Mongabay.co.id

Kisah Warga Marunda, Meski Air PAM Mampet 6 Bulan Tapi Tetap Bayar

 

Sudah kesekian kali Sri Wulandari (30) bolak-balik mengambil air dari sumur masjid Al-Alam menuju ke rumahnya di Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, DKI Jakarta. Jarak tempat tinggal dia ke salah satu masjid tertua dan bersejarah di Indonesia itu terpaut hanya sepelemparan batu.

Meski begitu, ia nampak terengah-engah saat membawa dua ember berisi air yang rasanya sedikit asin tersebut.

Seperti tidak kuat menenteng beban, kedua ember yang dibawa itu sesekali ia letakkan ke tanah sebelum akhirnya diangkat lagi. Begitu sampai di dalam rumah yang berdinding setengah papan triplek, air berwarna agak kekuningan itu lalu dituangkan ke dalam mesin cuci pakaian.

“Badan rasanya capek banget. Pengen sekali air keran bisa hidup lagi,” keluh ibu satu anak ini sambil sesekali mengusap wajahnya yang beringat itu, Sabtu, 22 Oktober 2022.

Air keran yang dimaksud merupakan air bersih yang disalurkan perusahaan pengelola air Aetra Air Jakarta dan PAM Jaya. Sudah enam bulan lamanya air bersih itu tidak mengalir lancar seperti sebelum-sebelumnya, bahkan seringnya juga mati total.

Selama itu pula, untuk memenuhi salah satu kebutuhan pokok rumah tangga, Sri Wulandari setiap harinya harus rela meluangkan waktu untuk mengambil air dari masjid.

baca : Kesulitan Air Bersih, Pekerjaan Warga Penjaringan Jadi Terhambat

 

Sri Wulandari (30), warga Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, menuangkan air ke dalam mesin cuci. Air yang tidak bisa dikonsumsi tersebut diambil dari sumur masjid Al-Alam. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Bahkan dia bisa mengambil air tiga kali dalam sehari dengan waktu yang berbeda-beda, antara pagi, siang dan sore.

Akibatnya banyak pekerjaan lain menjadi terganggu. Bukan hanya untuk mencuci pakaian, siang itu, Sri juga sedang menimba air yang akan digunakan untuk membilas peralatan makan dan mandi.

“Susahnya lagi kan saya tidak punya penampungan air di rumah. Jadi ya harus mengambil air setiap hari. Belum lagi pas ngantri ngambil air bersih untuk masak,” terangnya.

 

Pekerjaan terganggu

Sulitnya untuk mendapatkan air bersih juga dirasakan warga lain, Khairiyah (50). Karena krisis air bersih itu perempuan paruh baya ini juga mengaku pekerjaanya menjadi terganggu. Waktu yang semestinya digunakan untuk berjualan tersita karena harus mengantri dan dibuat wira-wiri mengambil air dari sumur masjid.

Karena air sumur masjid tidak bisa dikonsumsi, untuk mendapatkan air yang bisa dimasak, ibu yang hari-harinya berjualan kopi ini mengaku, setiap dua hari sekali ia juga ikut antri ketika perusahaan pengelola air Aetra Air Jakarta dan PAM Jaya belakangan ini menyuplai air bersih ke warga.

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih di kampung tersebut, kedua perusahaan pengelola air itu menyuplai dengan menggunakan truk tangki. Selain di drop ke warga yang mengantri, air juga di drop ke dalam tong-tong drum terlebih dulu, sebelum kemudian air bersih itu diangkut ke rumah warga masing-masing.

Di rumah, Khairiyah menampung air yang diambilnya itu di dalam bak mandi dan jerigen-jerigen. Meskipun sudah ada bantuan air bersih dia merasa itu masih belum banyak membantu. Sebab, kebutuhan warga masih banyak yang belum tercukupi. Bahkan, mereka kerap berebut hingga ada yang tidak mendapatkan air sama sekali.

