begitu, gajah bisa mendapatkan makanan sepanjang musim panen padi,” terangnya di Banda Aceh, baru-baru ini.

Berdasarkan penelitian Zahrah dkk, tanaman padi, jagung, singkong, dan kentang merupakan jenis yang disukai gajah.

Ilyas, Imun Mukim Beungga, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Aceh, mengatakan, gajah yang masuk ke Desa Beungga merusak juga tanaman kebun atau padi masyarakat.

“Masyarakat tentu rugi bila tanamannya rusak. Namun, mereka mengerti gajah merupakan satwa dilindungi sehingga masyarakat terbuka untuk pendampingan yang diberikan pemerintah daerah maupun mitra yang bekerja di desa ini,” terangnya.

Baca juga: Pagar Kawat Kejut Dirusak, Kawanan Gajah Liar Kembali Masuk Permukiman Warga

 

Penggiringan gajah liar agar keluar dari perkampungan warga di Desa Negeri Antara dan Blang Rakal, Kecamatan Pinto Rime Gayo, dilakukan menggunakan mercon. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Upaya penyelamatan gajah                                                     

Berdasarkan Peraturan Menteri KLHK Nomor P 48 Tahun 2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar, terdapat prosedur penganggulangan konflik antara manusia dengan gajah. Ada pemantauan, penjagaan perbatasan habitat gajah dengan permukiman yang memungkinkan konflik terjadi, serta pengusiran dan penggiringan ke habitat.

Menurut Boyhaqie, penanganan konflik manusia dengan gajah, sejauh ini dilakukan dengan membentuk kelompok mitigasi konflik satwa.

Di Pidie ada 7 kelompok, Pidie Jaya [1 kelompok] dibawah satgas dari ranger, masyarakat, dinas], Mila [1 kelompok], Beungga [1 kelompok], Mane [3 kelompok], dan Tiro [2 kelompok].

“Mereka dibekali pelatihan mitigasi. Saat gajah masuk desa, masyarakat menggunakan meriam kabit dan mercon. Sejauh ini, dua alat tersebut paling efektif dibandingkan cara lain yang sudah dicoba,” jelasnya.

Masyarakat sudah mampu melakukan prosedur penanggulangan gajah. Bila ada gajah yang mendekati kebun atau permukiman, akan disampaikan kepada kelompok mitigasi satwa dan instansi terkait.

“Penjagaan segara dilakukan. Penggiringan dan pengusiran gajah pun dilakukan ke habitatnya dengan menggunakan mercon maupun meriam karbit,” ujarnya.

Berdasarkan Surat Edaran No. SE.7/KSDAE/KICH/KSA2/10/2021 tentang Arahan Pelaksanaan Kegiatan Prioritas Pengelolaan Gajah Sumatera, Ditjen KSDAE KLHK menyampaikan 4 strategi perlindungan gajah sumatera:

  1. Perlindungan gajah di alam dan penguatan kapasitas aparat penegakan hukum dalam memerangi tindakan kejahatan terhadap satwa liar, khususnya pada gajah.
  2. Penanggulangan dan adaptasi konflik manusia dan gajah secara efektif melalui optimalisasi pengelolaan barrier, serta mendorong praktik hidup berdampingan [koeksistensi] antara manusia dengan gajah [tidak ada kematian manusia].
  3. Menghilangkan potensi ancaman langsung pada lokasi-lokasi prioritas.
  4. Penyelamatan gajah dari populasi alami kritis [doomed population] dan pemindahan ke habitat yang aman dan layak.

 

Bagaimana penyelamatan gajah sumatera di Aceh? Penyelamatan mamalia besar ini telah dimasukkan dalam SRAP SL tahun 2022. Berdasarkan kajian dan permasalahan yang dikumpulkan ada beberapa strategi dalam melindungi gajah dan 3 satwa kunci lainnya [harimau sumatera, badak sumatera, orangutan sumatera].

Strategi tersebut adalah mempertahankan populasi dan habitat satwa liar dengan melakukan survei populasi melalui data terintegrasi, mengurangi ancaman serta pemulihan habitat melalui patroli dan pengayaan habitat, serta mengendalikan konflik satwa dan manusia dengan meningkatkan peran serta masyarakat dan penguatan kelembagaan para pihak.

 

Referensi:

Abdullah. 2009. Penggunaan Habitat dan Sumber Daya oleh Gajah Sumatera [Elephas maximus sumatranus Temminck, 1847] di Hutan Prov. NAD Menggunakan Teknik GIS. Berk. Penel. Hayati Edisi Khusus: 3B [47–54].

Direktorat Jenderal KSDAE. 2020. Rencana Tindakan Mendesak Penyelamatan Populasi Gajah Sumatera [Elephas maximus sumatranus] 2020-2023. Direktorat KKH-KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.

Radinal, Kiswayadi, D., Akbar, M., Boyhaqi, T., Gumay, D.W. 2019. Monitoring species diversity using camera traps in Ulu Masen ecosystem, Aceh Province.  IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 365:1-8

Zahrah, M., Alikodra. H.S., Nasution, Z. 2014. Evaluation on Habitat Suitability Index of Sumatran Elephant [Elephas maximus sumatranus] In Jantho Pinus Nature Reserve, Aceh. RJSITM. Volume 03 [4]: 66-76.

Pemerintah Aceh. 2022. Strategi Rencana Aksi Pengelolaan Satwa Liar Aceh [SRAP-SL]. Inprep.

 

Exit mobile version