Mongabay.co.id

Mengapa Negara Sulit Kembalikan Lahan Masyarakat Adat Pantai Raja yang Berkonflik dengan PTPN V?

 

 

 

 

 

Lebih setahun, kesepakatan pengembalian lahan antara PT Perkebunan Nusantara (PTPN V) dengan Masyarakat Adat Pantai Raja, Kampar, Riau, mengendap tanpa realisasi. Mediasi yang difasilitasi Komisi II DPRD Riau, waktu itu, memerintahkan perusahaan perkebunan negara ini mengganti lahan dengan membangun 400 hektar kebun sawit lewat skema kredit koperasi primer anggota (KKPA).

Sistemnya, lewat penyerahan bertahap, mulai 150 hektar terlebih dahulu. Sisanya, setelah disetujui pemegang saham. Alokasi lahan diambil dari sisa pelepasan kawasan hutan milik PTPN V seluas 21.994 hektar. Atau dengan mengurangi lahan inti perusahaan. Keputusan ini juga diperkuat, ketika sengketa lahan tiga generasi ini sampai ke meja Gubernur Riau, Syamsuar.

Tak kunjung mendapat kejelasan, masyarakat adat berangkat ke ibu kota negara, Jakarta, penghujung Oktober lalu. Mereka iuran satu kampung. Mendanai perjalanan lebih kurang 50 orang, laki-laki dan perempuan. Kebanyakan berumur 50 tahun ke atas. Beberapa sudah lanjut usia. Mereka naik bus dari Pekanbaru ke Jakarta, tiga hari dua malam.

“Ayah dan ibunda kami berjuang. Sampai sekarang titiknya (penerusnya) pada kami. Akan kami perjuangkan hak-hak orangtua yang telah dirampas PTPN V. Demi masa depan anak dan cucu. Agar kami juga merasakan sebagai rakyat Indonesia dilindungi negara,” kata Khairud Zaman, Kepala Desa Pantai Raja.

Didampingi Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Jakarta, mereka menyambangi Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, 24 Oktober lalu. Diawali unjuk rasa, Menteri Hadi Tjahjanto didampingi wakilnya, Raja Juli Antoni, menerima dua perwakilan masuk dan mendengar cerita mereka.

Audiensi itu tak serta merta memberi kepastian, hak masyarakat atas lahan akan kembali. Seperti sebelumnya, ujung dari pembicaraan masih berupa janji penyelesaian konflik.

 

Baca juga: Kala DPRD Riau Bahas Kasus Lahan Masyarakat Pantai Raja

Para perempuan adat Pantai raja, kala aksi menuntut pengembalian lahan mereka di Jakarta. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Menteri Hadi bilang, Kementerian ATR/BPN tidak bisa ujug-ujug langsung mengeksekusi areal sengketa karena masalah ini melibatkan kementerian lain.

Dia sebutkan, ada Kementerian Badan Usaha Milik Negera (BUMN) karena menyangkut aset negara. Kemudian, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi karena pembukaan kebun sawit oleh PTPN V, saat itu, dibarengi program perkebunan inti rakyat bagi masyarakat transmigrasi dan setempat. Kebun karet Masyarakat Adat Pantai Raja yang tergusur termasuk di dalamnya.

Hari berikutnya, Masyarakat Adat Pantai Raja mendatangi Kantor Staf Presiden (KSP). Kali ini diterima Asisten Bidang Pembangunan Manusia dan beberapa tim agraria. Mereka beritahu sedang menangani 223 konflik lahan melibatkan PTPN.

Senada Menteri Hadi, KSP menyinggung Permen BUMN N0 2/2010 tentang tata cara penghapusbukuan dan pemindahtanganan aktiva tetap BUMN yang jadi sandungan penyelesaian konflik perkebunan dalam tubuh perusahaan negara.

Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari mengatakan, dalam peraturan itu tidak menyebut hak guna usaha (HGU) sebagai aktiva perusahaan di bawah naungan BUMN. HGU bukanlah hak milik, melainkan hak pakai yang diberi jangka waktu dan tidak melekat selamanya. Dengan kata lain, kewenangan ini mestinya tetap menjadi tanggungjawab kementerian yang mengurus masalah pertanahan.

“Aktiva itu aset yang dimiliki BUMN. Sedangkan HGU itu sesuatu yang berbeda. Harusnya, HGU itu tidak bisa diklaim milik BUMN. Ia tetap milik negara yang diberi hak penguasaan. Merujuknya ke UU Perkebunan. Bahwa hak milik atas tanah itu maksimal hanya 25 hektar. Kalau di atas itu harus memperoleh izin dalam bentuk hak guna,” katanya.