“Badan rasanya meriang terus jadinya. Lha gimana setiap hari ngambil air. Capek. Sudah begitu ninggalin pekerjaan. Waktu juga tersita banget, belum nanti ngantrinya. Kalau sudah capek ya males jualan,” ujar dia.

baca juga : Was-was Eksploitasi Air Tanah Berlebih

 

Warga mengambil air dari sumur masjid Al-Alam di Desa Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Sudah enam bulan lamanya warga merasakan kesulitan air bersih. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sebelum ada bantuan air bersih, untuk memasak Khairiyah harus membeli air bersih dengan harga per galonnya Rp5.000 ribu. Sedangkan dalam sebulan dia bisa menghabiskan kurang lebih 20 galon. Sehingga per bulan paling tidak dia harus mengeluarkan uang Rp100 ribu untuk air bersih.

Dengan penghasilan dari jualan yang tidak menentu, ia merasa sangat keberatan. Apalagi selain untuk mencukupi kebutuhan sehari-sehari, dia masih harus membayar air PAM meskipun kondisi airnya mampet.

Sementara itu, Usman (60), ketua RT 03, RW 04 setempat mengatakan, selama puluhan tahun tinggal di kawasan pesisir Jakarta, baru tahun ini warganya merasakan kesulitan air bersih. Dari 135 Kartu Keluarga (KK), yang sudah melapor sekitar 36 KK.

Usman heran, meski airnya mampet. warga masih disuruh membayar. Nominalnya beragam, antara Rp50.000 ribu hingga Rp200.000 ribu. Dia bilang, dulu sebelum menggunakan air PAM warga di kampung menggunakan sumur air bor.

“Kalau memang boleh sih sebenarnya enak dulu. Tapi sekarang ini oleh pemerintah tidak boleh buat sumur bor air, takut tanahnya ambles. Karena disini kan tanahnya labil. Selain itu, sebagian airnya rasanya sudah asin,” terang pria yang berprofesi sebagai satpam ini.

 

Bentuk Koperasi

Dibandingkan dengan daerah Jakarta lain, Jakarta Utara merupakan daerah yang paling banyak memiliki masalah terkait dengan penyediaan air bersih. Muhammad Reza Harahap, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KruHA) menilai, untuk mengatasi permasalahan tersebut sejauh ini kebijakan pemerintah dalam pengelolaan air masih buruk.

Selain itu, juga sarat dengan kepentingan politik. Padahal, sudah berkali-kali masyarakat melakukan gugatan terhadap krisis air bersih. Namun, tidak pernah diperhatikan. Karena apapun masalahnya, pertimbangan-pertimbangan investasi ekonomi selalu menang.

Menurut Reza, seharusnya masyarakat bukan hanya dianggap sebagai target konsumen untuk melayani perusahaan swasta. Namun, dilibatkan untuk mengurus airnya sendiri, apalagi sekarang ini banyak koperasi-koperasi warga.

“Daripada diserahkan ke swasta, mending dari PAM langsung kerjasama dengan komunitas Rukun Warga setempat. Pemerintah hanya perlu memastikan agar airnya itu sampai, untuk distribusi dan penagihan biar masyarakat yang ngurus,” ujarnya.

baca juga : Minim Partisipasi Publik, Warga Meragukan Proses Reprivatisasi Air

 

Drum berjejer di depan rumah warga Marunda, Cilincing, Jakarta Utara . Wadah tersebut digunakan warga untu menampung k air bersih dari truk tangki yang disalurkan pemerintah dan perusahaan pengelola air. Foto : Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Reza berpandangan, kalau memang pelayanan publik gagal dijalankan oleh Pemerintah Daerah melalui banyaknya instansi yang mengurus air, baik Dinas Sumber Daya Air, PAM maupun Instalasi Pengelolaan Air itu harusnya dibekukan saja, atau dilebur menjadi satu. Setelah itu libatkan masyarakat dalam mengelola air secara mandiri dengan membentuk koperasi. Pemerintah hanya perlu melakukan pengawasan.

