Mongabay.co.id

Kala Uni Eropa Sahkan UU Produk Bebas Deforestasi, Apa Artinya bagi Indonesia?

Kanal yang dibangun PT TUm, di lahan gambut, menuju pantai dan membelah hutan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

default

 

 

 

 

Uni Eropa punya Undang-undang Produk Bebas Deforestasi (Deforestation Free Product) baru yang disetujui  6 Desember lalu. Produk-produk seperti sawit, kopi, kakao, karet, kedelai, daging,  sampai produk turunannya yang masuk Uni Eropa, termasuk Indonesia,  harus uji tuntas bebas deforestasi terlebih dahulu. Berbagai kalangan mengatakan, UU Uni Eropa ini mesti jadi momentum bagi Indonesia berbenah dalam memperbaiki komoditas-komoditas yang selama ini masih berisiko bagi hutan.

Walhi menilai,  UU ini langkah progresif guna memastikan keterbukaan informasi produk yang masuk ke Uni Eropa. Produsen, katanya,  akan diminta memperlihatkan rantai pasok dan geolokasi dari produk yang mereka hasilkan.

Indonesia sebagai produsen sawit nomer satu dunia. Untuk sawit, misal, UU ini penting dalam mencegah ekspansi dan praktik sawit ilegal dalam kawasan hutan.

“Ada sekitar 3,4 juta hektar kebun sawit dalam kawasan hutan. Data itu dibenarkan BPK dan KPK. Itu didominasi sawit perusahaan,” kata Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Walhi Nasional saat dihubungi Mongabay, Jumat (9/12/22).

Dengan begitu, katanya, regulasi baru Uni Eropa ini harus bisa jadi momentum pemerintah dalam memperbaiki tata kelola sawit yang selama ini belum maksimal. Pemerintah, katanya, tak boleh lagi menganakemaskan perusahaan sawit.

Dalam UU Cipta Kerja, Pasal 110A dan 110B, katanya,  memberikan pengampunan bagi kebun sawit dalam kawasan hutan. Kebun-kebun ilegal itu malah diberi ruang untuk jadi ‘legal.’  “Kami desak 3,4 juta hektar sawit dalam kawasan hutan itu tidak boleh selesai dengan pasal ini,” kata Uli.

Meskipun Uni Eropa baru melarang produk yang menghasilkan deforestasi pasca 2020, tetapi pasal-pasal itu tetap jadi produk hukum kontraproduktif terhadap semangat menjaga hutan.

Pemerintah, katanya, tak boleh lagi menelurkan regulasi yang bertolak belakang dalam upaya menjaga hutan tersisa.

“Setop dulu perizinan sawit. Karena sekarang arahnya ke timur, tempat hutan tersisa di Indonesia,” katanya.

 

Baca juga: Uji Tuntas Uni Eropa, Momentum Perbaiki Tata Kelola dan Perhatikan Petani Swadaya

Petani sawit mesti jadi perhatian pemerintah, Dengan adanya  UU Produk Bebas Dforestasi Uni Eropa, pemerintah harus memperkuat petani swadaya. Foto: Galahi MUbarok/ Mongabay Indonesia

 

Senada dengan Walhi, Greenpeace Asia Tenggara juga mendorong pemerintah memperbaiki tata kelola sawit. Keengganan mengikuti aturan baru Uni Eropa yang selama ini ditunjukkan pemerintah makin menunjukkan kalau Indonesia mendukung deforestasi.

“Sebenarnya aturan ini sama dengan moratorium sawit dulu. Bagaimana kita dorong intensifikasi dan pembenahan tata kelola perkebunan sawit,” kata Syahrul Fitra, Senior Forest Campaigner Greenpeace Southeast Asia.

Pemerintah, katanya, seharusnya bisa bernapas lega karena produk yang dilarang Uni Eropa adalah yang menghasilkan deforestasi pasca 2020. Pasalnya, deforestasi masif Indonesia justru terjadi pada periode 2010-2020.

Sebenarnya, Greenpeace mendorong baseline yang dipakai Uni Eropa untuk produk anti deforestasi mulai 2010. “Kalau pemerintah masih menolak aturan ini, padahal Uni Eropa sudah berbaik hati menghitung deforestasi pasca 2020, berarti pemerintah kita mendukung deforestasi di masa mendatang,” katanya.

Pemerintah, katanya,   mulai berkonsentrasi untuk reforestasi, bukan deforestasi. Selain memperbaiki tutupan hutan, langkah ini juga penting mencapai target forest and other land uses (FoLU) net-sink 2030.

Dengan begitu, sektor sawit tak jadi ancaman terhadap target kontribusi iklim Indonesia ini. “Maksimalkan saja lahan 16,2 juta hektar sawit yang ada saat ini. Harus berpikir intensifikasi, bukan ekspansi lahan sawit baru.”

