Mongabay.co.id

Strategi untuk Kembangkan Ekonomi Biru di Nusantara

 

Upaya untuk menjaga ekosistem perikanan tetap sehat, terus dilakukan Pemerintah Indonesia melalui beragam cara. Di antaranya, dengan menjalankan lima strategi ekonomi biru yang dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Selain dengan melakukan perluasan kawasan konservasi, upaya juga dilakukan dengan menerapkan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, pengembangan budi daya ramah lingkungan, penataan pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta pengelolaan sampah laut.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyebutkan kalau penerapan lima program tersebut memiliki tujuan utama untuk menjaga kesehatan laut secara menyeluruh. Untuk itu, kelimanya harus bisa berjalan dengan baik.

Adapun, tujuan yang dimaksud adalah menjaga kelimpahan stok ikan, mengentaskan persoalan sampah laut, mendorong pertumbuhan ekonomi yang merata di wilayah pesisir, hingga berkontribusi menahan laju perubahan iklim yang menjadi persoalan global.

Adapun, strategi pertama adalah perluasan kawasan konservasi perairan. Sejak 2019 Indonesia menorehkan capaian hebat karena mampu melampaui target 20 juta hektare (ha). Kemudian, target perluasan dinaikkan menjadi 32,5 juta ha, dengan harapan bisa terwujud pada 2030.

Namun, belum juga 2030 berakhir, capaian luasan kawasan konservasi perairan sudah mendekati target yang ditetapkan. Pada akhir 2021, luasan yang sudah ditetapkan mencapai 28.411.308,83 ha atau sudah tercapai 86,5 persen.

“Konservasi di wilayah laut menjadi salah satu strategi andalan Indonesia untuk melaksanakan pemulihan kelautan dan ekosistem perairan,” ungkap dia beberapa waktu lalu di Jakarta.

baca : KKP Tetapkan 3 Kawasan Konservasi Perairan Baru di Maluku

 

Perairan di Pulau Gelasa yang memiliki nilai konservasi tinggi harus dijadikan kawasan konservasi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Perluasan kawasan konservasi perairan yang sudah diraih pada saat ini, membuat Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Dirjen PRL) KKP Victor Gustaaf Manoppo merasa percaya diri bahwa sebelum 2030 target seluas 32,5 juta ha sudah bisa diwujudkan.

Akan tetapi, dia memastikan bahwa fokus yang dijalankan tak semata untuk menambah luasan saja. Namun juga, bagaimana agar peningkatan efektivitas pengelolaan di seluruh kawasan konservasi perairan bisa juga berjalan beriringan.

Walau target luasan yang tersisa kurang dari 5 juta ha lagi, namun KKP tetap tak mau jumawa. Lembaga Negara tersebut sudah menyiapkan sejumlah strategi yang diharapkan bisa melancarkan upaya menambah kawasan konservasi perairan.

Salah satunya, adalah dengan menyusun dan menerapkan peraturan perundang-undangan, memberikan penghargaan kepada pengelola kawasan konservasi, dan mengintegrasikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ke dalam dokumen perencanaan wilayah.

Khusus untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan, sudah ada strategi yang disiapkan oleh KKP. Menurut Victor Gustaaf Manoppo, yang pertama adalah berbagi rencana untuk memperkuat proses perencanaan dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan.

Kedua, adalah berbagi investasi. Cara ini dilakukan untuk mengurangi kesenjangan pendanaan dalam pengelolaan. Ketiga, yaitu berbagi tanggung jawab. Cara ini dijalankan untuk mengurangi kesenjangan sumber daya manusia dalam implementasi kawasan konservasi perairan.

Dengan demikian, pada 2030 nanti diharapkan kawasan konservasi perairan seluas 32,5 juta hektar yang berhasil ditetapkan tidak sekedar hanya berlokasi di wilayah perairan, tetapi juga dapat dikelola secara berkelanjutan.

