- Sekitar 40 anak dan orang muda tergabung dalam Child Campaigner Yogyakarta bersama Paguyuban Pengajar Pinggir Sungai (P3S) berkumpul hari itu. Mereka bergerak menyusuri pinggiran Sungai Code di sekitar Jembatan Pogung. Aksi ini untuk mengenalkan kepada anak-anak untuk mencintai lingkungan dan peduli iklim.
- Aksi Generasi Iklim, merupakan gerakan yang diprakarsai dan dipimpin anak-anak dan orang muda untuk memahami dampak krisis iklim. Upaya mitigasi dan adaptasi secara kolaboratif.
- Kegiatan ini bertujuan memastikan anak-anak dan keluarga dapat beradaptasi, mengatasi, dan mengurangi risiko krisis iklim serta memperkuat sistem yang mendukung masa depan anak-anak.
- Henda Gandamanah, Manajer Kampanye STC Indonesia kepada Mongabay mengatakan, fokus Save The Children adalah memberi ruang bagi anak-anak untuk mengekspresikan harapan, satu tema tentang krisis iklim.
Anak-anak berkumpul tak jauh dari pos pemantauan Sungai Code, dekat Jembatan Pogung, Sinduadi, Sleman, beberapa waktu lalu. Mereka mengenakan kaos bertuliskan Aksi Generasi Iklim. Ini adalah program SaveThe Children (STC) Indonesia sejak April 2022. Mereka membersihkan sampah di satu sungai yang membelah Kota Yogyakarta.
Sekitar 40 anak dan orang muda tergabung dalam Child Campaigner Yogyakarta bersama Paguyuban Pengajar Pinggir Sungai (P3S) bergerak menyusuri pinggiran Sungai Code di sekitar Jembatan Pogung.
Aneka sampah yang mereka temukan lalu dikumpulkan dan pilah. Kebanyakan adalah sampah plastik kemasan, botol minuman, stereofoam dan popok bayi.
Kahfi, Child Campaigner Yogyakarta, tahun ini naik kelas III SMA. Sewaktu kecil dia suka main di sungai. Terlebih di sekitar tempat dia tinggal di Turi, Sleman, banyak sungai. Jarak Turi ke puncak Gunung Merapi sekitar 20 km. Hanya saja, sekarang kondisi sungai sudah beda dibanding dulu.
“Waktu saya kecil dan sekarang sangat berbeda. Dulu, sungai masih bersih. Air bisa buat main. Dimanfaatkan untuk kebutuhan air rumah. Banyak warga sekitar memanfaatkan sungai sebagai tempat mandi. Masih bersih soalnya,” katanya.

Sungai bersih yang masih bisa ditemui saat dia masih anak-anak telah keruh terutama yang mengalir ke perkotaan.
Kini, warga tak lagi bisa menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan, ada sungai yang justru menjadi tempat pembuangan limbah rumah tangga.
“Di daerah Turi ada beberapa sungai dipakai untuk outbond, memancing, tapi kalau di perkotaan, kondisi sungai sudah tidak memungkinkan lagi untuk sumber air bersih.”
Menurut Kahfi, di hulu sungai bukan saja banyak sampah organik, juga limbah rumah tangga, sampai popok.
“Biasa dibawa masyarakat luar. Mereka datang ke sungai untuk membuang sampah. Ini yang menyebabkan pencemaran,” katanya.
Dia tertarik bergabung dalam aksi itu karena dunia tengah menghadapi krisis iklim yang berdampak kepada kesejahteraan anak.
Anak-anak ini bukan hanya hanya membersihkan bantaran sungai, juga belajar memahami menjaga kebersihan lingkungan sejak kecil.
“Apabila kesejahteraan anak terancam, bagaimana nasib generasi mendatang? Di tangan anak-anaklah masa depan ditentukan.”

Senada diungkapkan Ayska, yang tahun ini lulus SMA. Meski tak tinggal di sekitar sungai, namun memiliki banyak teman yang tinggal di bantaran sungai. Mereka kerap bercerita pemngalaman tinggal di sekitar sungai.
“Cerita dari teman-teman, dulu mereka jadikan sungai sebagai tempat mengekspresikan diri. Sebagai tempat bermain, yang bisa membahagiakan mereka. Kini, sudah berubah. Sungai tak sebersih dulu lagi.”
Ayska tergerak bergabung dengan Aksi Generasi Iklim karena masih banyak belum sadar betapa penting menjaga lingkungan.
“Saya berharap bisa menginspirasi anak-anak lain untuk ikut menjaga kebersihan sungai.”
Selama ini, keprihatinan Ayska akan krisis iklim tersalurkan lewat media sosial. Di sekolahnya, teman seangkatan memiliki akun Instagram yang ikut angkat isu-isu sosial dan iklim.

Aksi Generasi Iklim
Aksi Generasi Iklim, merupakan gerakan yang diprakarsai dan dipimpin anak-anak dan orang muda untuk memahami dampak krisis iklim sekaligus upaya mitigasi dan adaptasi secara kolaboratif. Kegiatan ini bertujuan memastikan anak-anak dan keluarga dapat beradaptasi, mengatasi, dan mengurangi risiko krisis iklim serta memperkuat sistem yang mendukung masa depan anak-anak.
Henda Gandamanah, Manajer Kampanye STC Indonesia kepada Mongabay mengatakan, fokus Save The Children adalah memberi ruang bagi anak-anak untuk mengekspresikan harapan, satu tema tentang krisis iklim.
“Krisis iklim di setiap wilayah berbeda-beda, kami membentuk Child Campaigner Yogyakarta, merupakan kumpulan anak-anak dan orang muda. Mereka yang mengidentifikasi isu. Dampak krisis iklim buat anak-anak kalau di Jogja seperti apa? Mereka kebanyakan tinggal di bantaran sungai, akhirnya isu yang mereka sorot tentang sungai.”
Lewat gerakan aksi bersih sungai mereka ingin menyebarkan pengetahuan tentang dampak krisis iklim buat anak-anak dari hal paling mudah.
Anak-anak yang dilibatkan berumur di bawah 18 tahun. Child Campaigner bagi mereka yang berumur 15-24 tahun. Mereka yang lebih 24 tahun disebut pendamping.
******