Mongabay.co.id

Material Organik di Pasar Masih Belum Terkelola Maksimal

 

Bau busuk menyengat hingga ke rongga hidung saat berada di bagian belakang Pasar Induk Keramatjati, Kampung Tengah, Kecamatan Keramatjati, Kota Jakarta Timur, DKI Jakarta. Pasalnya, tumpukan sampah yang didominasi oleh material organik dari berbagai macam sayur-sayuran dan buah-buahan itu sudah membusuk dan warnanya menghitam.

Padahal, jalan di depan tumpukan sampah tersebut masih aktif dilewati kendaraan yang akan kulakan sayur maupun buah di pasar yang memiliki luas area 14.7 hektare ini.

Tidak jauh dari tumpukan sampah, beberapa buruh angkut terlihat menurunkan sayur yang sudah dikemas dengan karung goni maupun plastik dari atas pickup dan truk yang baru datang. Sebagian lagi nampak memisahkan beberapa sayuran yang kondisinya sudah membusuk. Mereka menyisihkannya dengan menggunakan pisau kecil.

Untuk sayur yang kondisinya masih bagus akan dijual. Sedangkan yang kondisinya sudah rusak mereka akan membuangnya di tumpukan sampah yang sudah menggunung.

baca : Tantangan Merintis Pasar Minim Plastik Sekali Pakai

 

Buruh angkut melintas diantara material organik dari sayur-sayuran. Jika tidak manfaatkan dengan baik material organik ini bisa membahayakan dikemudian hari. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Berdiri diantara timbunan sampah, dua orang perempuan sedang memungut sayur dan buah apkiran untuk dibawa pulang. Keduanya menanti hibah sisa barang dagang pasar untuk diolah kembali. Beberapa barang terlihat busuk hanya luarnya saja. Yang tidak layak dimakan mereka sortir, dikupas dan dibuang.

Sedangkan sisanya bisa dimasak dan dijual ke peternak kelinci maupun kambing. “Kalau dijual paling lakunya hanya Rp2000-Rp3000 ribu sekarung,” ujar Sujiem, 65 tahun, awal bulan November 2022.

Perempuan asal Semarang, Jawa Tengah, ini mengaku sudah hampir separuh hidupnya bertumpu pada limbah sayuran dan buah-buahan itu. Jika ditotal dalam sehari dia mampu membawa uang antara Rp40.000-Rp50.000 ribu.

 

Kurang Tanggap

Berbeda dengan Sujiem yang merasa mendapatkan keberkahan dari sampah. Sedangkan bagi Ade, 59 tahun mengaku adanya tumpukan sampah di pasar yang berdiri sejak tahun 1971 ini menjadi masalah.

Apalagi saat musim hujan. Akibat sampah yang tercecer kondisi jalan yang biasa ia lewati menjadi becek. Dibandingkan dengan musim kemarau saat musim hujan bau sampah juga semakin menyengat.

Pria yang sehari-hari berprofesi sebagai supir jasa angkutan ini mengatakan, kondisi sampah yang sebagian sudah tercampur dengan sampah anorganik itu sudah menumpuk berhari-hari. Padahal, para pedagang secara rutin sudah membayar iuran untuk sampah. Tetapi pengangkutan hanya dilakukan beberapa kali saja.

“Sampah yang menumpuk ini masih belum terkelola dengan baik. Bagi saya ini sangat mengganggu, apalagi musim hujan. Sampahnya bisa tercecer di jalan. Kalau terlindas kendaraan yang lewat itu baunya makin terasa,” keluh Ade.

baca juga : AZWI Ajak Hentikan Solusi Palsu Pengelolaan Sampah Plastik

 

Perempuan sedang memungut sayur dan buah apkiran untuk dijual ke peternak. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Selain dia, pedagang maupun jasa supir angkut lain juga merasakan hal yang sama. Bahkan, dalam sehari-hari mereka selalu memperbincangkan kondisi sampah di pasar induk yang belum bisa bersih seratus persen.

Untuk itu, menurut dia pemerintah melalui dinas terkait harus segera mengangkut berbagai macam sampah tersebut. Apalagi kondisinya sudah menumpuk hingga setinggi kepala orang dewasa.

Ni Made Indra Wahyuni, Program Manager of Food Smart City Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali mengatakan, sampah yang menumpuk selain menimbulkan bau tidak sedap estetika lingkungan juga menjadi tidak bagus.

