Mongabay.co.id

Anak dan Pemuda Suarakan Dampak Krisis Iklim. Apa Alasannya?

 

Suara anak yang tertuang dalam spanduk sepanjang 220-meter ditujukan kepada para pemimpin dunia yang tergabung dalam G20 terbentang di pelataran Monas bagian barat daya Jakarta.

Ratusan anak dari 12 negara dan 4 benua berpartisipasi menyuarakan dampak krisis iklim yang mereka rasakan serta harapan kepada pemimpin dunia untuk memprioritaskan aksi nyata atasi krisis iklim dan kemiskinan pada anak.

Laporan global Save the Children berjudul Generation Hope memaparkan bahwa diperkirakan 774 juta anak di seluruh dunia atau sepertiga dari populasi anak dunia hidup dengan kemiskinan yang parah dan risiko iklim yang tinggi.

Indonesia menempati peringkat ke-9 tertinggi secara global terkait jumlah anak yang mengalami kedua ancaman tersebut.

“Suara anak dari empat benua sangat penting untuk segera didengarkan dan ditanggapi oleh para pemimpin di G20 pada G20 Summit  bulan November 2022,” tegas Troy Pantouw, Chief of Advocacy, Campaign, Communication and Media, Save the Children Indonesia dalam siaran persnya yang diterima Mongabay Indonesia, Minggu (30/10/2022).

Troy katakan, pihaknya mendorong agar para pemimpin G20 segera memprioritaskan aksi nyata untuk mengurangi emisi dan membantu anak-anak yang paling terkena dampak krisis iklim dan kemiskinan.

baca : Aksi Generasi Iklim Ajak Bersama Peduli Iklim 

 

Anak dan pemuda membentangkan spanduk berisi tuntutan terkait dampak krisis iklim kepada negar-negara G20 saat aksi di Taman Monas, Jakarta. Foto : Save the Children

 

Ikut Berpartisipasi

Laporan Generation Hope juga menunjukkan lebih dari 60 juta anak di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu kali kejadian iklim ekstrem dalam setahun.

Save the Children menegaskan fakta ini memperjelas bahwa anak-anak menanggung beban lebih, sebab tumbuh dalam situasi terancam, disamping anak juga memiliki kondisi kerentanan baik secara fisik, sosial maupun ekonomi.

“Anak muda sekarang semakin sadar akan tantangan dan risiko dari krisis iklim yang akan dihadapi”. Bersiap menghadapi risisko tersebut, kami memilih untuk menjadi agen perubahan,” sebut Aruna (17), Anggota Child Campaigner Yogyakarta, Save the Children Indonesia.

Aruna menjelaskan mereka bekerja melalui aksi-aksi yang dilakukan, seperti membersihkan sampah plastik di bantaran sungai, memilah sampah, tidak menggunakan plastik dan menanam pohon bakau.

“Kami juga meningkatkan kesadaran anak-anak terhadap pentingnya menjaga lingkungan dengan pentas seni, sampai dengan melakukan advokasi mengenai krisis iklim. Kami menunjukkan bahwa kami tidak hanya peduli, tapi juga bertindak secara nyata, ” jelasnya.

Aruna juga menyuarakan tentang keadilan iklim. Baginya hal ini menyangkut dua dimensi yaitu hak hidup dengan kualitas lingkungan sehat yang sama dan jaminan lingkungan aman serta  lebih baik untuk para generasi masa depan.

baca juga : Krisis Iklim Picu Krisis Hak Anak, Mengapa?

 

Anak dan pemuda membentangkan spanduk berisi tuntutan terkait dampak krisis iklim kepada negar-negara G20 saat aksi di Taman Monas, Jakarta. Foto : Save the Children

 

Ia katakan keadilan iklim mesti disuarakan dan diadvokasi oleh semua pihak baik kepada pemerintah, perusahaan, masyarakat sipil, akademisi dan juga semua anak-anak dan orang muda.

“Ini dilakukan untuk memastikan bahwa kami diberi hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan dan pembangunan yang akan sangat berpengaruh terhadap bumi,” tegasnya.

Suara anak dari empat benua merupakan bagian dari kampanye Aksi Generasi Iklim Save the Children Indonesia. Pengumpulan suara anak anak  dilakukan kurang lebih empat bulan dengan melalui berbagai proses.

Di Indonesia, sejak Juli 2022 Save the Children berhasil menjaring lebih dari 20 ribu suara anak terkait persepsi mereka tentang dampak krisis iklim yang mereka rasakan.

