Mongabay.co.id

Nelayan Desak DKP Jawa Timur Tuntaskan Persoalan Perikanan di Perairan Masalembu

 

Perwakilan nelayan Masalembu, Kecamatan Masalembu, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, melakukan audiensi ke Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Timur terkait persoalan nelayan di Pulau Masalembu, Selasa 6 Desember 2022. Mereka didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Persatuan Nelayan Masalembu (PNM), dan Kelompok Nelayan Rawatan Samudera Masalembu.

Kedatangan mereka disambut langsung oleh Kepala DKP Jatim dengan menghadirkan otoritas terkait. Seperti DKP Kabupaten Sumenep, Satuan Polisi Air dan Udara (Polairud) Polda Jatim, Danlantamal V Surabaya, Danlanal Batuporon, dan pihak Sales Branch Manager (SBM) Pertamina wilayah Jawa Timur.

Moh. Zehri, Ketua Kelompok Nelayan Rawatan Samudera Masalembu menyampaikan, ada dua permasalahan yang dibawa ke forum tersebut, yaitu masalah keamanan laut dan kesulitan BBM.

“Konflik alat tangkap ikan nelayan Masalembu dengan Nelayan diluar Masalembu sudah terjadi mulai sejak tahun 1980-an, dampak konflik tersebut sampai terjadi pembacokan hingga pembakaran kapal,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Selasa 6 Desember 2022.

Dia beberkan, tahun 2021 dan 2022, nelayan Masalembu melaporkan dua kapal cantrang yang beroperasi di wilayah perairan Masalembu kepada Polairud Sumenep. Namun, sampai saat ini, masih banyak kapal cantrang beroperasi di jarak yang sangat dekat. Ada yang 7 mil, 8 mil. Bahkan pernah ada yang melakukan penangkapan ikan disekitar 4 mil.

Selain itu, sebagian nelayan Masalembu diduga menggunakan potas. Menurutnya, jika ini terus dibiarkan, khawatir akan sangat berdampak terhadap perekonomian masyarakat Masalembu yang mayoritas nelayan, juga terhadap keberlanjutan ekosistem laut.

Nelayan kesulitan untuk mendapatkan BBM bersubsidi meskipun di Pulau Masalembu ada dua Agen Premium Minyak dan Solar (APMS).

baca : Kapal Cantrang Asal Luar Madura Kembali Resahkan Nelayan Masalembu

 

Perwakilan nelayan Masalembu dan pihak otoritas terkait melakukan swafoto usai audiensi. Foto: Afif/ KIARA

 

Haerul Umam salah satu warga Masalembu yang turut hadir menyampaikan bahwa, konflik nelayan Masalembu dengan nelayan luar adalah permasalahan lama yang belum terselesaikan.

Oleh sebab itu, tegasnya, dia mendesak DKP Jatim dan beberapa instansi terkait untuk segera melakukan langkah-langkah kongkrit agar konflik tersebut tidak beranjut.

“Terkait permasalahan BBM, praktik yang terjadi saat ini di Masalembu, Konsumen untuk Solar dibatasi 10 liter per orang, dan per hari hanya untuk 15 orang. Sedangkan jumlah nelayan di Masalembu sangat banyak dan kebutuhan nelayan untuk melaut banyak yang diatas 10 liter. Misalnya ada yang 15 liter, 20 liter, bahkan ada yang 25 liter,” bebernya, kepada Mongabay via aplikasi percakapan, Rabu 7 Desember 2022

Menurut Haerul, jika setiap hari APMS menjual kepada 15 orang, dan setiap orang hanya 10 liter, maka dalam sebulan APMS hanya menjual solar sebanyak 4.500 liter. Padahal di APMS 5669402 kuota solar dari Pertamina sebanyak 160.000 liter.

“Pertanyaan kami, kemana sisa jumlah solar yang ada di APMS? Kemudian jika dibatasi semacam itu, maka ini secara tidak langsung memaksa konsumen untuk membeli diluar APMS dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga subsidi, yakni Rp.9000 untuk harga eceran di luar APMS. Bahkan di Pulau Karamian ada yang menjual dengan harga Rp12.000,” ujarnya.

Dia bilang, selain susahnya akses nelayan atas BBM bersubsidi, beberapa bulan terahir ini nelayan juga dihadapkan dengan kelangkaan BBM jenis solar. Ironisnya, akibat fenomena itu, sebagian nelayan yang tidak bisa melaut karena tidak ada solar.

