Mongabay.co.id

Wawancara Eks Pekerja Migran Perikanan di Kapal Tiongkok: “Mereka itu Kapal Penangkap Hiu”

 

Hasil wawancara di bawah ini adalah rangkuman dari wawancara Mongabay dengan mantan awak kapal longline Long Xing 607, satu dari sekitar 35 kapal yang dioperasikan Dalian Ocean Fishing (DOF) Tiongkok. DOF mengklaim dirinya sebagai perusahaan penangkapan ikan tuna yang menjadi pemasok sashimi terbesar ke Tiongkok dan Jepang.

Rusnata yang kami wawancarai, kini berusia 40 tahun, lahir dan besar di Majalengka (Jawa Barat). Pertama kali melaut, dia bekerja di kapal ikan Taiwan di perairan Atlantik pada tahun 2014. Setelah dua tahun di darat, -dengan hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar, dia memutuskan kembali melaut dan bekerja di DOF.

Uraian wawancara ini adalah gabungan wawancara Mongabay dengan Rusnata pada tahun 2021 dan 2022, yang telah diringkas dan diedit untuk kejelasan.

 

Catatan redaksi: Pada November 2018, Rusnata terbang dengan rombongan sekitar 50 orang Indonesia dari Bandara Soekarno-Hatta Jakarta ke Busan, Korea Selatan. Di situ kapal longline Long Xing 607 yang tergabung dalam armada DOF berlabuh.

Dia menghabiskan sekitar satu jam di sebuah fasilitas di Busan sebelum rombongan diangkut ke pelabuhan dan dimuat ke dua kapal DOF: Long Xing 607 dan Long Xing 608 yang berada di bawah Dalian Ocean Fishing (DOF), sebuah perusahaan Tiongkok.

 

 

Baca juga: Praktik Kerja Paksa Terus Hantui Para Pekerja Migran Perikanan Indonesia 

 

Mongabay: Apa yang dapat Anda ceritakan sejak Anda berangkat hingga menuju tempat operasi Long Xing 607 di perairan Pasifik. Aktivitas apa yang Anda lakukan di kapal?

Rusnata: Dua minggu pertama tidak ada yang aneh, semua masih enak. Kerja bangun jam 6, terus sarapan, jam 7 mulai kerja, selesai sore jam 5. Semua masih persiapan, selama perjalanan 2 minggu kami kami benar-benar disiapin buat kerjaan. Gak langsung operasi.

Mongabay: Apa yang Anda makan selama di Long Xing 607?

Rusnata: Sarapannya kalau di Indonesia mirip bubur, cuma buburnya seperti beras matang disiram air. Kadang berasnya lembek. Kalau lauk, ya.. kadang kita makan ikan umpan. Kawan yang muslim tidak bisa makan daging, karena ada babinya, masak sayurnya ada babinya terus… Akhirnya karena, mau gak mau daripada tidak makan, makan apa adanya gitu.

Mongabay: Kalau kualitas air minumnya bagaimana?

Rusnata: Air sulingan [destilasi]. Gak ada air bersih sama sekali. Kalau mesinnya lagi bagus, tidak terasa, cuma lebih sering kerasa, rasa air campur karat. Dalam 1-2 minggu isi botol yang kita stok di kamar, warnanya berubah jadi kuning.

Mongabay: Selama di kapal Long Xing 607 apa pernah ada kawannya yang sakit?

Rusnata: Ada iya… si Andi kakinya bengkak, kayak kaki gajah, lumayan lama sakitnya. Stok obat di kapal sudah kadaluarsa. Dia sakit 4-6 bulanlah sejak kami berangkat. Sakitnya sekitar sebulan, benar-benar sembuh hampir 2 bulan. Karena ya.. pengobatan seadanya. Kasihan. Itu pun masih harus kerja, gak ada istirahatnya.

Mongabay: Anda tadi menyebut kakinya bengkak. Kakinya saja atau tubuhnya juga?