Suara tersebut dipublikasikan melalui berbagai aksi kegiatan yang diinisiasi oleh anak-anak dan orang muda yang tergabung sebagai Child Campaigner Save the Children Indonesia di Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Sulawesi Tengah.

 

Kurangnya Dukungan

Sebelumnya, delegasi anak dan pemuda Indonesia untuk The Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022 bertemu dan beraudensi dengan perwakilan Pemerintah Indonesia, Senin (9/5/2022) seperti dikutip savethechildren.or.id

Anak dan Pemuda Indonesia yang berpartisipasi dalam GPDRR 2022 dalam pertemuan itu menuntut partisipasi inklusif untuk resiliensi berkelanjutan.

Dikatakan, Indonesia merupakan wilayah dengan multi-risiko bencana yang tinggi dimana anak dan pemuda merupakan salah satu dari kelompok beresiko.

Dampak yang ditimbulkan akibat bencana bagi mereka  terutama dari segi psikis, akan lebih besar dirasakan karena trauma yang dialami. Dalam kondisi darurat bencana, mereka kehilangan hak seperti bermain, belajar, diasuh, dan kebutuhan dasar lainnya.

baca juga : Sepucuk Surat Buat Greta

 

Seorang ibu membelai anaknya berlatar Pembangkit Listrik Tenaga Batubara Indramayu, Jawa Barat, pada Jumat (21/10/2022) lalu. Dampak debu batubara membuat pertanian di sana acapkali mengalami gagal panen berkepanjangan. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Saat ini mereka merasakan kurangnya dukungan dalam meraih pendidikan dini terkait pengurangan risiko bencana (PRB), kurangnya kesempatan kerja sama dalam melakukan riset terkait kebencanaan dan dikesampingkannya aksi PRB berbasis pengetahuan lokal.

Dalam beberapa kondisi, keterbatasan informasi dan pendidikan mengenai PRB mempengaruhi kemampuan mereka dalam mengambil keputusan di situasi darurat bencana.

Padahal, mereka dapat dan berkeinginan menjadi elemen penting  dalam keluarga dan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan resiliensi terhadap bencana.

Melalui literasi di bidang teknologi dan informasi, mereka memiliki akses yang lebih baik terhadap  pengetahuan terkait risiko bencana. Sebagian besar dari mereka tidak mengetahui tentang kebijakan dan program pemerintah pusat dan daerah tentang kesiapsiagaan bencana.

Meskipun begitu, dengan pengetahuan dan akses sarana dan prasarana yang dimiliki, mereka telah berusaha berkontribusi dalam PRB.

Partisipasi mereka disalurkan dalam berbagai bentuk dan kesempatan, di antaranya mengikuti jambore dan seminar mengenai mitigasi bencana, penanaman pohon di lokasi rawan longsor.

Anak-anak dan pemuda ini juga menggunakan sepeda ke sekolah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, kebiasaan untuk membuang sampah pada tempatnya, bahkan hingga menggunakan drone dalam pemetaan risiko bencana.

baca juga : Sumpah Pemuda, Bersuara Perubahan Iklim 

 

Seorang anak bermain di kawasan yang terendam banjir di Jakarta Utara, pada November 2020. Foto : shutterstock

 

Beri Rekomendasi

Demi memperluas dan menguatkan komitmen mereka, anak dan pemuda Indonesia merekomendasikan peningkatan aksi nyata untuk pemerintah, institusi, serta dan sektor swasta yang terlibat dalam bidang kebencanaan untuk  menjamin perlindungan berisiko sebagai prioritas dalam pembuatan regulasi.

Juga memastikan semua anak dan pemuda mendapatkan kemudahan dalam mengakses informasi dan pengetahuan dengan memaksimalkan pemerataan sumber informasi hingga wilayah 3T melalui kegiatan sosialisasi, simulasi, serta kurikulum sekolah, dengan penyesuaian kerawanan bencana di setiap daerah.

Anak dan pemuda juga menuntut menyediakan ruang inklusif bagi seluruh anak dan pemuda agar terlibat dan bebas berpendapat.

Mereka minta pembangunan infrastruktur komunitas sesuai standar kebencanaan agar tercapainya fasilitas aman. Pemerintah berusaha mengembalikan hak-hak anak dan pemuda meliputi perlindungan, tempat tinggal, pendidikan serta rehabilitasi psikologis bagi yang terpapar bencana.

Mereka juga mengharapkan peningkatkan kolaborasi antara pemangku kepentingan, antargenerasi, dengan anak dan pemuda sebagai mitra utama dalam upaya mitigasi, adaptasi dan rehabilitasi.

 

Exit mobile version