Mongabay.co.id

Kebijakan Penanganan Banjir Jakarta di Era Anies, Apakah Sudah Tepat?

Di awal Oktober ini, banjir di Jakarta kembali menelan korban jiwa. Sebanyak tiga orang siswa tewas akibat tertimpa tembok sekolah mereka di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 19 di Pondok Labu, Jakarta Selatan (6/10/2022).

Padahal sebelumnya, pejabat DKI, -seperti Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, menyebut di bawah kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Jakarta mampu mengendalikan banjir dengan optimal. Hasilnya, dari tahun ke tahun, penanganan banjir di Jakarta semakin baik. Banjir di Jakarta pun lebih cepat surut yakni hanya dalam waktu 1×24 jam (Mediaindonesia.com, 2/3/2021).

Benarkah masalah banjir, -meski beberapa narasi pejabat menyitir sebagai genangan, telah ditangani dengan baik oleh Pemda DKI Jakarta dibawah kepemimpinan Gubernur Anies Baswedan? Apa yang sebenarnya telah dijanjikan Anies  dalam penanganan banjir Jakarta dan apa yang telah direalisasikan sampai dilantiknya Heru Budi Hartono sebagai Penjabat Gubernur menggantikannya? Tulisan ini hendak menyoroti hal tersebut.

Baca juga: Mencari Akar Masalah Banjir di Kota Besar Indonesia

 

Janji Kampanye dan Realisasi

Setidaknya  ada empat hal utama yang dijanjikan Anies Baswedan  pada masa kampanye Pilkada DKI dulu, Pertama,  “membereskan” sumber banjir di hulu sehingga volume air yang sampai ke Jakarta berkurang. Kedua,  melakukan gerakan membangun sumur-sumur resapan di Jakarta. Ketiga, memastikan aliran air tidak terhambat dengan membersihkan gorong-gorong hingga sungai. Serta keempat, memastikan tidak terjadi sedimentasi yang berlebihan di hilir.

Terkait dengan janji pertama, Anies mengatakan akan merangkul Pemda Jawa Barat dan Kabupaten Bogor dalam upaya mengurangi debit air kiriman ke Jakarta saat hujan melanda. “Salah satu kekuatan yg kami tawarkan adalah kekuatan persuasi negosiasi. Bicara,” tegasnya di dalam sebuah event “Jakarta Kece-Bagaimana Cara Ahok dan Anies Mengatasi Banjir?” yang ditayangkan stasiun televisi Netmediatama pada 13 Desember 2016.

Namun, pada tahun keempat kepemimpinannya, tidak terlihat adanya kolaborasi yang terjalin antara Pemprov DKI dan wilayah penyangganya dalam menangani banjir kiriman. Anies malah menuding daerah penyangga, yakni Depok dan Bogor di Jawa Barat, sebagai penyebab terjadinya banjir di Jakarta.

 

Tembok bangunan sekolah MTs N 19 Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan roboh karena tidak mampu menahan volume genangan air. Dok: TRC BPBD Jakarta Selatan

 

Sementara itu, dalam hal membangun sumur resapan sebagaimana disebut dalam janji kedua, Pemprov DKI baru merealisasikan 0,29 persen dari target yang akan diraih pada 2020-2022. Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Juaini Jusuf mengatakan, sebanyak 2.974 sumur resapan sudah dibangun pada tahun 2020.

Target yang ingin dicapai hingga 2022 adalah 1 juta sumur resapan. Juaini beralasan, belum masifnya pembangunan sumur resapan dikarenakan Pemprov DKI Jakarta baru menggandeng dua vendor. Karenanya, ke depan, proyek tersebut akan digenjot dengan melibatkan 100 vendor.

Pada 2021 Pemprov DKI telah menyiapkan anggaran Rp 441 miliar dari APBD DKI Jakarta untuk proyek sumur resapan.  Adapun wilayah yang menjadi prioritas pembuatan sumur resapan tersebut hampir rata di seluruh wilayah Jakarta, kecuali Jakarta Utara. Targetnya 60 titik sumur resapan setiap rukun tetangga (RT) terbangun.

Rinciannya, 82.020 sumur resapan dari 1.367 RT di Jakarta Pusat, 364.620 sumur resapan dari 6.077 RT di Jakarta Selatan, 311.940 sumur resapan dari 5.199 RT di Jakarta Barat, dan 428.160 sumur resapan dari 7.136 RT di Jakarta Timur.

Sialnya, pada tahun anggaran 2022 DPRD menghapus anggaran sumur resapan dari yang semula diusulkan Rp 322 miliar oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sumur resapan ini dianggap tidak efektif menanggulangi banjir di Ibu Kota. Sumur resapan malah disebut-sebut merusak kontur jalanan Jakarta karena dibangun di sisi-sisi jalan tanpa eksekusi yang matang.

Sampai dengan 27 Oktober 2021, Pemprov DKI sudah membangun 12.482 titik sumur resapan. Dengan anggaran semula Rp 322 miliar, ditargetkan sebanyak 26.000 sumur resapan akan dibangun pada 2022 (Kompas.com, 03/12/2022).  Namun dengan dihapusnya anggaran otomatis target 1 juta sumur resapan pada 2022 akan jauh dari tercapai sekalipun Pemda DKI tetap akan membuat sumur resapan meskipun anggaranya telah dicoret.