Perluasan hingga 32,5 juta ha tersebut menjadi bagian dari rencana Pemerintah Indonesia yang menginginkan kawasan konservasi menjadi 30 persen dari total wilayah laut. Harapannya, nanti akan muncul potensi penambahan karbon biru dari mangrove dan lamun sebesar 188 juta ton karbon. Itu berarti, aset laut yang akan terlindungi besarnya mencapai USD21,5 miliar.

baca juga : Pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan Belum Maksimal

 

Maluku Utara, baru saja memiliki tiga kawasan konservasi perairan. Kawasan konservasi ini guna memastikan ekosistem laut terjaga dan sumber laut dapat terkelola berkelanjutan oleh masyarakat, salah satu mencegah pengeboman ikan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Berikutnya, strategi kedua yang menjadi bagian pengembangan ekonomi biru, adalah kebijakan penangkapan ikan terukur dengan basis kuota di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

Kebijakan tersebut dijalankan, karena ada tujuan yang ingin dicapai segera, yaitu bagaimana menjaga agar populasi ikan terus stabil dan berkelanjutan. Kemudian, diharapkan juga kebijakan tersebut bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang merata di wilayah pesisir.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi belum lama ini menyampaikan bahwa kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota diyakini akan menjadi kebijakan paling solutif untuk memanfaatkan sumber daya ikan (SDI) pada subsektor perikanan tangkap.

Dia menyebut kalau SDI yang bisa dimanfaatkan pada empat zona penangkapan ikan terukur untuk industri, jumlahnya mencapai 5,6 juta ton. Jika dihitung nilai produksi dari jumlah tersebut, maka diperkirakan ada sekitar Rp180 triliun yang akan muncul, dengan nilai penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) mencapai nilai Rp18 triliun.

Keyakinan dia bahwa kebijakan tersebut akan menjadi solusi terbaik di perikanan tangkap, adalah karena akan muncul dampak berupa efek berganda saat kebijakan diterapkan. Efek itu akan muncul, karena tumbuh beragam usaha baru yang memicu penyerapan tenaga kerja dengan jumlah tidak sedikit, dan pertumbuhan ekonomi yang semakin merata di seluruh Indonesia.

“Tidak lagi berpusat di pulau Jawa untuk pertumbuhan ekonomi,” jelas dia.

Melalui kebijakan tersebut, semua investor yang sudah mendapatkan perizinan diwajibkan untuk menyerap tenaga kerja dari nelayan lokal ataupun sumber daya manusia (SDM) yang masih ada di dalam negeri.

Cara tersebut, diyakini akan memicu para nelayan untuk bisa beradaptasi pada dunia kerja dan mendapatkan ilmu baru dengan menjadi awak kapal perikanan (AKP) pada sektor industri. Pada saatnya, dampak tersebut akan memicu dampak positif lainnya yang bisa mengembangkan kapasitas diri dan ekonomi masyarakat lokal.

baca juga : Penangkapan Ikan Terukur Dimulai dari Tual

 

Aktivitas perikanan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Secara keseluruhan, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota membagi 11 WPPNRI menjadi enam zona, dengan empat zona ditetapkan sebagai zona penangkapan bagi industri. Sementara, dua zona tersisa

Sementara, dua zona tersisa adalah zona penangkapan biasa yang tidak menerapkan sistem kuota. Kedua zona tersebut adalah WPPNRI 571 (Zona 5), serta WPPNRI 712 dan 713 (Zona 6). Dua zona tersebut tidak untuk komersial, namun untuk kegiatan pendidikan, pelatihan, dan hobi (mancing).

“Ini tidak banyak, ini hanya 0,01 persen dari kuota yang ada. Nah, setelah ini (jika masih) ada sisanya, baru yang ketiga untuk industri,” sebut dia.

Adapun, empat zona yang disiapkan untuk industri itu adalah WPPNRI 711 (Zona 1); WPPNRI 716 dan 717 (Zona 2); WPPNRI 715, 718, dan WPPNRI 714 (Zona 3); serta WPPNRI 572 dan WPPNRI 573 (Zona 4).

Muhammad Zaini Hanafi menerangkan, titik lokasi yang nantinya akan menjadi tempat berjalannya kebijakan penangkapan terukur untuk industri, adalah di Laut Natuna Utara yang masuk zona 2; laut Aru, Arafura, dan Timor pada zona 3; dan Samudera Hindia pada zona 5.