Ada tiga skema penyelesaian konflik agraria di lahan PTPN yang dirumuskan KSP yakni, memberikan hibah dengan mengurangi penyertaan modal, beri hak pakai di atas HGU atau menetapkan obyek tanah terlantar bagi HGU tidak aktif. Opsi terakhir ini juga akan didistribusikan ke masyarakat yang terlibat konflik.

Bukan kali pertama kali Masyarakat Adat Pantai Raja bersua dengan KSP. Satu bulan pasca kesepakatan di DPRD Riau, lembaga non struktural yang bertanggungjawab langsung pada Presiden Joko Widodo, itu sudah merespon derita masyarakat adat lewat pranala zoom meeting. Pertemuan virtual ini dipimpin langsung oleh Staf Deputi II Bidang Pembangunan Manusia, Sahat M Lumbanraja bersama Bidang Komunikasi, Surahmat.

Kesimpulan diskusi, saat itu, KSP tidak akan mengintervensi peradilan termasuk eksekusi terhadap lahan atau areal yang disengketakan. Menyangkut kriminalisasi PTPN V terhadap belasan masyarakat adat, KSP janji surati Polda Riau. Selanjutnya, tetap jadi jembatan aspirasi dalam penyelesaian masalah ini.

 

Baca juga: Konflik Lahan Masyarakat Adat Pantai Raja vs PTPN V Tak Kunjung Usai

Masyarakat Adat Pantai Raja, menuntut pengembalian lahan mereka di kementerian di Jakarta, akhir Oktober lalu. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Abetnego Tarigan, Deputi Bidang Pembangunan Manusia KSP menemui masyarakat adat di aula Desa Pantai Raja, Kecamatan Perhentian Raja, Kampar, Riau. Tanggapannya, waktu itu, juga normatif akan mempelajari ulang kesepakatan-kesepakatan lewat mediasi yang pernah difasilitasi lembaga-lembaga pemerintah sebelumnya.

“Kebun karet kami dirampas. Tanpa ganti rugi. Kami dikatakan mafia tanah. Justru mafia tanah itu adalah PTPN V. Dari tahun 1984, 1999 dan 2019, kami dijanji-janjikan, diimingi-imingi akan diselesaikan permasalahan ini,” kata Gusdianto, perwakilan masyarakat sekaligus kuasa hukum.

Puncak konflik sengketa lahan antara Masyarakat Adat Pantai Raja melawan PTPN V terjadi pada Agustus 2020. Muak terus terabaikan, mereka menduduki lahan Afdeling I, Kebun Sei Pagar, selama 23 hari. Imbasnya perusahaan kebun sawit negara ini menggugat 14 orang dari ratusan yang turut serta dalam aksi agar bayar ganti rugi Rp15 miliar.

Mulai Pengadilan Negeri Bangkinang sampai Mahkamah Agung, memenangkan gugatan PTPN V. Untungnya, hanya sebagian yang diterima. Tidak termasuk bayar ganti rugi yang tak mungkin sanggup dipenuhi masyarakat. Intinya, majelis hakim sekadar mempertegas PTPN V adalah pemegang izin lahan sah.

PTPN V juga melaporkan belasan warga adat ke Polda Riau dengan tuduhan melanggar UU Perkebunan gara-gara pendudukan lahan itu. Beberapa diantaranya sudah beberapa kali dipanggil dan pemeriksaan sebagai saksi.

Meski begitu, semangat juang masyarakat adat Pantai Raja merebut kembali lahan warisan orangtuanya tak pernah berhenti. Mediasi sana-sini. Kirim surat ke mana-mana. Buat siaran pers. Sampai akhirnya datang ke Jakarta dengan perasaan bercampur aduk karena masih memikirkan keluarga yang tinggal di kampung.

 

Baca juga: Kasus Lahan dengan PTPN V, Masyarakat Adat Pantai Raja Menanti Keadilan

Aksi warga menduduki lahan bersengketa. Foto: dokumen warga

 

Mereka juga berupaya melawat ke Kementerian BUMN, pimpinan Erick Thohir hari terakhir di ibu kota. Hanya, mereka sempat tak diizinkan masuk hingga harus berorasi sekitar satu jam di depan gerbang yang ‘dibentengi’ polisi.

“Kami minta sama yang bersangkutan, Pak Menteri Erick Thohir dan Pak Jokowi. Kembalikan tanah kami.”

Kami ini orang bodoh. Gak sekolah. Saya saja tak tamat SD gara-gara tanah dan lahan kami diambil PTPN V itu. Saya ke sini tinggalkan anak dan keluarga di rumah. Minta tolong bagi yang punya hati nurani. Untuk apa punya jabatan tinggi kalau tidak bisa membantu masyarakat?” kata Risdwati, perempuan adat Pantai Raja, yang duduk di gelaran spanduk, depan gerbang KBUMN.