Rusnata: Kalau dia kakinya aja. Untung dia langsung ngasih tahu ke mandor [kru China], jadi langsung cepat-cepat [dapat obat], meski seadanya. Kalau gak cepat, seperti kasus siapa itu… [Efendi Pasaribu], sampai ke muka semua bengkak.

 

Catatan redaksi: Efendi Pasaribu adalah satu dari empat kelasi kapal Long Xing 629 milik DOF yang jatuh sakit dan meninggal dunia pada 2019 dan 2020.

Setidaknya 30 kelasi dari lima kapal yang kami wawancarai mengalami gejala yang mirip dengan yang dialami Andi dan Efendi, dengan edema atau pembengkakan tubuh, nyeri pada kaki, kesulitan berdiri atau berjalan, pusing atau kebingungan, dan rasa tidak nyaman di dada. Kemungkinan besar menurut dokter yang kami tanya, hal ini disebabkan oleh pengaruh dari makanan dan minuman di kapal.

Berikut perubahan fisik yang dialami oleh awak kapal asal Indonesia, (Alm) Efendi Pasaribu

 

Baca juga: Masih Ada Kekosongan Hukum untuk Melindungi Awak Kapal Perikanan

 

Mongabay: Apa hanya mereka di kapal Long Xing 607 yang sakit seperti itu?

Rusnata: Banyak, ada sekitar 8 orang. Makanya mereka minta pulang. Mungkin karena mereka merasa perawatan kurang, pengobatan kurang. Sebenarnya waktu pertama kali merasa kapalnya gak enak, [kami] sudah minta pulang semua. Sempat demo ke kapten. Semua berhenti kerja, orang Indonesianya gak mau kerja sama sekali.

Mongabay: Berhenti kerja demo berapa lama?

Rusnata: Dua hari.

Mongabay: Kapan itu terjadi?

Rusnata: Setelah 3 bulan [kerja di kapal]. Karena suplai makanan gak enak, terus ada kontak fisik juga. Tapi kalau untuk saya pribadi sih gak ada [kekerasan fisik].

Catatan editor: Sebagian besar mantan kelasi menggambarkan beberapa bentuk kontak fisik yang tidak diinginkan, mulai dari dipukul atau ditendang oleh anggota kru senior, beberapa orang yang kami wawancarai tidak menggambarkan secara jelas apakah kontak fisik itu melewati batas. Beberapa kelasi mendapat tamparan di wajah karena tidak mematuhi perintah atau dipukuli dengan benda seperti tali atau batang logam, terkadang cukup keras hingga meninggalkan luka memar. Apa yang diceritakan oleh Rusnata, adalah versi lebih lembut dari kontak fisik yang terjadi kepada kelasi.

Mongabay: Anda tadi sempat sebutkan ada kontak fisik ke ABK, bisa diceritakan?

Rusnata: Kalau misalnya yang saya lihat langsung ya cuma dipukul … pantatnya gitu. Tapi kalau ada anak [kelasi] yang susah banget diajarin, – aku sih gak pernah lihat langsung, katanya sempat di pukul kepalanya.

Mongabay: Bisa jelaskan pukulan di kepala, seperti di-keplak, atau tangannya dikepal, atau seperti apa?

Rusnata: Kayak di-keplak gitu, mungkin di China, kebiasaan mereka seperti itu, karena kita lihat juga mereka biasa begitu. Cuma kalau di Indonesia kalau sudah ke kepala tuh aduh, gak sopan banget.

Mongabay: Apakah ada kontak fisik yang lain?

Rusnata: Gak ada kalau tonjok-tonjokan. Paling ya mukul-mukul gitulah, kayak ibarat orangtua ke anak gitu. Tendang juga ada, cuma gak yang nendang sampai keras banget gitu. Gak sampai bikin lebam gitu, gak.

 

Rusnata di dapur tempatnya sekarang bekerja di Tangerang. Foto: Wienda Parwitasari untuk Mongabay.

