Mongabay.co.id

Tidak Mudah Terurai, Sampah Styrofoam Bisa Merusak Lingkungan

 

Saat ini, keberadaan plastik tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Dan dampak sampah plastik pun sudah mulai dirasakan bersama.

Berdasarkan laporan Bank Dunia, pada tahun 2016 kawasan Asia Timur dan Pasifik merupakan penyumbang limbah terbesar, jumlahnya sebanyak 23% atau sekitar 468 juta ton. Sedangkan Eropa dan Asia Tengah menyusul dengan 392 juta ton, atau setara dengan 20% dari total limbah.

Sedangkan di Indonesia, berdasarkan penelitian pada tahun 2018 yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang saat ini melebur ke Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), di 18 kota utama di Indonesia mereka menemukan 0,27 juta ton hingga 0,59 juta ton sampah masuk ke laut. Salah satu sampah yang banyak ditemukan yaitu sampah styrofoam.

Masyarakat menggunakan styrofoam karena mudah didapatkan. Padahal jika sudah menjadi limbah dan tidak terkelola, sampah styrofoam ini bisa bertahan lama karena sifatnya yang tidak mudah terurai. Keberadaan benda yang dalam proses pembuatannya melibatkan pencampuran gelembung udara ini bisa mengotori daratan, sungai, dan lautan.

Bahkan sebuah penelitian menyebutkan, untuk dapat terurai dengan tanah sampah styrofoam membutuhkan waktu sekitar 500 – 1 juta tahun.

Terurainya pun tidak sempurna, namun bisa berubah menjadi mikroplastik yang bisa mencemari perairan. Secara kasat mata mikroplastik tidak terlihat. Tetapi, bahayannya bisa menjadi ancaman yang nyata.

baca : Soal Styrofoam, Bagaimana Seharusnya?

 

Dua bocah mandi di sungai dengan latar belakang sampah styrofoam. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Novrizal Tahar, Direktur Penanganan Sampah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah B3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam dalam konferensi pers bertajuk “Indonesia Darurat Sampah Styrofoam, #SayToStyrofoam Mulai Sekarang!” belum lama ini di Jakarta mengatakan, keberadaan sampah plastik termasuk styrofoam ini memang sudah menjadi masalah serius, bukan hanya di Indonesia tetapi juga menjadi masalah diseluruh dunia.

Jika sudah masuk ke perairan sampah plastik bisa menjadi persoalan sehingga, KLHK sangat mendukung kampanye #SayNoToSyrofoam.

 

Kejar Target

Di tahun 1995, kata Novrizal, sampah di Indonesia itu masih 9 persen. Sekarang ini pada posisi diangka 17 persen. Artinya, pola konsumsi masyarakat memang mengalami perubahan dengan lebih banyak menggunakan kemasan plastik daripada pembungkus yang ramah lingkungan.

Untuk mengatasinya pemerintah sendiri menerbitkan kebijakan terkait pengurangan sampah plastik ini. Salah satunya lewat Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut.

“Kami juga memiliki target ingin mengurangi sampah plastik ke laut sebanyak 70 persen pada tahun 2025. Mengenai penanganan sampah yang masuk ke laut, pada tahun 2018 Indonesia juga punya baseline data (sampah plastik) tersendiri,” jelasnya.

Upaya lainnya pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, atau dikenal pula sebagai extended producer responsibility.

Di peraturan ini dinyatakan secara tegas bahwa pemerintah akan mendorong pengurangan plastik sekali pakai dalam bentuk road map 2030 antara lain single use plastic, single use bag yang di dalamnya membahas sedotan dan styrofoam untuk food packaging.

Hal ini, kata dia, juga perlu didukung dengan perubahan perilaku masyarakat. Dari yang semula menggunakan wadah styrofoam bisa diganti dengan wadah yang ramah lingkungan. Kalau bisa harus menjadi life style, baiknya lagi bisa menjadi jalan hidup. Terkhusus untuk anak-anak muda.

“Saya sendiri sejak tahun 2018 setiap pengiriman bunga ucapan, baik itu bunga duka cita atau bunga untuk yang lagi wedding saya pasti tidak menggunakan styrofoam,” katanya.

baca juga : 2025, Sampah Plastik Berkurang 70 Persen? 

 

Sampah menumpuk di bibir pantai di Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Salah satu yang banyak ditemukan merupakan sampah styrofoam. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sejak 2018 pihaknya juga aktif berkampanye soal kebijakan yang sudah dikeluarkan. Dibandingkan dengan base line tahun 2018, basis data sampah plastik ke laut yang dihitung pada tahun 2021 ada progres pengurangan sebesar 28,5 persen.

Sedangkan Ruhani Nitiyudo, Co-Founder of The Anthea Project mengatakan pihaknya membantu pemerintah menangani sampah dengan mengajak seluruh lapisan masyarakat, termasuk para pemangku kebijakan seperti pemerintah pusat maupun daerah.

“Kami juga menyerukan kepada pelaku industri yang masih menjalankan business yang tidak sustainable, misalnya perusahaan Indofood CBP Sukses Makmur dimana Pop Mie sebagai salah satu produknya masih menggunakan styrofoam,” ungkapnya dalam kesempatan yang sama.

Hal itu ini, kata perempuan berkacamata tersebut, dikarenakan setiap aksi bersih-bersih yang dilakukan di pantai selalu menemukan kemasan Pop Mie yang menggunakan Styrofoam diantara tumpukan sampah.

Untuk itu, pihaknya menyerukan agar produsen jenis makanan dan minuman untuk menghentikan penggunaan styrofoam. Karena kemasan sekali pakai yang tidak ramah lingkungan itu bisa merusak alam, sehingga masa depan generasi anak muda bisa terancam.

Kedepan, pihaknya juga anak mengirimkan surat terbuka kepada perusahaan makanan maupun minuman yang masih menggunakan kemasan sekali pakai untuk menggantikannya dengan wadah yang ramah lingkungan.

“Terpenting kami juga terus mengajak anak muda untuk lebih menerapkan gaya hidup yang ramah lingkungan dari rumah, yaitu dengan membiasakan diri memisahkan sampah. Berikutnya kami juga akan melaksanakan kegiatan bersih-bersih dengan tema Antheia Beach Clean Up Vol.4,” jelas dia.

Kegiatan itu, merupakan aksi langsung yang melibatkan anak-anak muda untuk turun ke lapangan melakukan bersih-bersih. Agar anak-anak muda bisa melihat realitas problem sampah, khususnya styrofoam yang merusak lingkungan.

menarik dibaca : Ilmuwan Temukan Cacing Super Pemakan Sampah Plastik

 

Karangan bunga ucapan yang salah satu bahannya menggunakan styrofoam. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Dedhy Bharoto Trunoyudho, Founder Garda Pangan menceritakan pengalamannya menjalankan Yayasan yang bergerak di bidang sosial, lingkungan dan penyelamatan makanan berlebih.

Sejak tahun 2017 untuk mengambil sisa makanan dari hotel maupun bisnis catering yang masih bisa dikonsumsi mereka menggunakan kontainer. Begitu juga saat mendistribusikannya ke masyarakat pra-sejahtera.

Makanan yang didistribusikan itu tidak dikemas, namun warga diminta untuk membawa wadah sendiri. Dengan demikian, warga bisa mengurangi ketergantungan menggunakan kemasan plastik sekali pakai.

“Karena kita punya konsentrasi di isu lingkungan juga. Sehingga sebisa mungkin tidak menggunakan kemasan plastik sekali pakai,” pungkasnya.

 

Exit mobile version