Mongabay.co.id

Persepsi Positif Masyarakat Sangihe tentang Kawasan Konservasi Perairan

 

Perlindungan wilayah perairan disebut sebagai cara yang efektif untuk mendukung kelestarian ekosistem laut. Penilaian itu terungkap dalam riset Citra Septiani berjudul “Pemodelan Sosio-Ekologi pada Padang Lamun di Kepulauan Sangihe”.

Melalui studi tersebut, mahasiswi Universitas Newcastle ini berupaya mengkomparasikan pengelolaan wilayah perairan di 4 desa pesisir yakni, Batuwingkung, Bukide Timur, Nusa dan Palareng. Dua nama yang disebut pertama merupakan wilayah yang memiliki area perlindungan laut bernama Kawasan Konservasi Perairan (KKP).

Dari 4 desa tadi, Citra menetapkan 120 responden sebagai sumber informasi. Ia juga mengamati kondisi lamun serta aktivitas masyarakat di sekitar habitat tersebut. Hasilnya, dalam rentang 5 tahun belakangan mayoritas responden menilai, kesehatan lamun di wilayah KKP mengalami peningkatan. Sedangkan, di wilayah yang perairannya tidak dilindungi, nelayan tidak memiliki informasi terkait perbaikan kualitas habitat lamun pada kurun waktu yang sama.

Kesehatan lamun, dalam perkembangannya, diperkirakan berkontribusi mendukung perkembangbiakan ikan. Hal itu bisa dilihat dari tingginya aktivitas perikanan lamun di 2 desa yang memiliki area perlindungan laut. Diketahui, terdapat setidaknya 4 aktivitas penangkapan ikan di padang lamun, yakni jubi (speargun fishing), soma (seine net fishing), mangael (handline fishing) dan mengepuhe (gleaning).

“Lamun merupakan salah satu ekosistem tempat bertumbuh, berkembang, berlindung dari predator. Lamun yang sehat dapat memastikan hewan-hewan dapat berkembang lebih cepat. Selain itu mendukung karismatik spesies (dugong),” ujar Citra ketika mempresentasikan riset itu secara online, Rabu (19/10/2022).

baca : KKP Tetapkan 3 Kawasan Konservasi Perairan Baru di Maluku

 

Penelitian tentang padang lamun di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Foto : Citra Septiani

 

Berdasarkan kajiannya, dia menilai, aktivitas perikanan dapat berkontribusi negatif pada kesehatan lamun. Informan kunci dalam penelitian itu memercayai, kegiatan perikanan seperti penangkapan ikan menggunakan seine net atau soma, dan lalu lintas perahu dapat merusak lamun.

Namun, penetapan KKP dan edukasi yang menyertainya, mendorong peningkatan kesadaran masyarakat. Citra mendapati, informan di lokasi penelitian lebih berhati-hati dan mulai meninggalkan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Dia meyakni, pergeseran perilaku ini sebagai alasan peningkatan kualitas lamun dan hewan asosiasi di perairan itu.

Penetapan KKP, pada gilirannya, dijadikan momen untuk menetapkan dugong (Dugong dugon) sebagai flagship species. Dampaknya, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi dugong di wilayah tersebut. Indikatornya adalah rendahnya kasus dugong tertangkap (by catch), terutama di daerah yang dikelola atau memiliki KKP. Kemudian, masyarakat juga sudah tidak pernah memakan dugong di daerah yang memiliki KKP.

Temuan lainnya, hampir semua responden di lokasi penelitian mengaku pernah melihat atau berjumpa dengan dugong, serta mengatakan adanya peningkatan populasi, khususnya dalam 5 tahun terakhir.

“Mungkin, kita tidak bisa menyatakan jumlah, tapi kita bisa menyatakan seberapa sering masyarakat melihat dugong, karena masyarakat memang beraktivitas di situ. Jadi, ini merupakan pengetahuan ekologi lokal yang bisa dijadikan acuan,” kata Citra.

baca juga : Pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan Belum Maksimal

 

Penelitian tentang padang lamun di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Foto : Citra Septiani

 

Menurutnya, KKP membutuhkan kombinasi antara kerangka kerja pengelolaan dan konservasi yang efektif. Serta, pemeliharaan mata pencaharian masyarakat dan sistem tata kelola yang memungkinkan partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan.