“Kelangkaan BBM jenis solar, kami duga karena banyaknya BBM yang dibawa keluar Pulau Masalembu oleh beberapa oknum dan dijual kepada kapal-kapal besar. Seperti cantrang, purse sein dan kapal lainnya. Oleh sebab itu, kami mendesak jika ada penyalahgunaan BBM bersubsidi untuk segera ditindak tegas,” katanya.

baca juga : Pemerintah Didesak Tuntaskan Kasus Pencemaran Batubara di Perairan Masalembu

 

Nelayan Masalembu tampak sedang berkemas sepulang melaut. Foto: Haerul Umam

 

Haerul menjelaskan, ada dua poin penting hasil dari rapat koordinasi ini. Pertama, diusulkan agar di Pulau Masalembu diadakan Pos Kemanan Laut yang terdiri dari Polair, TNI AL, dan DKP dengan tujuan agar memudahkan masyarakat untuk melapor, dan juga melakukan patroli serta penegakan hukum yang ada di laut Masalembu.

Kedua, pihak DKP akan menghitung berapa jumlah kebutuhan nelayan Masalembu, kemudian akan berkoordinasi dengan Pertamina agar kebutuhan nelayan atas BBM bisa terpenuhi.

“Perwakilan Pertamina Regional Jawa Timur yang hadir, memberikan solusi jangka pendek terkait kebutuhan nelayan atas BBM, nelayan bisa langsung menebus BBM ke Pertamina. Nanti BBM-nya akan dikirim bersamaan dengan BBM milik APMS, dan secara teknis akan dibahas dalam di lain kesempatan,” beber Haerul.

Muhammad Isa Anshori, Kepala Dinas DKP Jatim menjelaskan, cantrang merupakan alat tangkap yang dilarang untuk perlu adanya modifikasi cantrang menjadi alat tangkap yang ramah lingkungan yaitu menjadi jaring tarik berkantong. Terkait dengan kelangkaan BBM agar dihitung kebutuhan BBM nelayan Masalembu per bulan untuk kemudian diajukan ke Pertamina dan dilanjutkan dan dilanjutkan ke BP migas

“Langkah yang akan diambil yaitu di daerah Masalembu perlu adanya aparat penegak hukum sehingga laporan laporan dari masyarakat cepat tertangani untuk itu diperlukan adanya poskamladu. Sedangkan terkait masalah BBM perlu adanya pendataan ulang nelayan dan jumlah BBM dalam rangka menentukan kuota bagi nelayan Masalembu,” katanya, Jumat 9 Desember 2022.

Solusi dari DKP Jatim, bebernya, kedepan akan dibangun Poskamladu dengan syarat, ada lahan yang tersedia. Pihak DKP memfasilitasi kapal pengawas. Sedangkan personil dari Polairud dan TNI AL.

Perihal kelangkaan BBM, perlu adanya penambahan lembaga penyalur BBM di Masalembu. Bisa dari investor lokal maupun BUMD atau masyarakat bisa mendirikan koperasi yang sudah berbadan hukum sehingga dapat diusulkan untuk menjadi penyalur BBM di pulau Masalembu.

baca juga : Nelayan Resahkan Kapal Pengangkut Batubara yang Kandas Mencemari di Perairan Masalembu

 

Nelayan Masalembu sedang menambatkan perahunya di salah satu sudut perairan setempat. Foto : Haerul Umam

 

Hamdi Fadli, perwakilan LBH Surabaya mengatakan, apa yang disuarakan nelayan Masalembu dalam forum audiensi tersebut sepatutnya mendapat respon tegas dari pihak otoritas terkait. Salah satunya, terkait dengan alat tangkap tidak ramah lingkungan berupa cantrang yang masih beroperasi di wilayah perairan laut Masalembu.

“Penolakan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan bukan tanpa alasan. Sebab hal ini bertolak belakang dengan cita-cita masyarakat nelayan Masalembu, agar keberlangsungan ikan di laut bisa dinikmati secara berkelanjutan dalam lintas generasi. Fakta menunjukkan, mata pencaharian masyarakat Masalembu mayoritas adalah di laut. Hal itu bisa diperkuat dengan Perda No.12/2013 tentang RTRW Kota Sumenep, Kecamatan Masalembu termasuk pengembangan budidaya ikan karang,” katanya, Rabu 7 Desember 2022.

Menggunakan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan, tegasnya, memang dilarang sebagaimana yang diatur didalam UU No.45/2009 tentang Perikanan, dan juga dipertegas di dalam PermenKP No.18/2021 tentang alat tangkap yang dilarang, salah satunya menggunakan alat tangkap ikan cantrang.

“Salah satu hasil audiensi kemarin adalah akan diadakan Poskamla di Masalembu. Selain diadakannya Poskamla, kami mengusulkan juga DKP Provinsi membuat Pokmaswas di Masalembu sebagaimana yang sudah diatur di Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pembinaan Kelompok Masyarakat Pengawas di Bidang Kelautan dan Perikanan dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 58 Tahun 2001. Saya harap, hasil audiensi kemarin harapannya untuk segera terealisasikan di Masalembu” katanya.