 

Mongabay: Kemudian akhirnya ada yang protes sampai demo semuanya, 2 hari tidak kerja, dan minta pulang juga semuanya. Itu berapa lama sampai akhirnya permintaan dipenuhi?

Rusnata: Waduh, sudah hampir setahun, jadi kayak dicuekin aja. Tadinya kan kapal mau sandar [di Samoa, akhir 2019], ada dengar kita mau dipindahkan ke kapal lain [sampai akhirnya Long Xing 607 di beri izin sandar ke pelabuhan].

[Di Samoa] kita demo lagi. Kita dengar dari ABK China, mereka kasi tahu ke kita kapalnya mau sandar tapi kalian [awak Indonesia] gak ikut. Nah ya kita gak terima-lah, masa orang Chinanya doang yang ngerasain darat, kita gak, makanya kita demo lagi. Sampai akhirnya kita boleh ikut turun, 2 minggu di Samoa.

Mongabay: Selama di Samoa, apa yang Anda dan teman-teman lakukan?

Rusnata: Gak ada kerjaan sih [kita rehat]. Karena posisi ikan juga habis di oper collecting, terus umpan juga sudah di isi, ibaratnya kayak main saja. Memang jatah sih, kan kapalnya ada sandar gitu.

Mongabay: Sebelum bersandar di Samoa, berapa lama Anda di laut?

Rusnata: Setahun kurang lebih.

Mongabay: Selama Anda setahun di kapal, apa ada teman-teman yang dipindahkan ke kapal lain?

Rusnata: Di Long Xing 607, kalau ada anak [awak Indonesia] yang minta pulang, akhirnya dipindahkan ke kapal lain. Ujung-ujungnya ketemu lagi. Seperti saat di Manado akhirnya ketemu lagi dengan orangnya. Dua tahun dia gak pulang. Aku gak tahu seperti apa mainannya kapten, gak tahu bagaimana, jadi kalau ada yang minta pulang ya dipindahin [ke kapal longline DOF lain tanpa dipulangkan].

Mongabay: Itu kejadiannya sebelum Anda dan awak Long Xing 607 ini sandar di Samoa?

Rusnata: Iya, masih awal-awal 2-3 bulan, sudah banyak yang minta pulang. Nah, setelah demo gak ada tanggapan, ada 3 orang yang keukeuh ingin pulang. Malah ada 1 orang yang waktu kapal collecting mindahin ikan tuna, dia loncat, tapi kapten kapal collecting gak mau bawa dia. Disuruh loncat lagi, ya balik lagi dia [ke Long Xing 607].

Mongabay: Awak kapal yang pulang, apakah mereka diganti?

Rusnata: Ada. Jadi karena kapalnya itu mau pulang, ada kapal Tian Xiang 8 atau apa.. mau pulang, karena ada ABK-nya yang belum finish kontrak, nah itu dipindahkan ke kapal kita.

Waktu di Samoa ada yang pulang karena disuruh sama PT [perusahaan agensinya]. Kalau yang disuruh pulang sama PT 3 orang, nah yang 5 lain ini yang minta pulang sendiri. Terus di tengah [laut] mereka diganti.

 

Sebuah foto yang di posting ke Facebook, tampaknya oleh salah satu mantan kelasi Long Xing 607.

 

Baca juga: Perjanjian Kerja Laut dan Ancaman Eksploitasi Kerja di Kapal Perikanan

 

Mongabay: Apa saja kegiatan penangkapan ikan di Long Xing 607, apa target utama mereka dan apa alat tangkapnya?

Rusnata: Kalau target utama, yang namanya longline, ya ikan tuna. Cuma kayaknya yang diprioritaskan tuh hiu. Karena kalau hiu kan beda pancingnya. Kalau tuna kan cuma senar, kadang di beri hiasan lampu untuk penarik tunanya. Kalau untuk hiu tuh gak, di kasih kawat [wire], 30-50 cm gitu panjangnya, itu senarnya juga pendek. Jadi kalau rusak satu, langsung di bikin lagi gitu.

