Mongabay.co.id

Kopi Arabika dan Kelestarian Hutan Batang Toru

 

 

Sipirok dan Marancar merupakan dua kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara, yang sejak lama dikenal sebagai penghasil kopi arabika.

Abdul Wahid, petani kopi di Marancar, telah memanen kopi dengan hasil sangat baik. Dari hasil kebunnya, dia membuka warung kopi di pinggir jalan Kecamatan Batang Toru – Sipirok.

“Saya belajar menanam dan merawat kopi dari petani kopi arabika di Bener Meriah, Provinsi Aceh. Saya melihat masyarakat di Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues, sejahtera karena mutiara hitam ini,” ujar lelaki yang mulai fokus berkebun kopi sejak 2015.

Sipirok dan Marancar kontur alamnya tidak jauh berbeda dengan Aceh Tengah. Sama-sama di dataran tinggi dan cuacanya dingin.

“Sekarang saya buka warung kopi di kebun. Bahkan saya dan keluarga tinggal di kebun,” ungkap pemilik Tyyana Coffee itu.

Wahid juga mulai memberikan pendampingan kepada petani kopi di Tapanuli Selatan.

“Menanam kopi itu butuh kerja keras. Setelah ditanam, harus dipupuk dan dirawat. Jika cabang muda tidak dipangkas, buahnya tidak akan banyak,” katanya, baru-baru ini.

Baca: Perubahan Iklim Ancam Masa Depan Kopi Indonesia

 

Petani kopi di Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara, tampak merawat tanamannya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Anton Harahap, warga Sipirok mengatakan, dulunya masyarakat menanam kopi secara tradisional. Tanpa perawatan khusus.

“Hasil panen tidak maksimal,” ungkapnya, Senin [21/11/2022].

Anton yang membuka warung kopi dan juga menjual biji kopi dari Marancar dan Sipirok menambahkan, petani kopi di dua kecamatan ini mulai meningkat perekonomiannya

“Lapangan pekerjaan dari kopi terbuka, ini terlihat dengan hadirnya coffee shop yang menjual kopi arabika di Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan, dan daerah lain di Sumatera Utara,” tambahnya.

Baca: Petani Kopi Itu Penjaga Lingkungan dan Intelektualitas

 

Sipirok dan Marancar merupakan dua kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan yang dikenal sebagai penghasil kopi arabika. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Meski begitu, ada kekhawatiran dari Rahmat, petani kopi di Sipirok, yang menjadikan kopi sebagai andalan kehidupannya. Hutan di Tapanuli Selatan, khususnya Batangtoru yang mulai terancam akibat adanya perambahan, pertambangan emas, hingga pembangunan pembangkit listrik tenaga air [PLTA] akan berdampak pada tanaman kopi.

“Saya khawatir, bila hutan rusak dan cuaca mulai panas, akan berpengaruh pada mutu biji kopi,” ujarnya.

Hutan Batang Toru yang dalam bahasa Batak disebut Harangan Batang Toru terbentang di Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah. Luasnya yang mencapai 133.841 hektar, terbagi menjadi dua blok yaitu blok barat [78.891 hektar] dan blok timur [54.950 hektar].

Baca: Kopi Indonesia, Bukan Hanya untuk Dunia tapi juga Benteng Konservasi

 

Kopi arabika akan terganggu mutunya jika ekosistem lingkungan rusak. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kopi butuh hutan

Zainuddin, petani kopi di Kabupaten Bener Meriah, mengatakan, kopi sangat butuh hutan. Ketika hutan rusak, suhu naik, akan berdampak pada kopi.

“Yang terancam bukan hanya cita rasa, tapi juga batang dan buah kopi akan diserang hama.”

Menurut Zainuddin, jika petani kopi di Tapanuli Selatan ingin menjaga mutu kopi, maka hutan yang ada harus dilindungi juga dari kerusakan.

“Ancaman terbesar kopi di Indonesia adalah perubahan iklim karena tutupan hutan berkurang. Kondisi ini mulai dialami petani kopi di dataran tinggi Aceh,” ungkapnya.

Baca: Rusaknya Hutan Berdampak pada Kualitas Kopi Arabika Gayo

 

Hutan Batang Toru yang asri. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dedi Ikhwani, alumni Prodi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala [Unsyiah] Banda Aceh, yang juga pemilik Deputroe Coffee mengatakan, perubahan suhu, tekanan udara, angin, curah hujan, dan kelembaban sangat berpengaruh pada kopi.

“Kopi semakin mudah terserang hama, khususnya hama penggerek buah dan penggerek batang. Selain itu, perubahan cuaca menyebabkan bunga kopi layu. Masa panen yang semakin singkat mengakibatkan beban panen meningkat, sehingga terjadi penundaan pengupasan kulit buah, serta over-fermented yang menyebabkan mutu turun,” terangnya.

Baca: Penelitian: Pencemaran Logam Berat Berkurang dengan Ampas Kopi

 

Hutan Batang Toru yang memiliki keragaman hayati. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dedi menambahkan, anomali curah hujan akan menghambat pertumbuhan fase vegetatif dan generatif.

“Tanaman sangat membutuhkan air untuk proses fotosintesis yang diangkut melalui jaringan xilem. Tiga komponen fotosintesis berupa air, karbondioksida, dan cahaya matahari melakukan pemasakan makanan pada daun untuk menghasilkan karbohidrat yang disalurkan ke seluruh bagian tanaman melalui pembuluh floem,” ungkapnya.

Baca juga: Orangutan Tapanuli dan 7 Fakta Uniknya

 

Menjaga kelestarian hutan Batang Toru harus kita lakukan. Foto drone: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kelembaban yang tinggi akan berakibat meningkatnya pertumbuhan jamur yang mengganggu tanaman kopi pada bagian akar, batang dan daun. Kondisi ini menghambat proses reproduksi, sehingga berpengaruh terhadap produktivitas.

“Gangguan berupa hama penggerek buah kopi [Hypothenemus hampei] akan datang,” paparnya.

Persoalan lain, punahnya musuh alami pada ekosistem, yang diakibatkan penggunaan pestisida tidak beraturan. Fungsi ekosistem mikro kebunan kopi jadi tidak seimbang.

“Kondisi ini berpengaruh terhadap perkembangbiakan hama, karena menurunnya fungsi predator alami,” tegasnya.

 

Exit mobile version