Aturan ini akan mewajibkan seluruh operator dan trader di Uni Eropa melakukan uji tuntas untuk memastikan bahwa semua produk komoditas beredar di wilayah itu terjamin legal, mematuhi semua peraturan yang berlaku, dan tidak menyebabkan atau terasosiasi dengan deforestasi serta degradasi hutan.

“Aturan ini tidak hanya berlaku terhadap produk yang diproduksi di negara luar Uni Eropa. Juga berlaku terhadap semua produk yang diproduksi di dalam wilayah Uni Eropa,” kata  Mardi Minangsari, Presiden Kaoem Telapak, September lalu.

Selain itu, Uni Eropa juga akan menerapkan benchmarking (penilaian risiko) bagi tiap negara. Tiap negara akan ada kategori berdasarkan risikonya. Untuk komoditas dari negara berisiko tinggi akan diperiksa lebih sering.

Selain itu, pembuktian ketertelusuran akan menjadi poin penting dalam pemenuhan persyaratan uji tuntas. Di dalam peraturan ini bahkan mensyaratkan ada bio tagging di petak lahan tempat produksi suatu komoditas. Pelanggaran terhadap peraturan ini dapat dikenai sanksi denda maupun penjara.

Dalam perjalanannya, usulan regulasi ini terus berkembang. Pada 28 Juni 2022, Dewan Uni Eropa menyepakati dukungan terhadap proposal regulasi uji tuntas dan menyampaikan sejumlah amandemen. Antara lain, memundurkan cut-off date menjadi Desember 2021, mengurangi frekuensi inspeksi pernyataan uji tuntas, menyusun definisi degradasi hutan menjadi perubahan struktural tutupan hutan, berupa alih fungsi hutan primer menjadi hutan tanaman atau menjadi hutan lain. Selain itu sistem benchmarking diajukan hanya menjadi berisiko rendah dan risiko sedang.

 

Tenggulun yang dulunya hutan berganti perkebunan sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pada 12 Juli 2022, Parlemen Uni Eropa melakukan pemungutan suara terkait proposal uji tuntas ini. Intinya,  mendukung usulan meski juga mengusulkan sejumlah amandemen. Antara lain, menambah cakupan komoditas yang meliputi karet, jagung, babi, unggas, domba, kambing, dan arang. Kemudian memajukan cut-off date menjadi Desember 2019.

“Juga menyertakan kewajiban penghargaan HAM, termasuk hak masyarakat adat dalam uji tuntas. Jadi,  semua produk yang diimpor atau dipasarkan di Uni Eropa itu haruslah produk yang diproduksi tanpa ada pelanggaran HAM.”

Parlemen juga menambah frekuensi inspeksi pernyataan uji tuntas, memasukkan lembaga keuangan sebagai subyek uji tuntas, dan menambahkan usulan pinalti denda lebih berat daripada usulan komisi.

Setelah itu, kata Minang, proposal regulasi dibahas Komisi, Parlemen dan Dewan Uni Eropa. Pada 6 Desember itulah ketiga lembaga utama Uni Eropa menyetujui aturan baru ini.

 

 

***

Uni Eropa, hanya salah satu pasar sawit Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat,  India dan Tiongkok sebagai pasar utama minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dari Indonesia.

Meskipun begitu, aturan Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa ini tak boleh jadi alasan untuk mengalihkan fokus ke dua negara itu. Pasar sawit di Uni Eropa juga terus mengalami pertumbuhan.

Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) mencatat ekspor produk sawit Indonesia ke Uni Eropa pada Agustus 2022 mencapai 506.800 ton, naik 51,7% dari 334.000 ton di bulan sebelumnya.

Syahrul menyebut,  kalau mengalihkan pasar akan berdampak buruk pada industri sawit dalam negeri. Selain cap buruk sebagai pendukung deforestasi, harga sawit Indonesia bisa jatuh di pasar internasional.

Mendingan comply (penuhi) ke sana (aturan EU). Itu tidak akan rugikan industri, justru akan tambah daya tawar,” katanya.

Negara, katanya,  tidak boleh mengintervensi mekanisme business to business (B2B) ini. Intervensi seharusnya dalam mendorong bisnis untuk mengikuti aturan yang ada.

Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch mengatakan, aturan bebas deforestasi ini seharusnya bisa dipahami demi kebaikan satu planet, bukan hanya segelintir negara.

“Kita ini satu planet. Tidak boleh menang-menangan sendiri,” katanya.

Untuk itu, perlu sinergi antara Uni Eropa dengan negara pengimpor sawit lain guna menerapkan aturan ketat serupa. Pemahaman bersama ini, katanya,  perlu ditekankan di negara lain agar tujuan mempertahankan hutan alam tersisa secara maksimal.