Akan halnya dengan dua janji terakhir, Sekretaris Dinas SDA DKI Jakarta Dudi Gardesi, dalam paparan virtual antisipasi banjir Jakarta menjelaskan bahwa sejumlah langkah antisipasi sudah dilakukan. Di antara upaya tersebut adalah gerebek lumpur dengan mengeruk saluran kali, sungai, dan waduk, serta pemeliharaan pompa.

Sebanyak 23 waduk, 93 titik sungai, dan 390 saluran penghubung sudah dikeruk oleh Dinas SDA DKI Jakarta di tahun 2020, seperti dilansir Kompas.id. Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta juga menyiapkan 487 pompa stasioner di 178 lokasi, 175 pompa mobile di 5 wilayah, 257 alat berat, 465 dump truck, 36 pintu air, dan 8.101 personel (Kompas.com,23/02/2021).

Baca juga: Curah Hujan dan Kerusakan Lingkungan adalah Paket Pemicu Bencana Banjir dan Longsor

 

Pengendara melintasi banjir di Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan, Selasa (4/10). Hujan lebat yang mengguyur DKI Jakarta menyebabkan sejumlah wilayah di Ibu Kota terendam banjir. Dok/foto: M. Zaenuddin/KataData

 

Lalu Dimana Masalahnya?

Soal Normalisasi dan Naturalisasi memang sempat menjadi polemik pada awal-awal Gubernur Anies menjabat. Faktanya memang program normalisasi yang sudah disepakati Pemda DKI pada masa Gubernur Basuki dengan Kementerian PUPR sempat terhenti.

Argumentasi Anies yang mengemuka adalah tidak tepat normalisasi yang dilakukan untuk mengatasi banjir khususnya banjir kiriman karena normalisasi cenderung akan menggusur masyarakat yang terlanjur sudah tinggal sekian lama di bantaran kali. kebijakan populis Anies katanya tidak mau menggusur masyarakat.

Padahal kalau kita kembalikan kepada posisi awal patut dipertanyakan, mana lebih dulu pemukiman dengan keberadaan sungai. Pastinya bukan aliran sungai yang mengokuvasi lahan masyarakat. Sebaliknya masyarakatlah yang mengokupasi lahan pinggiran sungai.

Sesuai peraturan yang ada tidak dibenarkan bantaran sungai dijadikan pemukiman yang pada akhirnya menyebabkan badan sungai semakin menyempit dan tidak lagi normal kondisinya dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.

Menurut Nirwono Yoga, Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Jakarta sesungguhnya ada sejumlah pekerjaan rumah (PR) bagi Pemprov DKI agar banjir tahunan tidak lagi terjadi.  PR pertama, adalah membenahi empat sungai utama dengan pendekatan naturalisasi dan normalisasi yang sudah disepakati Pemprov DKI dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Pekerjaan rumah kedua bagi Pemprov DKI, adalah membenahi drainase secara besar-besaran. Hal itu ia simpulkan setelah membandingkan banjir kiriman yang terjadi tahun ini dengan banjir lokal pada 2020.

Baca juga: Masalah Banjir, Peneliti: Jakarta Harus Benahi Kebijakan dan Perilaku Masyarakat

 

Luapan air yang sangat deras di Bendung Katulampa, Bogor [1/1/2020]. Debit sungai Ciliwung yang tinggi menjadi salah satu sumber banjir di DKI Jakarta. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Evaluasi

Dari sebuah survey yang dilakukan, setidaknya 3 dari 5 responden menilai progam kerja Gubernur Anies dalam menangani banjir dinilai kurang maksimal, selain soal hunian terjangkau, dan kemacetan.

Banjir menjadi muara dari persoalan klasik seperti sampah dan kondisi saluran air yang buruk. Begitu pula kemacetan yang masih menjadi persoalan harian yang semakin parah di tengah cuaca ekstrem.

Divisi Data dan Analitis Jakarta Smart City mencatat masih tingginya aduan terkait hal di atas. Pada 2022, aduan terkait sampah mencapai 4.018, aduan terkait saluran air, kali, atau sungai sebanyak 2.279, dan terkait arus lalu lintas tercatat 2.379 (kompas.id,15/10/2022).

Maka sudah tepat dan benarlah kalau Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyebut akan fokus menyelesaikan tiga masalah utama di ibu kota, yaitu mengatasi banjir, menata kota dan mengurai kemacetan.

Heru menyebut akan bertemu dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono untuk meminta saran dan koordinasi mengenai apa yang dapat pemerintah DKI Jakarta. Dia menyatakan akan fokus pada pembangunan waduk dan sodetan (suara.com, 17/10/2022).

Semoga masih belum terlambat bagi Penjabat Gubernur DKI untuk menggesa penanggulangan banjir yang terkesan tidak sinergi dan terintegrasi antara kebijakan/program pemerintah pusat dengan pemda DKI pada era Gubernur Anies.

Akan lebih baik kalau koordinasi dan duduk bersama dapat juga diwujudkan dengan daerah-daerah yang diketahui “mengirim” banjir ke Jakarta selama ini. Sehingga koordinasi dan integrasi program penangulangan banjir tidak hanya dengan pemerintah pusat tetapi juga dengan Pemda sekitar Jakarta bisa kembali disinergikan. Semoga.

 

* Zenwen Pador, penulis Penulis Advokat dan Konsultan Hukum Sumber Daya Alam. Artikel ini adalah opini pribadi penulis.

 

 

Exit mobile version