Mongabay.co.id

Diplomasi Mangrove Jokowi di KTT G20 dikritik LSM Lingkungan

 

Pada hari kedua rangkaian kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, Presiden Joko Widodo mengajak para pemimpin negara G20 dan lembaga internasional mengunjungi Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Provinsi Bali, Rabu (16/11/2022).

Di Tahura itu, Presiden Jokowi mengajak para pemimpin G20 berkeliling melihat spesies mangrove dan melakukan penanaman bibit mangrove.

Jokowi menjelaskan Tahura Ngurah Rai merupakan sebuah contoh kesuksesan restorasi ekosistem mangrove yang dilakukan pemerintah Indonesia. Kawasan seluas 1.300 hektare tersebut sebelumnya merupakan area tambak ikan yang terabrasi, namun kini sudah berhasil berubah menjadi rumah bagi 33 spesies tumbuhan mangrove dan 300 fauna.

“Sebagai negara pemilik hutan mangrove yang terluas di dunia yaitu 3,3 juta hektare, Indonesia ingin berkontribusi kepada perubahan iklim, terhadap perubahan iklim. Oleh sebab itu, tadi saya sampaikan Indonesia mengajak negara anggota G20 untuk berkolaborasi, bekerja sama dalam sebuah aksi nyata untuk pembangunan hijau, pembangunan ekonomi hijau yang inklusif,” ujar Presiden dalam keterangannya usai kegiatan seperti dikutip dari laman Sekretariat Kabinet, Sabtu 19 November 2022.

Presiden Jokowi menyebut bahwa pemerintah Indonesia akan menambah hutan mangrove serupa di 33 lokasi pada tahun 2023 mendatang.

baca : Menguji Keseriusan Wacana Showcase Mangrove Bali di G20

 

Presiden Joko Widodo dan para pemimpin negara G20 dan lembaga internasional mengunjungi dan melakukan penanaman bibit mangrove di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Bali. Foto : BPMI Setpres

 

Para pemimpin negara-negara G20 pun mengapresiasi apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam transisi energi hijau dan mengatasi perubahan iklim. “Saya kira itu yang menginspirasi para pemimpin hal-hal yang konkret yang dilakukan baik dalam transisi energi hijau maupun dalam ekonomi hijau terhadap perubahan iklim,” ucap Jokowi.

Sebelumnya, pemerintah pusat dibantu Pemprov Bali melakukan revitalisasi Tahura Ngurah Rai menyongsong KTT G20. Revitalisasi dilakukan pada area pintu masuk, monumen G20, area plaza, beji, wantilan, jalur tracking mangrove, area persemaian, area penerima tamu/lobby, menara pandang, viewing deck ke arah Teluk Benoa, dan area parkir di sekitar Waduk Muara berkapasitas 240 mobil.

Revitalisasi Tahura Ngurah Rai dikerjakan oleh Adhi Karya yang menghabiskan dana hingga Rp 506,9 miliar.

 

Permasalahan Mangrove Indonesia

Walhi mengkritisi kebijakan Pemerintah Indonesia dalam pemulihan ekosistem mangrove.

Walhi mengutip data FAO dalam dokumen The World’s Mangroves 1980-2005 yang terbit pada 2007, bahwa terjadi penurunan luasan hutan mangrove Indonesia yang sangat signifikan sejak tahun 1980

“Tahun 1980 luasan mangrove tercatat seluas 4.200.000 ha. Lalu pada tahun 1990 menurun menjadi 3.500.000 ha, ada penurunan seluas 70.000 ha. Lalu pada tahun 2000 tercatat luasanya hanya 3.150.000. Dari 1990 ke 2000 telah hilang seluas 35.000 hektar. Lalu pada tahun 2005 tercatat hanya 2.900.000 hektar. Dari tahun 2000 ke 2005 telah hilang seluas 50.000 ha. Jadi dalam rentang waktu 1980-2005 telah hilang hutan mangrove seluas 1.300.000 hektar,” kata Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI dalam keterangan tertulis pada Jumat, 17 November 2022.

Sedangkan berdasarkan data BPS dalam dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2020, disebutkan total luasan hutan mangrove tercatat seluas 2.515.943,31 hektar. Walhi melihat dari dua data ini menggambarkan kondisi mangrove di Indonesia dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.

baca juga : Harapan Penyelamatan Mangrove Ditengah Ancaman Tenggelamnya Pesisir Pantura

 

Kondisi alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak di Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jabar.
Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, terdapat berbagai permasalahan yang memperparah kondisi ekosistem hutan mangrove di Indonesia. WALHI mencatat pada tahun 2022, terdapat Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dalam kawasan hutan mangrove seluas 48.456,62 hektar.

Kedua, rehabilitasi mangrove yang didorong oleh pemerintah bertabrakan dengan rencana pemerintah sendiri yang akan melanjutkan proyek reklamasi di berbagai wilayah di Indonesia. WALHI mencatat (2022), proyek reklamasi di Indonesia yang eksisting seluas 79.348 hektar dan akan terus dibangun seluas 2.698.734,04 hektar. Luasan tersebut berdasarkan data yang tercatat dalam dokumen Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di 22 provinsi di Indonesia. Hutan mangrove di berbagai wilayah pesisir di Indonesia hancur dan rusak oleh proyek reklamasi.