Kail [buat hiu] hampir sama [seperti tuna] cuma agak gede aja, dia pakai wire. Jadi dari pancing ke yoka dikasih wire dulu, sekitar 40 cm.

Buat tuna pakai wire juga, cuma kalau tuna cuma satu, yang wire kecil. Kalau yang buat hiu banyak, di dobel-dobel. Wire-nya dililit model tambang biar kuat. Gigi hiu kan tajam, kalau pakai senar mah gampang putus. Kalau pakai wire kuat…. karena si hiu bakal berontak saat dipancing, muter-muter kalau mau dinaikan, pas mau di gancu, ini supaya dia gak putus.

Mongabay: Apakah tangkapan hiu sudah ditargetkan sejak awal?

Rusnata: Kalau awal gak, sekitar berjalan 3 bulan di laut lah. Tiga bulan baru di kasih pancing untuk hiu. Jadi kayak hiu yang diprioritaskan. Hiu itu diambil cuma siripnya doang. Kalau dapat tangkapan hiunya sedikit, kapten putar otak, apakah perlu ganti umpan atau bagaimana.

Mongabay: Apakah alat tangkap itu selalu di pasang bersamaan antara buat pancing tuna dan hiu?

Rusnata: Iya, di-setting barengan selalu. Bahkan waktu tangkap tuna, kita pakai senar hiu yang ada wire-nya… cuma wire buat tuna satu, kalau wire buat hiu dobel tiga biar gak cepat putus.

Mongabay: Untuk memastikan jawaban Anda, jadi berarti Long Xing 607 memang ada maksud dan tujuan untuk tangkap hiu?

Rusnata: Ya. Ada.

Mongabay: Sengaja?

Rusnata: Ya, namanya juga dipasang berarti dia sengaja. Dia kan ada model pancing pake wire yang dikuatin, berarti dia memang harus dapat hiu. Biar pun dia sebutnya buat tambahan, istilahnya uang kapten. Dari ABK China, dia ngomongnya kayak gitu. Money money cuan cang, uang untuk kapten. Istilahnya uang sirip apalah gitu.

Mongabay: Di Long Xing 607 siapa yang mengajarkan Anda cara menangkap hiu?

Rusnata: Ada perintah dari mandor, kita disuruh bikin pancing model gitu [pakai wire], terus langsung di setting. Kita mah ikut perintah mandor aja.

 

Catatan editor: Seperti mantan kelasi DOF lainnya yang diwawancarai oleh Mongabay, Rusnata memberikan penjelasan rinci tentang bagaimana mereka akan melumpuhkan hiu, menggunakan sejenis tombak listrik atau harpun untuk melumpuhkan hiu yang ditarik ke atas dek dan membuat mereka pingsan.

 

Sketsa cara menangkap hiu oleh Rusnata dilengkapi dengan wire leader. Foto: Wienda Parwitasari untuk Mongabay.

 

Mongabay: Bisa ceritakan cara hiu dinaikkan ke kapal?

Rusnata: Hiu itu kan susah matinya. Kalau gak diputusin atasnya [di potong kepalanya], masih bergerak, kepalanya tuh, disininya, set, pakai pisau. Sudah gak bisa gerak lagi. Sumsumnya harus kena dulu.

Kalau gak dipotong gitu ya berontak-berontak, dipalu-palu juga masih berontak. Yang paling gampang terus cepat.. ya disetrum, hiunya lemes, kalau sudah naik ke atas dia berontak [lagi], setrum aja lagi, dia terus kejang-kejang, sudah lemes dia, nah cepetan di potong atasnya, lalu keluar darah.

Catatan redaksi: Rusnata mengatakan kapalnya menghasilkan total sekitar 110 karung sirip kering selama perjalanan mereka, masing-masing seberat sekitar 30 kilogram. Sebagian karung ini dipindahkan ke longliner DOF lain di tengah perjalanan, sedangkan sisanya masih berada di atas kapal saat Rusnata dipulangkan pada akhir tahun 2020.

