Mongabay.co.id

Kala Aliran Sungai Batang Toru Makin Kecil, Warga Khawatir Operasi PLTA Bakal Perparah Keadaan

 

 

 

 

 

Edy Hutasuhut, ingat betul kondisi Aek Sitandiang saat masih remaja. Dulu, sungai di Dusun Sitandiang, Desa Bulu Mario, Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan itu mengalir dengan ketinggian air sekitar tiga meter lebih tinggi dari sekarang.

Dia menunjukkan titik bambu yang dibangun warga sekitar dua tahun lalu dan membandingkan ketinggian air sungai dulu dan sekarang.

“Kalau dulu air sungai ini bisa mencapai setinggi titik bambu itu, sekarang beginilah,” katanya saat membawa Mongabay ke sungai yang berjarak sekitar satu kilometer dari dusun itu, awal September lalu.

Kedalaman sungai rata-rata setinggi lutut orang dewasa.  “Dulu ini tak pernah begini, sekalipun kemarau, dulu debit air sungai tidak pernah serendah ini,” katanya.

Pada September hingga akhir tahun,  biasa curah hujan mulai tinggi, tanpa kecuali di Tapanuli Selatan. Debit air pada aliran-aliran sungai biasa akan ikut naik. Berbeda dengan tahun-tahun belakangan ini, seperti pada September lalu, debit air sejumlah sungai yang mengalir ke Sungai Batang Toru, seperti Sungai Aek Batang Paya, Sungai Malakkup, dan Sungai Sitandiang, tampak rendah.

Menurut Edy, belakangan ini pada musim kemarau,  biasanya awal tahun, warga desa mulai menghadapi kekurangan air untuk dialiri ke persawahan. Sungai itu merupakan sumber air untuk persawahan tiga desa. Selain untuk mengairi persawahan di Dusun Sitandiang, air dari sungai itu juga untuk mengairi persawahan di dua dusun terdekat, Paskes di Desa Aek Batang Paya dan Dano.

Pada musim kemarau, katanya,  warga tiga dusun itu mulai kesulitan mendapatkan air dari sungai untuk dialirkan ke areal persawahan mereka. Bila dulu ketiga dusun masih dapat menerima aliran air dari sungai ke sawah, belakangan hanya dapat ke satu dusun, yaitu Sitandiang.

“Sekarang tak semua dusun lagi dapat dialiri sawah dari sungai ini, apalagi kalau kemarau.”

 

Baca juga: Proyek Bangun PLTA Batang Toru Jalan, Rumah Warga Rusak Bahkan Roboh

Hutan batang Toru dengan aliran sungai yang mengalir dan menjadi tumpuan hidup masyarakat sekitar. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

***

Sitandiang merupakan salah satu dusun terdekat di hulu lokasi proyek (PLTA) Batang Toru, yang dibangun di areal yang meliputi tiga kecamatan, Sipirok, Marancar dan Batang Toru (Simarboru).

Dari luasan 6.598,35 hektar PT North Sumatra Hydro Energy,  untuk izin PLTA, 447 hektar akan jadi areal pembangunan bendungan dan terowongan untuk memutar turbin, areal quarry (penggalian material untuk beton), spoil bank, powerhouse, juga fasilitas infrastruktur seperti akses jalan di areal proyek.

Sesuai Perda No. 2/2017 tentang Tata Ruang Wilayah 2017-2037 Pasal 49 ayat 2, Batang Toru sebagai wilayah prioritas dan kawasan strategis provinsi. Kawasan seluas 240.985,21 hektar ini terbagi atas kawasan inti terdiri kawasan hutan lindung dan suaka alam seluas 147.771,82 hektar. Ada juga jadi kawasan penyangga terdiri dari areal penggunaan lain, hutan produksi dan hutan produksi terbatas) seluas 94.213,39 hektar.

Kawasan hutan Batang Toru—mencakup tiga kabupaten: Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah—di dalamnya termasuk Hutan Lindung Sibolga seluas 1.875 hektar, Cagar Alam Dolok Sipirok 6.970 hektar dan Cagar Alam Sibual-Buali 5.000 hektar.