Bukan hanya sampah plastik, material organik baik itu dari sayur, buah maupun sisa makanan jika tidak terkelola dengan baik selain berbahaya bagi lingkungan juga riskan terhadap kesehatan manusia. Dampaknya pernafasan menjadi terganggu.

Apabila sampah organik menumpuk dan membusuk terlalu lama bisa menimbulkan berbagai macam penyakit dari bakteri dan virus seperti diare, kanker, tifus, disentri, jamur, kolera.

“Sampah jika tidak dikelola dengan baik bisa mengakibatkan udara jadi tercemar. Selain itu air dan tanah juga menjadi kotor. Yang mengkhawatirkan itu sewaktu-waktu bisa meledak, karena tumpukan sampah organik juga bisa menghasilkan gas metana,” jelas Indra, Kamis (24/11/2022).

baca juga : Dilema Warga Meski Sampah di Cilincing Sudah Dibersihkan

 

Buah mangga yang sudah membusuk tercecer di Pasar Induk Kramatjati yang memiliki luas luas area 14.7 hektare. Foto : Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sejauh ini, lanjut dia, untuk penanganan sampah di pasar-pasar memang masih belum maksimal. Rata-rata sistemnya masih kumpul-angkut-buang. Hal ini dikuatkan dengan hasil riset yang dilakukan PPLH Bali didukung Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) dan Plastic Solution Fund.

Di Bali misalnya, komposisi sampah terbanyak yaitu material organik terutama dari upacara keagamaan sekitar 70% dan anorganik 30%. Selain di pasar tradisional riset timbulan sisa makanan atau food waste juga dilakukan di rumah makan, rumah tangga dan supermarket atau retail.

 

Ancaman Serius

Di Indonesia, material organik dari sampah makanan ini sudah menjadi limbah dominan. Hal itu dibuktikan lewat data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SISPN) yang mencatat bahwa pada tahun 2021, sampah makanan menduduki tampuk klasemen limbah yang mengotori Indonesia.

Sampah plastik yang biasa digembor-gemborkan sebagai perusak lingkungan terbesar berada di peringkat kedua, jumlahnya 26,27 ton sampah. Sedangkan sampah makanan kedudukannya ada di puncak, dengan jumlah hampir dua kali lipat dari sampah plastik, sebesar 46,35 ton.

Seperti halnya sampah plastik, dampak yang ditimbulkan sampah makanan juga menjadi ancaman serius. Karena, timbulan ratusan ribu ton sampah makanan menghasilkan gas metana (CH4) sekaligus emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

“Jika dilihat dari komposisi sumbernya ya bisa dari rumah tangga, pasar, rumah makan, penginapan. Untuk pengelolaan kewenangannya lebih banyak ke teman-teman di Pemerintah Daerah,” ujar Asep Setiawan, Fungsional Lingkungan Hidup Ahli Madya Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah B3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

baca juga : Indonesia Kejar Target Bebas Sampah Plastik 2025

 

Pedagang cabai menunggu pembeli di Pasar Induk Kramatjati, Kampung Tengah, Kecamatan Keramatjati, Kota Jakarta Timur, DKI Jakarta. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Untuk pengurangan sampah dari produsen pemerintah pusat sebenarnya sudah memiliki landasan hukum yang mengatur, seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen dari 2020-2029.

Peraturan tersebut merupakan turunan dari UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah seperti dimandatkan dalam pasal 15.

Menurut Asep, untuk mengelola sampah pasar ini mestinya setiap pengelola pasar harus bisa membangun kelembagaan yang melibatkan masyarakat yang memiliki perhatian terhadap isu sampah. “Kalau mau efektif bangunlah sistem kolaborasi. Karena untuk pengolahan sampah ini kan tidak bisa bekerja sendiri,” jelas dia.

Beberapa teknik untuk mengurangi material organik dari sumber sampah misalnya dengan komposting menjadi pupuk padat dan cair. Selain itu juga bisa digunakan sebagai budidaya magot yang bisa dijadikan sebagai pakan ternak.

Maggot atau larva dari lalat black soldier fly termasuk hewan yang sangat efektif dalam mengurai sampah organik. Dimana satwa ini bisa menghabiskan semuanya dengan cara menghisap cairan yang ada di dalam sampah organik.

 

Exit mobile version