“Sehingga proses-proses penentuan strategi, prioritas kebijakan, prioritas layanan itu lebih terbuka. Bahkan dalam konteks ekonomi itu warga bisa terlibat,” terang Reza.

Mongabay berupaya meminta tanggapan ke kantor PAM Jaya di Jalan Penjernihan II, Pejompongan, Jakarta Pusat pada, Kamis, 27 Oktober 2022. Seorang petugas penjaga mengatakan pihak humas akan menghubungi lewat telfon. Namun, hingga berita ini ditulis pihak PAM Jaya masih belum juga mengontak.

 

Program Air Bersih

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sendiri terus menjalankan program pengembangan dan pengelolaan air bersih untuk memberikan pelayanan air bersih kepada warganya. Pemprov DKI menugaskan BUMD PAM Jaya untuk melaksanakan program air bersih di Kampung Prioritas.

Gubernur Provinsi DKI Jakarta Anies Baswedan memastikan kebijakan dan ketersediaan air bersih di Ibu Kota. “Kita tahu air bersih ini merupakan hak dasar warga. Manfaat mengenai program pengembangan dan pengelolaan air bersih adalah untuk memastikan pelayanan air perpipaan dapat merata. Sebab, air adalah syarat terjadinya keadilan sosial,” jelas Anies seperti dikutip dari okezone.com, Rabu 21 September 2022.

Pada 2022, PAM Jaya telah melayani air bersih di Kampung Prioritas, yakni Tanah Merah, Kampung Guji Baru, Kampung Sekretaris, Kampung Rawa Timur, Kampung Kerang Ijo, Blok Empang, dan Kampung Enceng.

“Pemilihan ketujuh lokasi itu telah sesuai dengan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 878 Tahun 2018 tentang Gugus Tugas Pelaksanaan Penataan Kampung dan Masyarakat. Tahun 2022, PAM Jaya telah melaksanakan pelayanan air bersih di Kampung Prioritas,” tutur Direktur Utama PAM Jaya, Arief Nasrudin.

baca juga : Warga Jakarta Dicap ‘Wilayah Abu-abu’ Sulit Akses Air Bersih

 

Pekerja tengah menggali tanah untuk memperbaiki jaringan pipa air di Jakarta Utara. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Selain memasang pipa, Pemprov DKI Jakarta juga menyediakan air bersih untuk warga dengan program kios air bersih. Ide kios air ini bermula dari keprihatinan Pemprov DKI terhadap keluhan warga yang merasa kesulitan mendapatkan air bersih bagi kebutuhan hidup sehari-hari

Pemprov DKI menugaskan PAM Jaya untuk melaksanakan program yang telah dikembangkan sejak 2019 ini. Pada rentang waktu 2019-2020, sebanyak 102 kios air telah dibangun. Tersebar di wilayah-wilayah yang belum dilalui akses perpipaan di Jakarta Utara dan Jakarta Barat.

“Tahun ini progres kios air bersih dilaksanakan secara bertahap. Tahap I, sebanyak 35 kios air siap dibangun. Tahap II, sebanyak 35 kios air sedang dalam proses lelang. Tahap III, masih dalam proses pencarian lokasi kios air. Saat ini, sudah terdapat 12 lokasi yang dipastikan akan segera dibangun,” jelas Arief.

Sedangkan dalam siaran Pers PPID DKI Jakarta, Sabtu, 8 Oktober 2022, disebutkan Jakarta tercatat telah memiliki 150 Kios Air yang tersebar di 5 kecamatan dengan permukiman padat, yakni Penjaringan, Pademangan, Cilincing (Jakarta Utara) serta Kalideres dan Cengkareng (Jakarta Barat).

Untuk cakupan pelayanan air bersih di Jakarta mencapai 65,3% di tahun 2021. Tahun 2022, diprediksi cakupannya sebesar 65,77% dengan 25.000 sambungan rumah.

 

Exit mobile version