Hal lain kenapa kebijakan tersebut diyakini akan solutif, adalah karena sistem yang sudah diterapkan lama, yaitu input control akan resmi ditinggalkan dan digantikan oleh output control. Sistem tersebut akan menjamin penangkapan ikan tetap terkendali dan menjaga ekosistem.

baca juga : Tak Ada Sistem Kontrak dalam Penangkapan Ikan Terukur

 

Perahu nelayan berarak-arakan menuju ke laut untuk mengikuti prosesi larung sesajen. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Ramah Lingkungan

Strategi ketiga yang menjadi bagian dari ekonomi biru, adalah pengembangan kegiatan budi daya ramah lingkungan. Program ini dilakukan untuk memperbaiki, memulihkan, dan menjaga kondisi lingkungan tempat berlangsungnya kegiatan budi daya.

Direktur Jenderal Perikanan Budi daya KKP TB Haeru Rahayu menjelaskan, kegiatan budi daya ramah lingkungan dikampanyekan untuk bisa berjalan di seluruh Indonesia, karena itu bisa mendukung proses produksi menjadi lebih baik dan bisa terhindar dari pencemaran lingkungan.

Penerapan prinsip ramah lingkungan diterapkan saat ini pada subsektor perikanan budi daya, menjadi bagian dari pelaksanaan strategi pemanfaatan sumber daya alam untuk pembangunan perikanan budi daya secara efisien dan berkelanjutan.

“Itu menjadi bagian dari pembangunan perikanan budi daya dengan mengacu pada pembangunan kelautan dan perikanan,” ungkap dia.

Untuk bisa melaksanakan prinsip berkelanjutan pada budi daya perikanan, diperlukan penerapan strategi pemanfaatan sumber daya alam yang efisien, agar bisa memberikan kesejahteraan pada generasi mendatang.

Di antara strategi yang dijalankan untuk pemanfaatan sumber daya alam pada kegiatan perikanan budi daya yang efisien, adalah melalui pengelolaan lingkungan perikanan budi daya. Kegiatan tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2017 tentang Pembudidayaan Ikan.

Merujuk pada PP tersebut, kegiatan rehabilitasi lingkungan perikanan budi daya menjadi bagian dari pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungan. Kegiatan tersebut dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 25 Tahun 2022 tentang Tata Cara Rehabilitasi Lingkungan Perikanan Budi daya.

Salah satu hal yang dibahas dalam aturan tersebut, adalah pembahasan tentang penyebab pencemaran dan kerusakan lingkungan perikanan budi daya. Selain itu, ada juga aturan tentang tahapan identifikasi dan investigasi penyebab pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan perikanan budi daya.

Lalu, ada juga tahapan penyusunan rencana rehabilitasi lingkungan perikanan budi daya; tahapan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lingkungan perikanan budi daya; serta monitoring, evaluasi dan pelaporan hasil kegiatan rehabilitasi.

“Aturan tersebut diharapkan bisa menjadi sumber acuan untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi lingkungan pada perikanan budi daya di masa mendatang,” terang dia.

baca juga : Target Produksi Udang 2024 dan Masalah Dasar Perikanan Budi daya

 

Seorang pekerja tengah memberikan makanan ikan di keramba jaring apung yang ada di Danau Toba. Foto: Ayat S karokaro/Mongabay Indonesia

 

Secara taktis, kegiatan budi daya perikanan ramah lingkungan bisa dilakukan melalui berbagai cara, seperti melalui pemilihan spesies dan lokasi yang tepat/sesuai, penyediaan sarana pengolahan air limbah pada lokasi tambak, pengendalian pakan ikan, dan mengurangi penggunaan bahan kimia pada proses produksi.

Strategi keempat, adalah melaksanakan penataan pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pelaksanaan strategi tersebut, di antaranya dilakukan dengan memulihkan ekosistem perairan pesisir dengan penanaman kembali mangrove.

Merujuk pada amanat Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, rehabilitasi mangrove diharapkan bisa mencapai target seluas 600.000 ha pada 2024 mendatang.

Untuk melaksanakan kegiatan tersebut, kementerian dan lembaga (K/L) terkait bekerja sama untuk mempercepat proses pencapaian. KKP sebagai salah satu pihak terkait, juga melaksanakan rehabilitasi mangrove.