Serupa diutarakan Dini Tia Kartika. “Saya datang ke sini bukan sebagai saksi hidup. Bukan sebagai yang berpeluh keringat di kebun yang dirampas PTPN V. Saya generasi ketiga. Justru kakek nenek saya berjuang mati-matian di situ (kebun karet) untuk sekolahkan anak-anaknya.”

“Ibu saya tak dapat sampai di sini karena sakit, izinkan saya ikut berusaha menyampaikan keluhan Masyarakat Pantai Raja agar didengar Menteri BUMN dan segera menghentikan kriminalisasi oleh PTPN V di desa kami,” kata Dini.

Dia bilang ke Jakarta, hanya ingin menuntut hak Masyarakat Adat Pantai Raja. “Kami tidak anarkis. Di mana hati nurani Pak Erick Thohir? Kami minta keadilan. Mudah-mudahan kedatangan kami dengan susah payah dan sakit-sakitan, membuat petinggi negara ini terbuka hatinya,” pinta Nurhanida pula.

Gusdianto pun menyinggung slogan AKHLAK (Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif dan Kolaboratif) yang didengungkan Erick Thohir sebagai nilai inti dalam BUMN.

“BUMN PTPN V itu rakus. Apakah itu yang namanya berakhlak? Katanya bekerja pakai hati. Apakah perampasan (lahan) itu pakai hati?” teriak Gusdianto.

Setelah orasi dan negosiasi alot, hanya lima orang diizinkan mewakili masuk dalam gedung. Perundingan tertutup itu tak sampai satu jam. Responnya lagi-lagi hanya berupa janji. Kepala Humas BUMN, Faturohman dan Asisten Deputi Perkebunan BUMN, Rahman Fery, lagi-lagi akan mengecek terlebih dahulu pelbagai kesepakatan yang sudah ada serta koordinasi dengan PTPN III, holding PTPN V.

Okto mengatakan, janji-janji Kementerian ATR/BPN, KSP dan KBUMN harus terus ditagih. Selama safari di Jakarta, Okto menangkap masing-masing memang tengah proses penyelesaian konflik agraria yang menumpuk. Namun tidak memungkiri, perjuangan pengembalian 150 hektar lahan Masyarakat Adat Pantai Raja sepertinya masih panjang.

 

Tuntutan Masyarakat Adat Pantai Raja saat aksi di Jakarta, akhir Oktober lalu. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Mengapa sulit?

Konflik lahan antara Masyarakat Adat Pantai Raja dengan PTPN V mulai 1984. Pemerintah orde baru hendak membangun proyek perkebunan inti rakyat (PIR) berupa sawit. Dari 21.994 hektar yang dialokasikan, hanya terlaksana 8.856,841 hektar.

Belakangan, 6.000 hektar terbagi untuk transmigrasi dan lokal yang disebut PIR Trans dan PIR Khusus dengan masing-masing dapat dua hektar. Sisanya, 2.856,841 hektar jadi HGU PTPN V.

Masalahnya, tidak semua masyarakat lokal setuju dengan pembangunan kebun sawit skala besar. Selain tidak mengenal tanaman itu, proses dan cara juga serampangan. Masyarakat tidak dapat informasi terlebih dahulu.

Kebun karet mereka tiba-tiba tergusur. Pagi masih disadap getahnya, malam pohon sudah tumbang. Masyarakat melawan alat berat dengan tangan kosong. Berhadapan pula dengan aparat keamanan.

Singkat cerita, setelah mediasi dan ragam upaya panjang merebut lahan, pada 6 April 1999, PTPN V menyatakan secara tertulis, kalau 150 hektar dari 1.013 hektar bekas kebun karet masyarakat memang berada dalam kebun inti. Inilah yang dituntut dari generasi ke genarasi oleh Masyarakat Adat Pantai Raja hingga sekarang.

Sebelas Bupati Kampar dan enam Gubernur Riau ternyata tak mampu menyelesaikan masalah ini, atau mengembalikan sumber kehidupan masyarakat yang terrampas itu.

Eko Cahyono, peneliti Sajogyo Institute, menyatakan pandangan mengenai konflik Masyarakat Adat Pantai Raja dengan PTPN V ini. Dia lihat dari sisi historis, konflik ini bagian dari endapan residu kebijakan masa lalu, mulai dengan kekuatan politik penuh yang dilapisi militer.

Berarti, ada satu kebijakan sepihak negara tanpa persetujuan atau pelibatan dari masyarakat secara sungguh-sungguh. Dalam bahasa lain, izin-izin konsesi lahir era orde baru itu legal tetapi tidak mendapatkan legitimasi dari rakyat, atau terpaksa dilegitimasi.