“Perlu galang pemahaman bersama supaya tidak ada kebocoran sawit ke negara lain yang kurang ketat,” kata Rambo.

Walhi punya pandangan sawit-sawit yang masuk ke Uni Eropa itu juga sebenarnya dari pengimpor sawit Indonesia. “Pasarnya memutar,” kata Uli.

Untuk itu, Uni Eropa harus bisa jadi pemimpin yang mendorong negara lain menelurkan peraturan serupa. Dia bilang, harus ada komunikasi dan dialog dengan negara konsumen sawit lain.”

“Ini harus dilakukan agar mimpi selamatkan hutan tropis bisa terwujud.”

 

Masyarakat adat di Sorong Selatan, Papua, aksi mendukung Pemerintah Sorong Selatan, yang sudah mencabut izin dua perusahaan sawit di wilayah adat mereka. Foto: dokumen warga

 

Momentum petani

UU Uni Eropa ini sejatinya menyasar perusahaan pengimpor besar. Namun, regulasi anyar ini bisa jadi momentum peningkatan kapasitas petani sawit.

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dalam rilis yang diterima Mongabay mengatakan, aturan ini dapat menjadi peluang bagi jutaan petani sawit untuk mendapat keuntungan dari pasar Uni Eropa.

SPKS sebut, petani bisa menyediakan produk sawit tanpa deforestasi dan dapat ditelusuri.

Meski begitu, kata Mansuetus Darto, Sekjen SPKS, petani masih perlu dukungan dan bantuan Pemerintah Indonesia, Uni Eropa dan perusahaan maupun pembeli sawit. Hal ini perlu agar pemenuhan persyaratan seperti ketelusuran dan tak ada praktik deforestasi bisa maksimal.

Praktik ini sebetulnya bukan barang baru bagi SPKS. Petani yang tergabung dalam SPKS, katanya, mampu membangun data ketelusuran secara by name, by address, dan by spatial.

“Petani anggota SPKS di Kalimantan juga sedang menerapkan pendekatan setok karbon tinggi,” kata Darto.

Dia berharap, peraturan terbaru Uni Eropa ini dapat memastikan ketahanan jangka panjang mata pencaharian petani sawit di Indonesia. Salah satunya,  dengan memberi insentif pada petani dan memastikan petani sebagai mitra adil di pasar Uni Eropa.

“Kami juga ingin perusahaan yang mengimpor minyak sawit menjamin dan berkomitmen menerapkan 30% rantai pasok mereka berasal dari petani swadaya.”

Terkait ketelusuran (traceability) produk petani sawit, kata Syahrul, sebenarnya tak sulit. Pemerintah bahkan sudah punya instrumen kebijakan dalam surat tanda daftar budidaya (STDB).

“Dalam STDB bahkan sudah ada geolokasi,” kata Syahrul.

Sayangnya, aturan ini belum maksimal. Kementerian Pertanian sebagai pihak yang membangun data petani sawit belum menjalankan kebijakan ini secara penuh.

“Aturan ini sudah ada. Sebagian petani seperti yang disebut SPKS sudah menjalankan. Apa lagi yang ditunggu pemerintah?”

 

Kanal yang dibangun perusahaan di lahan gambut, menuju pantai dan membelah hutan di Riau. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Sawit Watch menyebut,  ada dua hal perlu dilakukan pemerintah untuk memperkuat petani kecil agar bisa memenuhi UU baru Uni Eropa ini. Pertama, penyelesaian masalah legalitas lahan.

Selama ini, masih banyak petani kecil bermasalah dengan legalitas lahan. “Kalau legalitas lahan bisa dibantu pemerintah, maka penyuluhan untuk best practices akan hadir bagi para petani,” kata Rambo.

Kedua, perlu ada penguatan untuk kelembagaan petani. Pembentukan koperasi akan membuat kerjasama dengan pemerintah bisa berjalan baik.

Selama ini, masih banyak petani cenderung berjalan sendiri dan mengandalkan perusahaan untuk membeli tandan buah segar (TBS) sawit mereka. “Uni Eropa dan pemerintah harus bisa memberikan harga premium bagi sawit rakyat. Nantinya,  petani akan mengikuti ketentuan kalau sawit mereka dibeli harga tinggi,” kata Rambo.

Kedua poin itu, katanya, sebetulnya ada dalam Rencana Aksi Nasional Sawit Berkelanjutan. RAN yang berwujud Instruksi Presiden Nomor 6/2019 ini seharusnya sudah dipahami dan dijalankan daerah penghasil sawit dalam Rencana Aksi Daerah.