Pada 2021, realisasi rehabilitasi mangrove yang dilaksanakan oleh KKP sudah mencapai 1.300 ha dan tersebar di 36 kabupaten/kota. Capaian tersebut melebihi target yang sudah ditetapkan dengan luas mencapai 400 ha.

Walau berjalan signifikan, Victor Gustaaf Manoppo menyebutkan bahwa kegiatan perluasan mangrove selalu menghadapi tantangan seperti perubahan iklim, alih fungsi lahan, pemanfaatan pohon mangrove, dan persoalan regulasi.

baca juga : Diplomasi Mangrove Jokowi di KTT G20 dikritik LSM Lingkungan

 

Presiden Jokowi, Ibu Negara Iriana Joko Widodo dan rombongan meninjau hutan mangrove di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, Bali, Jumat (08/10/2021). Foto : akun facebook Presiden Joko Widodo

 

Pentingnya mangrove sebagai bagian dari ekosistem laut, juga diakui oleh Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti.

Menurut dia, potensi yang dimiliki Indonesia terkait carbon credit di area pesisir sangat besar. Potensi itu muncul karena mangrove di Indonesia menjadi yang terluas di dunia dengan luasan 3,36 juta ha atau mencakup 20 persen mangrove yang ada di dunia.

Jika potensi tersebut ingin terus bermanfaat hingga generasi masa yang akan datang, satu-satunya cara yang harus dilakukan adalah merawat dan menjaga mangrove yang ada sekarang. Sementara, untuk kawasan mangrove yang mengalami degradasi, maka harus dilakukan rehabilitasi.

Dia yakin, dengan melakukan rehabilitasi mangrove, maka potensi yang ada saat ini akan semakin kuat di masa mendatang. Itu berarti, mangrove yang menjadi bagian dari ekosistem karbon biru (EKB) menjadi ekosistem penting di laut.

Selain melalui mangrove, penataan pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil juga dilakukan dengan memperkuat sisi kedaulatan Negara melalui penerbitan sertipikasi pulau-pulau kecil dan terluar (PPKT). Total, sudah ada 53 lokasi PPKT dengan luas mencapai 1.227.845,35 meter persegi (m2) yang mendapatkan sertipikasi hak atas tanah.

Strategi terakhir atau kelima yang menjadi bagian dari pengembangan ekonomi biru, adalah pelaksanaan program Bulan Cinta Laut (BCL) yang digagas untuk menyelesaikan persoalan sampah di laut.

Melalui program ini, seluruh nelayan di Indonesia didorong untuk bisa berkontribusi langsung dalam menjaga kebersihan wilayah lautnya. Para nelayan akan diminta untuk istirahat melaut dan fokus untuk menangkap sampah plastik saat waktu tertentu.

Menurut Sakti Wahyu Trenggono, nelayan kecil dengan perahu yang berukuran kurang dari 3 gros ton (GT) bisa melakukan kontribusi langsung dengan melaksanakan kegiatan yang sama di laut. Jika biasanya untuk menangkap ikan, maka itu diganti untuk menangkap sampah plastik.

“Untuk itu, KKP memberikan kompensasi kepada para nelayan yang membantu menjaga kebersihan laut selama Bulan Cinta Laut,” terang dia.

Kepala Pusat Riset Perikanan KKP Yayan Hikmayani menjelaskan bahwa kegiatan BCL digelar selama sebulan penuh dari 1 sampai 31 Oktober 2022 yang serentak dilaksanakan di 14 lokasi di seluruh wilayah pesisir dan laut Indonesia.

Ke-14 lokasi tersebut adalah Banda Aceh (Aceh), Medan (Sumatera Utara), Padang (Sumatera Barat), Tanjung Pinang (Kepulauan Riau), Serang (Banten), Cilacap (Jawa Tengah), Cirebon (Jawa Barat), Bali, Pontianak (Kalimantan Barat), Balikpapan (Kalimantan Timur), Manado (Sulawesi Utara), Kendari (Sulawesi Tenggara), Sorong (Papua Barat Daya), dan Merauke (Papua Selatan).

 

Exit mobile version