 Dia mendeskripsikan transshipment sirip hiu, yang dilakukan di tengah Samudera Pasifik:

Rusnata: Kita pakai pelampung karet, mirip ban mobil, dibawahnya ada pelampung karet ngambang. Kita isi damprahnya dengan sirip hiu kering, lalu diturunkan. Dua orang dari kapal 607 ikut naik ke damprah. Terus kapal kita menjauh dari damprah. Kapal satunya datang, lupa itu namanya Tian Yu atau Tian Xiang, kapal lalu mendekat ke damprah. [Red: damprah: bantalan pengaman sandar lambung kapal, biasanya terbuat dari bekas ban atau karet lainnya]

Dia lempar tali dan damprah itu ditarik mendekat ke kapal yang satunya. Terus sirip hiu keringnya dipindahin ke kapal itu. Satu kali transfer barang, itu ada tiga kali bolak-baliknya.

Yang pertama antar, itu salah satu dari dua orang dari 607 itu namanya Rizki dari Aceh dan wakil mandor. Saya sebenarnya disuruh tapi saya nolak, saya bilang takut. Yang kedua dan ketiga itu wakil mandor dan kepala freezer aja.

Nah, di dalam karung itu hanya ada sirip besar aja. Sirip yang kecil di makan sama orang China. Kita gak pernah campur sirip besar dan sirip kecil di karung. Karung hanya di isi sirip atas, sirip samping dan sirip ekor besar. Di kapal saya, sirip kecil itu gak dijemur, tapi dimasak untuk orang China. Sirip yang besar di jemur terus dikarungin.

Catatan redaksi: Rusnata memberikan gambaran rinci bagaimana sisa bangkai hiu seringkali di buang ke laut. Terkadang awak kapal menyisakan bagian tubuh hiu seperti isi perut (jeroan) dan daging untuk di makan atau di simpan, untuk umpan pancingan hiu selanjutnya.

Kadang-kadang, mereka memotong tubuh hiu menjadi potongan tipis dan dikeringkan di bawah sinar matahari, yang nantinya akan dimasak oleh koki kapal. Daging hiu untuk semua orang, baik awak kapal Tiongkok maupun kelasi Indonesia. Rusnata mencicipinya sekali dan tidak menyukainya, orang Indonesia lainnya tidak pernah memakannya.

 

 

Estimasi penangkapan hiu tahunan yang dilakukan oleh 6 armad Dalian Ocean Fishing (DOF)

 

Mongabay: Anda yakin ada sekitar 80 karung yang dipindahkan yang beratnya sekitar 25 sampai 33 kg?

Rusnata: Iya, saya yakin, orang saya yang ngarungin kok. Saya yang nimbang. Yakin.

Catatan redaksi: Rusnata tidak sepenuhnya paham dari mana inisiatif menangkap hiu itu berasal. Namun, dia mendengar dari mandor Tionghoa di kapalnya bahwa uang dari sirip hiu akan dikantongi oleh kapten.

Mongabay: Apa maksud dari money money cuan cang itu?

Rusnata: Uang jatah kapten kita, cuan cang kan kapten. Jadi ini uang kapten atau istilahnya bonus. Bonus jabatan, bonus dari uang sirip. Kalau bonus [buat kru] kan kapten yang tentukan. Kalau dari kantor, gaji misalkan 400 ya sudah segitu. Kalau nanti ada tambahan itu dari kapten. Ya, mungkin ngambil uangnya dari situ, dari nangkep hiu itu.

 

Jenis-jenis spesies hiu yang ditangkap oleh armada Dalian Ocean Fishing (DOF)

 

Catatan editor: Sejak Long Xing 607 meninggalkan Samoa pada akhir 2019, kapal-kapal di bawah armada DOF di Samudra Pasifik berhenti menangkap ikan tuna dan mulai hanyut di laut lepas, tampaknya karena masalah keuangan di perusahaan.

Rusnata: Di 607 sejak dari Samoa, sudah setahun kita gak kerja. Sejak itu kapalnya diam saja di tengah laut, diam kayak ngetem gitu, tapi iseng-iseng buang pancing beberapa biji buat cari hiu.