“KKP di lokasi penelitian tampak berhasil karena masyarakat lokal mulai mengelola aktivitas perikanan untuk memberikan kesempatan ekosistem pulih kembali,” ungkapnya.

Citra mencontohkan, dalam penetapan lokasi, masyarakat Desa Batuwingkung mengusulkan KKP di lokasi yang sama sekali tidak ada ikan. Kondisi ini berkebalikan dengan Desa Nusa yang menjadikan wilayah aktivitas nelayan sebagai lokasi KKP. Penetapan lokasi yang didasari pertimbangan letak mudah dijangkau, pada akhirnya tidak mendapat dukungan masyarakat sekitar.

“Masyarakat merusak penanda KKP. Sekarang malah ada karamba di dalam KKP,” masih diterangkannya. “Dari analisis pemerintah kampung, mereka menyarankan, KKP ini (di Desa Nusa) harus dipindah. Namun, mereka juga tahu, kalau dipindah daerah tersebut susah dijangkau patroli.”

 

Kesepakatan Bersama

KKP merupakan daerah perlindungan laut yang diinisiasi Yapeka dan Perkumpulan Sampiri, bersama komunitas dan otoritas setempat. Terdapat 2 zona di wilayah konservasi ini, yaitu zona inti dan zona perikanan berkelanjutan.

Di zona inti, masyarakat di larang menangkap ikan, melakukan kegiatan pariwisata, mengoperasikan perahu bermotor, serta memotong bakau dan karang. Kegiatan yang diizinkan adalah penelitian, patroli dan penggunaan perahu dayung.

Aktivitas penangkapan ikan diperbolehkan di zona perikanan berkelanjutan, dengan catatan tidak menggunakan alat tangkap yang merusak. Nelayan yang melanggar akan diberi sanksi seperti teguran, denda hingga penyitaan alat tangkap.

baca juga : Begini Dampak Pandemi Bagi Masyarakat di Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Timur

 

Citra Septiani saat meneliti padang lamun di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Foto : Citra Septiani

 

Ami Raini Putriraya, Manajer wilayah Sulawesi Utara Yapeka mengatakan, KKP merupakan program perlindungan laut yang lokasinya dipilih berdasarkan kesepakat masyarakat, kemudian ditindaklanjuti dengan pembuatan peraturan kampung.

“Kami tidak mau semuanya jadi area larangan tangkap. Kalau semuanya ditutup, nelayan mau tangkap ikan di mana? Ada wilayah yang ditutup, ada wilayah yang dikelola dengan mengatur alat tangkap yang boleh digunakan,” terangnya kepada Mongabay Indonesia.

Program ini dipercaya menjadi solusi dari sulitnya menangkap ikan di beberapa wilayah di Sangihe. Pengelolaan laut yang baik, misalnya menjadikan suatu wilayah sebagai area larangan tangkap atau bank ikan, diharapkan dapat berkontribusi terhadap perkembang-biakan ikan.

Penetapan KKP juga ditujukan untuk mengurangi kejadian dugong tertangkap (by catch). Melalui program ini mereka mengidentifikasi area perjumpaan dengan dugong kemudian menawarkan penggunaan alat tangkap yang tidak berisiko tinggi pada dugong dan habitatnya.

Sejak 2015, Yapeka telah melaksanakan program konservasi dugong dan lamun di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Untuk mendapat gambaran utuh tentang kondisi dugong dan habitatnya, mereka melakukan studi ekologi dan sosial ekonomi di beberapa desa. Data-data itu kemudian menjadi dasar kerja sama dengan masyarakat.

“Sebetulnya fokus awal kami, membantu masyarakat lokal Sangihe supaya bisa mengelola area laut di depan kampung mereka, karena berbagai masalah yang dulu sempat diceritakan masyarakat, seperti kompresor dan bom. Jadi mereka ingin kegiatan perikanan yang tidak baik itu dikurangi,” pungkas Ami.

 

Exit mobile version