Dia menilai, penegakan hukum ketika terjadi peristiwa pidana diwilayah perairan laut Masalembu ini masih belum efektif. Selain itu, nelayan Masalembu ketika mau melaporkan peristiwa tindak pidana yang terjadi wilayah perairan laut untuk ke Polairud Sumenep membutuhkan waktu sampai 12 jam dan menggunakan transportasi kapal penumpang. Seharusnya Pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di Masalembu berperan aktif.

 

Kapal cantrang Indah Jaya, asal Lamongan, Jawa Timur yang berlabuh di Pulau Masalembu, Sumenep, Jawa Timur. Foto : Afini Maulaya

 

Muhamad Afif, Deputi Advokasi dan Program KIARA mengatakan, beberapa persoalan nelayan Masalembu yang dibawa ke DKP Jatim, merupakan bagian dari ragam persoalan yang sampai saat ini sulit dalam penyelesaiannya. Karena persoalan alat tangkap merusak ini juga terjadi di beberapa wilayah perairan Indonesia. Yang sampai saat masih bergejolak. Seperti di wilayah Sumatera: Aceh, Medan, Sumatera Selatan serta wilayah perairan Jawa bagian utara: dari cirebon sampai Gresik atau pesisir pantai utara Jawa secara umum.

“Dalam kasus Masalembu, ini adalah terhitung 3x Nelayan Masalembu harus melakukan audiensi dengan pihak Pemerintah Jawa timur yakni DKP Provinsi dan Polda-Polairud. Karena masalah ini adalah bagian dari tanggungjawab pemprov Jatim, sebagaimana amanat Undang-undang dasar dan UU nomor 7 tahun 2016, Khususnya bagi KKP dan DKP Provinsi jatim punya peran penting dan amanah dalam melindungi dan memberdayakan Nelayan Masalembu,” jelasnya, Kamis 8 Desember 2022.

Afif mengapresiasi perjuangan Nelayan Masalembu bolak-balik Surabaya – Pulau Masalembu, dengan menempuh perjalanan laut 16-18 untuk mempejuangkan hak-haknya. Disisi lain, penting juga untuk mengapresiasi apa yg akan dilakukan Pemerintah Jatim lewat DKP Provinsi, ini adalah langkah positif. Walaupun perlu kita kawal bersama apa yang disampaikan DKP Propinsi Jatim, karena itu bukan hanya sebuah janji, tapi tanggung jawab moril.

“Dalam hal teknis, perlu juga dilihat secara detail seperti apa bentuk pengawasan yang akan dilakukan. Belajar dari Kasus di Aceh – Pulau Simeulue diawal tahun 2021, Nelayan yang melakukan pengawasan terhadap lingkungan dan alat tangkap merusak malah mendapat tindakan kriminalisasi, karena pelaku perusak punya orang dalam,” katanya.

Dia menambahkan, pengawasan berjalan tapi penegakan hukumnya (law enforcement) belum jelas. Nelayan yang menjaga lingkungannya mendapat kriminalisasi. Begitupun juga terhadap pelaku, yang kena getahnya adalah ABK bukan pemilik kapal atau korporasi. ini yang harus diperjelas.

Afif menilai, nelayan Masalembu masih terabaikan. Secara lokasi mereka cukup jauh untuk dijangkau, maka perlu perlakuan khusus di pulau ini. Khususnya soal distribusi BBM dan perlindungan bagi nelayan. Bagaimanapun, tegasnya, mereka adalah warga negara, dan jarak bukan sebuah batasan bagi Pemerintah untuk mensejahterahkan rakyatnya.

Firmansyah, Pengawas Perikanan dari DKP Sumenep membenarkan audiensi tersebut. Dia mengapresiasi langkah yang dilakukan masyarakat nelayan Masalembu tersebut. “Saya turut hadir dalam audiensi kemarin. Tapi, kewenangan yang dimiliki berdasar UU No.23/2014 bahwa pengelolaan dan pengawasan wilayah laut dari 0-12 mil adalah kewenangan DKP Jatim. Oleh karena itu, kami hanya bisa membantu memediasi nelayan di wilayah itu terkait apa yang menjadi keluhan darai persoalan yang ada. Termasuk perihal pengawasannnya, yang dalam hal ini kami coba mediasi dengan otoritas terkait,” jelasnya kepada Mongabay, Kamis 8 Desember 2022.

Dia berharap, permasalahan cantrang , BBM dan persoalan lain yang menimpa nelayan dan juga perairan masalembu dapat segera ditindak lanjuti oleh otoritas terkait. “Kami komitmen untuk memberikan pelayanan, termasuk menampung keluhan masyarakat masalembu dari permasalahan yang ada. Sebab pengelolaan dan pengawasan di sana ada di bawah wewenang DKP Jatim,” katanya.

 

Exit mobile version