Kita kerja juga cuma buang pancing di pinggir, itu pun setengah jam selesai. Pasang pagi nih misalnya, entar ditariknya sore, terus sore habis narik sekalian di pasang lagi buat entar pagi, ya itu paling lama sejam lah. Cuma berapa biji pancing, karena untuk cari hiu.

Mongabay: Apa yang dikatakan oleh kapten saat itu?

Rusnata: Dia bilang gak ada solar, tapi kita penasaran kan baru isi solar dari kapal tanker dua bulan lalu, tapi masih gitu juga [tidak operasi]. Mereka bilang ini gak ada surat operasi dari kantor. Kita penasaran, katanya ada virus gitu. Ya sudahlah, kita ngikutin aja.

Mongabay: Apa mereka pernah sebut kalau perusahaan Dalian bangkrut?

Rusnata: Gak pernah, cuma pernah dengar dari orang China-nya bilang, kalau katanya mereka sudah gak ada uang. Ya maksud mereka sudah gak dapat gaji. Kita waktu itu gak sampai mikir perusahaannya bangkrut atau bagaimana, karena keterbatasan bahasa juga saat mereka menjelaskannya ke kita.

Catatan editor: Pada akhir tahun 2020, semua kapal DOF yang tersisa di Pasifik berkumpul bersama di perairan internasional, berlayar balik dan berlabuh di lepas pantai Shandong, Tiongkok. Rusnata menyebut muatan berupa sirip hiu tidak diturunkan ke darat. Dikarenakan merebaknya infeksi virus corona di daratan, dia berdiam di kapal saja.

 

Foto yang diposting ke Facebook oleh salah satu awak kapal Dalian Ocean Fishing yang kapalnya berlabuh di lepas pantai Shandong pada akhir tahun 2020.

 

Mongabay: Bisa diceritakan waktu berlabuh di Tiongkok, apakah Anda turun, atau apa yang Anda lakukan?

Rusnata: Kalau aku gak, saya coba hubungi Sugiyono [Direktur PT Setia Putra Nelayan, agensi penyedia TKI] saya telepon tapi gak pernah mau angkat. Di WA sekarang, balasnya nanti malam, besok atau lusanya.

Mongabay: Waktu kapal sandar di Shandong, apakah ada muatan asal Samoa diturunkan, lalu sirip hiunya bagaimana?

Rusnata: Gak ada sama sekali yang dipindahin. Kalau ikan tertata rapi, kalau sirip hiunya benar-benar ditutupin dengan sisa-sisa  makanan kayak tepung dan beras.

Mongabay: Meskipun sudah kembali di pelabuhan Tiongkok?

Rusnata: Iya, udah di China. Kru China juga bilang gak ada duit [perusahaan sudah kehabisan uang atau tidak membayarkan gaji]. Mereka jelaskan dengan bahasa China dan kita ngertinya cuma dikit-dikit. Kita nangkapnya sudah gak ada duit, gitu doang.

Kita tahunya waktu sandar di China, ada virus [corona]. Waktu mau isi solar yang terakhir, ada yang antar selangnya dengan sampan. kebetulan dia orang Indonesia. Dia kasih tahu [di daratan] sedang ada virus.

Kita jadi gak protes keras ke kapten. Kebetulan kita udah finish kontrak bulan Oktober, sudah wajar dong kita protes kenapa gak pulang-pulang terus gak jelas kerja apa gitu. Pas dijelasin ada virus ya kita gak berani protes terlalu keras sih.

Mongabay: Selama 10 hari jangkar di Shandong itu apa sempat ketemu dengan otoritas pihak setempat?

Rusnata: Dari pihak [otoritas] Chinanya gak ada sama sekali yang masuk ke kapal. Ibarat sama saja kayak kita waktu di tengah laut, cuma bedanya kita bisa liat gunung, udah gitu doang.