Ketiga, di dalam 28 dokumen Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, hanya sepuluh provinsi di Indonesia yang mengalokasikan ruang perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove. Totalnya tercatat seluas 26.924,27 hektar. Sisanya, 18 provinsi di Indonesia tidak mengalokasikan ruang perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove di dalam Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Fakta ini menunjukkan perlindungan mangrove di Indonesia hanya narasi indah di atas kertas.

Keempat, Pemerintah Indonesia menargetkan produksi perikanan budidaya, sebanyak 22.65 juta ton pada tahun 2024. Khusus untuk komoditas udang sebagai komoditas ekspor unggulan, Pemerintah akan menaikkan target produksinya sebanyak 1.520.836 ton pada tahun 2024 dari produksi tahun 2020 sebanyak 1.208.433 ton. Selain itu, Pemerintah Indonesia menargetkan terbangunnya sentra produksi perikanan budidaya sebanyak 50 kawasan. Padahal, tahun 2020 tercatat hanya 10 sentra kawasan.

Kelima, Pemerintah telah menerbitkan UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada akhir tahun 2020 lalu. Pasal 5 UU Cipta Kerja yang mengatur tentang panas bumi melegalkan tambang panas bumi di wilayah perairan akan menghancurkan hutan mangrove di Indonesia.

Keenam, pembangunan infrastruktur yang massif seperti Pelabuhan skala besar sebagaimana di Semarang, Jakarta, dan kota-kota lain ikut mendorong kerusakan dan penurunan luasan mangrove.

baca juga : Hutan Mangrove Berkurang, Laut Pun Tercemar Pertambangan. Apa yang Harus Dilakukan?

 

Aktivitas pengurugan di Teluk Benoa, Bali pada tahun 2019 mengakibatkan mangrove mati. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

“Berdasarkan data Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2020 total luasan hutan mangrove tercatat seluas 2.515.943,31 hektar. Dari angka tersebut, hanya 31,34 persen hutan mangrove dalam kondisi baik. Sisanya, 15,64 persen berada dalam kondisi sedang, dan 13,92 dalam kondisi rusak. Dengan kata lain, luasan mangrove yang baik hanya seluas 788.496 ha,” kata Parid.

Terkait target rehabilitasi mangrove seluas 600 ribu hektar sampai dengan tahun 2024, ungkapnya, data Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) pada Januari 2022 menyebut, capaian tahun pertama di 2021 hanya tercatat seluas 29.500 hektar di sembilan provinsi yang menjadi lokasi prioritas, serta 3.500 hektar di lokasi tambahan pada 23 provinsi.

“Dengan demikian, total luasan pada tahun 2021 tercatat hanya 33.000 hektar mangrove yang baru direhabilitasi. Luasan ini baru 5,5 persen keseluruhan target rehabilitasi mangrove sampai dengan tahun 2024. Artinya, 5,5 persen di tahun pertama sangat kecil. Butuh akselerasi 5 kali lipat untuk mencapai target ambisius tersebut. Apalagi luasan mangrove yang baik hanya 788.496 ha,” jelas Parid.

Pada saat bersaman, Pemerintah Indonesia harus berkomitmen untuk mengevaluasi berbagai proyek yang telah dan akan merusak mangrove di Indonesia. Apa saja?

“Ada proyek reklamasi, infrastruktur, pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil. Itu diantaranya. Tak hanya itu, Pemerintah Indonesia harus berani merevisi sejumlah Peraturan perundangan karena akan menghambat rehabilitasi mangrove. Ada dua yang penting saya sebut, yaitu UU Cipta Kerja dan UU Minerba. Kedua UU, dalam pasal-pasalnya melegalkan perusakan mangrove untuk pembangunan PSN,” lanjut Parid.

baca juga : BRGM: Rehabilitasi Mangrove Bukan Pekerjaan Mudah

 

Proyek reklamasi dalam beberapa tahun terakhir merusak eksosistem pesisir. Tak ada lagi kawasan mangrove dan komunitas nelayan, tergantikan oleh proyek betonisasi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Walhi menilai, degradasi mangrove ini berkelindan antara krisis lingkungan akibat pilihan pembangunan dengan dampak krisis iklim yang semakin parah.

Menurut Parid, Pemerintah tidak memberikan tugas penting kepada Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) untuk mengevaluasi konsesi atau izin-izin usaha, khususnya di wilayah mangrove. Hal itu berbeda dengan saat masih bernama BRG, dimana lembaga ini bisa mengevaluasi dan memantau izin-izin usaha di kawasan gambut.

Kewenangan pengelolaan mangrove ini, katanya, harus jelas siapa leading sector-nya. Terlalu banyak lembaga negara yang mengurus menjadikan mangrove justru tidak terurus.

 

Exit mobile version