Catatan Sawit Watch, baru empat  dari sembilan provinsi penghasil sawit dan 16 dari 247 kabupaten/kota yang mengadopsi jadi aturan daerah. “Ini baru adopsi, belum implementasi. Padahal waktunya mepet, RAN ini berakhir 2024 nanti,” kata Rambo.

Annisa Rahmawati, Direktur Eksekutif Satya Bumi menyoroti ketergantungan petani pada perusahaan yang kadang berujung pada pembelian tandan buah segar (TBS) dengan harga tak wajar. Perusahaan, katanya, kerap menggunakan ketidaktahuan petani.

Praktik ini seolah direstui pemerintah. Perhatian pada petani sawit pun terbilang minim. Undang-undang atau kebijakan yang ditelurkan umumnya mengatur petani untuk menggunakan plasma atau manajemen satu atap dari perusahaan.

“Ini berarti menitikberatkan petani pada tanggung jawab perusahaan,” kata Annisa.

Untuk itulah, dia menilai perlu ada bantuan bagi petani agar bisa berorganisasi dan berserikat. Dengan melakukan ini, maka petani akan memiliki posisi tawar yang cukup saat mau menjual TBS mereka pada perusahaan.

Tidak hanya itu, keberpihakan pemerintah pada petani juga harus ditunjukkan lewat realisasi program penanaman kmembali yang selama ini mandek. Dana replanting lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak boleh lagi mengalir pada perusahaan lewat skema biodiesel seperti selama ini terjadi.

“Jangan lagi dana replanting (penanaman kembal) jadi bancakan untuk kepentingan segelintir pihak. Kasihan para petani, Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.”

 

Karet hasil sadapan petani di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Karet juga masuk produk yang harus melalui uji tuntas deforesatasi saat mau masuk pasar Uni Eropa. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Soal HAM?

Andi Muttaqien, Deputi Direktur Satya Bumi menyayangkan masalah pelanggaran hak asasi manusia yang tidak terakomodir dalam peraturan anyar Uni Eropa ini. Padahal, usulan agar produk yang masuk ke negara Uni Eropa juga mengatur bebas dari pelanggaran HAM.

“Tapi ada perdebatan internal di Uni Eropa. Mereka berkilah kalau aturan ini pada dasarnya diusulkan hanya untuk bebas deforestasi,” katanya.

Dia bilang, tak semua negara bisa menjamin produk ekspor mereka bebas dari deforestasi dan pelanggaran HAM. Kedua hal ini, katanya,  saling berkelindan di negara yang tidak memiliki instrumen pelindung HAM kuat, termasuk Indonesia.

“Ini kekurangan dari regulasi baru Uni Eropa. Karena masalah HAM dikembalikan ke aturan negara masing-masing,” ucap Andi.

Untuk itu, Uni Eropa harus bisa memastikan akan mengakomodir keluhan yang disampaikan pihak ketiga yang terdampak oleh aktivitas produksi eksportir produk bebas deforestasi. Masalah pelanggaran HAM, katanya,  harus bisa diterima sebagai aduan oleh Uni Eropa Ketika perusahaan terbukti melakukan pelanggaran.

Hal ini akan menjadi satu tantangan bagi organisasi lingkungan yang melakukan pendampingan terhadap masyarakat terdampak.

Andi pun mengingatkan pemerintah memperkuat regulasi yang bisa menahan praktik pelanggaran HAM di sektor yang berpotensi menghasilkan deforestasi. Salah satunya,  dengan memperbaiki proses partisipasi publik dalam Undang-undang Cipta Kerja.

Dia mengatakan, partisipasi publik dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) bisa meminimalisir pelanggaran HAM saat aktivitas bisnis terjadi. “Tapi kan proses ini tidak diakomodir oleh UU Cipta Kerja, hanya terbatas pada pihak yang terdampak saja.”

Sedang Walhi mendesak,  pemerintah segera menerbitkan UU Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Adat. Masyarakat adat, katanya,  selalu jadi pihak yang dirugikan dari aktivitas industri ekstraktif yang melahap hutan.

“Untuk Uni Eropa, seharusnya mereka mengadopsi hukum internasional soal perlindungan HAM untuk setiap produk yang masuk ke negara mereka. Bukan hukum di negara masing-masing,” kata Uli.

 

Kayu dan produk turunannya juga akan  kena uji tuntas ketika masuk pasar Uni Eropa. Padahal, sebelumnya, Indonesia dan Uni Eropa sudah ada kerjasama, produk-produk kayu Indonesia yang punya V Legal bisa masuk tanpa uji tuntas lagii tetapi dengan aturan baru UU Produk Bebas Deforestasi, kerjasama itu tak berlaku.  Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

*******

 

Exit mobile version