 

Catatan editor: Beberapa waktu kemudian, awak kapal asal Asia Tenggara dipulangkan ke Indonesia dan Filipina. Semua orang Indonesia di muat ke dua kapal DOF, Long Xing 601 dan 610, selanjutnya menuju Pelabuhan Bitung di Manado. Dalam perjalanan pulang ini, Rusnata melihat ada jenazah awak kapal Indonesia yang diturunkan di Pelabuhan Bitung, Manado.

 

Salah satu dari dua jenazah yang dilihat Rusnata sedang diturunkan di Bitung pada November 2020. Jenazah tersebut adala Saleh Akota dan Rudi Ardianto, yang kematiannya terjadi tiga bulan sebelumnya di Samudera Pasifik. Keduanya meninggal karena penyakit yang tidak diketahui, jelas kementerian luar negeri Indonesia saat itu. Foto: Kemenlu RI.

 

Mongabay: Bisa diceritakan bagaimana saat Anda pulang ke Indonesia sejak kapal masih turun jangkar di Tiongkok, terus kemudian dapat kabar akan ada yang antar pulang ke Indonesia?

Rusnata: Pas hari ke-9 di China, kapten tiba-tiba panggil. Kebetulan saya yang ibarat leader-nya ABK Indonesia, dipanggil, di kasih surat. Memang cuma print-an doang, tapi aku lihat ada cap KBRI dan tulisannya pun Indonesia. Isinya, pemberitahuan kalau kita yang 155 orang [dari semua kapal-kapal DOF di Pasifik barat] pulang semua ke Indonesia dengan 2 kapal.

Terus, waktu masuk ke perairan Indonesia, di perairan Bitung ada pengawalan polisi. Jadi di pinggir-pinggir kapal Long Xing [601 and 610] tuh ada polisi air, pakai perahu kecil, kapal sandar jam 9 pagi, gak langsung turun, masih semalam lagi di kapal. Baru paginya ada yang datang buat tes… kayak rapid gitu lah, dicek.

Catatan editor: Rusnata menceritakan sesampainya di Bitung dia diterlantarkan oleh perusahaan agensi pengirim awak kapal. Perusahaan itu PT Setia Putra Nelayan tidak bertanggungjawab terhadapnya, berkali-kali dihubungi responnya negatif.

Rusnata awalanya tidak curiga dengan agennya, dalam kontrak PKL (Perjanjian Kerja Laut) yang dibuat bersama PT Setia Putra Nelayan, Rusnata tidak melihat ada hal-hal yang janggal atau berbeda dengan kontrak dia sebelumnya. Disebut di dalam kontraknya ini, dia akan beroleh upah sebesar USD 450 per bulan.

 

Rusnata di dapur tempatnya sekarang bekerja di sebuah cafe di Tangerang. Foto: Wienda Parwitasari untuk Mongabay.

 

Baca juga: Bagaimana Menata Kelola Pengiriman Awak Kapal Perikanan yang Tepat?

 

Mongabay: Bicara tentang agensi, berapa lama sampai akhirnya Anda ada komunikasi dengan pihak mereka?

Rusnata: Waktu di Bitung [sudah coba kontak] via telpon dengan Sugiyono [Direktur PT Putra Setia Nelayan]. Saya coba hubungi… saya sempat bingung, nomornya gak aktif, waduh, Sudah dua hari di Bitung, gak aktif.

Cari cari akhirnya ketemu di Facebook, dan itu pun kayak… Pertama, responnya dia kaget. Kayak dia mau menghilang tanpa jejak gitu, kayak mau lepas tangan. Keliatan sih dari setiap saya tanya, ‘Pak, bagaimana hak saya?’ dia kayak mau lepas tangan, kayak gak peduli. Mengalihkan pembicaraan terus.

Mongabay: Jadi saat itu kesan yang Anda terima dia tidak tahu jika Anda sudah berada di Indonesia?

Rusnata: Nah itu, makanya aku bilang kaget, lho kok dia gak tau ABK-nya dia pulang? Aku mikirnya dia pura-pura gak tau. Saya nangkapnya kayak gitu, dia kayak kaget gitu.