“Hampir tidak ditemui reaksi balik atau perlawanan cukup menolak izin-izin itu. Itulah akar, mengapa kemudian di era reformasi sekarang, mulai muncul upaya reaksi balik terhadap izin-izin itu,” ujar Eko.

Eko juga melihat, rezim saat ini tidak jauh berbeda dari era sebelumnya. Penguasa republik, partai politik dan wajah-wajah elit hampir tak ada yang baru. Hanya berganti zaman. Sementara masyarakat sangat berharap perubahan mendasar dalam konteks kebijakan pembangunan, khusus agraria atau sumber daya alam di Indonesia. Hakikatnya, tak banyak berubah secara mendasar. Hanya sedikit di hilir tetapi watak dasarnya tidak karena masih meletakkan alam sebagai komoditas.

Eko menyinggung fakta lebih separuh politikus di Senayan (DPR) juga pebisinis. Mereka punya perusahaan-perusahaan berbasis sumber daya alam. Lahirnya, UU Cipta Kerja menunjukkan oligarki ada di eksekutif dan legislatif. Dalam konteks agraria, UU ini dianggap sebagai satu induk masalah penting.

Kalau tidak dicabut, percepatan pembangunan dalam bentuk apapun yang bersandar padanya akan menciptakan konflik makin tinggi di lapangan.

Puluhan warga adat pantai Raja mendatangi kementerian di Jakarta, menuntut pengembalian lahan mereka yang berkonflik dengan PTPN. Konflik sudah puluhan tahun, mengapa penyelesaian begitu sulit? Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Kemudian, kata Eko, ada pengaruh state capture corruption. Negara tersandera kelompok koruptor yang menghambat kebijakan yang berkeadilan dan berprikemanusiaan. Mereka sejak awal mengongkosi biaya politik para pejabat untuk dapat kompensasi berupa kemudahan izin dan konsesi.

“Dengan semua dasar itu: rezim tidak berubah, politik nasional, watak kebijakan dan oligarki, kita mendapati di lapangan, konflik agraria adalah akibat dari kebijakan yang makin tidak pro rakyat atau kontra keadilan.”

Faktor itu berdampak pada lambannya penyelesaian konflik. Eko bilang, solusinya hanya sampai pada level sebab padahal akar masalah adalah paradigma kebijakan agraria, tak memiliki kelembagaan kokoh dan sektoralisme. Juga, tidak sampai mengoreksi faktor pelestari konflik, seperti pelibatan TNI dan Polri dalam korporasi.

“Ketika satu proyek disebut obyek strategis nasional atau obyek vital negara, artinya satu perusahaan boleh minta tolong TNI dan Polri untuk menjaga korporasi mereka. Aturan ini melestarikan konflik terus menerus. Gak heran, kalau penyelesaian konflik agraria itu sifatnya tambal sulam dan karikatif,” ucap Eko.

Dia menduga, negara masih merasa memiliki tanah dan sumber agraria. Padahal, dalam Pasal 33 UUD 1945, tugas negara hanya memfasilitasi dan koordinasi untuk kemakmuran rakyat.

Disinggung mengenai rancangan Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria (PPRA), Eko mengkiritiknya karena berlandaskan UU Cipta Kerja.

“Ironi. Satu aturan diharapkan menyelesaikan konflik, tapi saat yang sama rujukan hukum justru melatarbelakangi dan melegitimasi konflik-konflik agraria itu. Ada konflik interen. Dari situ saja sudah kita ragukan. Ke mana Ranperpres (Agraria) akan di bawa?”

Eko belum meyakini Ranperpres Agraria akan jadi peluang baik. Meski berisi penyelesaian konflik agraria, tetapi pasca ada UU Cipta Kerja akan menimbulkan tumpang tindih dan berbenturan dalam menjalankannya.

Dia sebutkan, pemberian izin konsesi 90 tahun, bank tanah, penghilangan kewajiban analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) serta keistimewaan proyek strategis nasional.

“Reforma agraria ingin selesaikan konflik, sementara UU Cipta Kerja wataknya mendorong gelombang tsunami investasi. Penyebab konflik agraria adalah akibat meningkatnya investasi skala besar dan luas yang kontra dengan keadilan,” kata Eko.

Untuk itu, katanya kebijakan Agraria harus selaras atau langsung merujuk UUD 1945 dan UU Pokok Agraria.

Masalah yang dialami Masyarakat Adat Pantai Raja, katanya, karena negara tak hormat pada pluralisme hukum. Kebijakan agraria ditafsir dengan kekuasaan bukan kerakyatan. “Masyarakat hanya minta 150 hektar. Apa salahnya itu dikasih? Ketika rakyat butuh tanah untuk kehidupannya, negara ada di mana? Negara melayani rakyat atau korporasi? Posisi negara dipertanyakan!”

 

 

 

********

Exit mobile version