Mongabay: Berapa lama sampai akhirnya Anda bisa pulang ke rumah?

Rusnata: Lima hari. Sejak dari hasil swab-nya keluar kan 2 hari, nah itu besoknya [rekan-rekan] sudah ada yang pulang. Kalau dari PT lain, agensi lain, ada yang datang perwakilannya.

Kita tinggal sisa 20 orang yang gak jelas gitu. Malah ada 6 orang yang tiketnya bukan dari agensi, tapi pihak BP2MI [Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia], pemda Manado yang belikan tiketnya.

Yang 6 orang itu benar-benar hilang kontak dengan agensinya, nomornya gak aktif, kantornya sudah gak tahu di mana. Kalau saya masih aktif nomor si Sugiyono ini, cuma ya susah dihubunginya gitu. Setelah 5 hari akhirnya pulang. Sugiyono yang belikan tiket [ke Jakarta].

Mongabay: Selain di bayari tiket pesawat pulang ke Jakarta, bagaimana Anda menanyakan hak-hak Anda?

Rusnata: Di Bitung saya tanya, ‘Pak, gaji saya gimana?’ Ya, kita nuntut, karena dari BP2MI suruh pihak perusahaan yang belikan tiket ke Soekarno Hatta dari Manado. Gitu saja susahnya minta ampun, padahal cuma mau beli tiket doang.

Alasannya dia bilang [belum dapat transferan] dari Dalian. Cuma yang saya buat heran teman saya yang satu kapal, ada yang sudah terima. Dengar kabar kan Daliannya baru bulan-bulan berapa baru bermasalahnya. Masa iya gak ada sama sekali transferannya [dari Dalian ke agensi].

Kalau saya, sejak awal berangkat sampai saya pulang, benar-benar gak ada uang transferan sama sekali.

Saya desak terus ke Sugiyono, dia bilang belum ada sama sekali. Sampai saya bilang, ‘pak kita pulang dari laut pengen pulang juga ke rumah, bisa minta kasbon entah berapa, yang penting saya bisa pulang dulu ketemu keluarga. Masalah gaji sisanya ya udah nanti.’

Sampai sekarang 1000 perak pun gak ada dia kasih. Banyak janji-janji, ‘ya entar saya transfer,’ bilang hari Senin, gak jadi, ‘iya Mas, entar malam.’ Ya begitu, ngilang-ngilang kayak gitu sampai sekarang.

Mongabay: Kalau boleh tahu, berapa dari hitungan Anda yang harus dibayarkan oleh mereka?

Rusnata: Kalau untuk gaji doang Rp140-an [juta] di luar bonus.

Mongabay: Apa Anda ada rencana untuk bawa masalah ini ke pihak berwajib atau lapor polisi?

Rusnata: Sebetulnya, dari pihak SPPI [Serikat Pekerja Perikanan Indonesia] juga sudah bantu kejar, cuma ya kita gak bisa apa-apa karena keterbatasan biaya [kemana-mana juga perlu biaya]. Jadi kita juga cuma di sini, makan yang nanggung juga Pak Ilyas [ketua umum SPPI].

Mau pinjam sama saudara atau teman juga malu. Kan kita pulang merantau masa iya malah jadi pinjam uang. Mau pulang juga gak berani, gitu. Ya sudahlah kita tunggu saja Daliannya [bayar].

Mongabay: Pertanyaan terakhir, apakah Anda masih berpikir untuk balik berlayar kembali?

Rusnata: Saya masih belum tahu. Ini masih mikirkan hak saya dulu aja [yang belum] keluar, untuk ke depannya, nanti saja dulu deh [dipikirkan].

 

Foto utama: Rusnata di dapur tempatnya sekarang bekerja di sebuah cafe di Tangerang. Foto: Wienda Parwitasari untuk Mongabay.

***

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: It was a shark operation: Q&A with Indonesian crew abused on Chinese shark-finning boat

 

Exit mobile version