Sekitar 120.000 hektar merupakan hutan alami yang menyangga ekosistem Batang Toru di blok barat dan timur, yang kaya keanekaragaman hayati dan sebagai sumber air bagi ekosistem dan kebutuhan masyarakat.

Analisis Walhi Sumut menyebutkan, andal PLTA Batang Toru yang disusun pada–2014 revisi pada 2016, aliran Sungai Batang Toru akan dikelola jadi motor penggerak turbin yang dialirkan melalui empat terowongan untuk menghasilkan energi listrik berkapasitas 510 MW. Aliran Sungai Batang Toru akan dibendung selama 18 jam dan akan dilepas selama enam jam.

Menurut organisasi lingkungan yang pernah mempersoalkan perubahan andal NSHE pada 2019 ini, hal itu berpotensi menyebabkan banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Ia sebagai akibat anomali pada aliran sungai yang sengaja dibendung untuk memutar turbin.

Kajian Walhi Sumut menyebutkan, untuk menghidupkan keempat turbin serentak perlu aliran air 228 m3  perdetik. “Bagaimana dari sungai yang mempunyai potensi rata-rata 230 MW bisa dihasilkan 510 MW? Caranya, dengan membendung air selama 17-18 jam, kemudian melepaskan air selama 67 jam melalui empat turbin,” kajian Walhi Sumut, pada 2018.

Hasil kajian Walhi Sumut dan Yayasan Ekosistem Lestari pada 2013 menunjukkan,  sekitar 85% masyarakat petani yang tinggal di sekitar hutan Batang Toru menggantungkan air untuk pertanian dan konsumsi rumah tangga.

Awal September lalu, Mongabay secara datang langsung dan lebih dekat aktivitas di lokasi quarry dengan perbukitan terkikis dan bebatuan diangkut dan dikumpulkan dalam satu area. Dari dokumen visual, tampak sejumlah pekerja bekerja pada malam hari di area quarry dan terowongan.

 

Baca juga: Kopi Arabika dan Kelestarian Hutan Batang Toru

Petani kopi di Batang Toru. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Beberapa hari sebelumnya, 21 Agustus lalu, dua pekerja jatuh saat bekerja di quarry itu. Seorang pekerja dari Tiongkok berusia 52 tahun tewas, seorang lagi luka parah.

Aktivitas kawasan hutan yang berubah status jadi APL untuk quarry dan pembukaan akses terowongan disinyalir makin mendegradasi areal yang sebagai sumber air. Ia mengalir ke anak-anak sungai sebelum ke Sungai Batang Toru, yang disebut sebagai induk dari segala sungai di Bentang Batang Toru.

“Sangat khawatir bila nanti PLTA mulai beroperasi, daerah aliran sungai yang terkoneksi dengan Sungai Batang Toru, akan mengering,” kata Khairul Bukhari, dari Walhi Sumut.

Kondisi ini, katanya, akan berdampak buruk bagi ekosistem Batang Toru dan kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidup dari aliran sungai. “Sungai ini berguna untuk mengaliri pertanian, tangkapan ikan di sungai dan sumber air untuk rumah tangga,” katanya.

Mongabay berupaya mengkonfirmasi NSHE sejak akhir September 2022 untuk menanyakan seputar pembangunan proyek pembangkit listrik Batang Toru dan kekhawatiran warga terjadi krisis air.

Orang perusahaan dihubungi, kemudian memberi email perusahaan. Mongabay diminta mengirimkan surat permohonan wawancara dan konfirmasi ke email itu.

Pada 3 Oktober,  Mongabay mengirimkan surat yang berisi pertanyaan-pertanyaan ke email perusahaan namun, sampai liputan ini terbit, NSHE tidak memberiksan balasan.

PLTA Batang Toru dibangun secara konsorsium antara NSHE dengan anak perusahaan PT PLN, PT Pembangkit Jawa Bali, di areal seluas 6.598,35 hektar. Ia berada di sekitar landskap Batang Toru, meliputi tiga kecamatan: Sipirok, Marancar dan Batang Toru (Simarboru).

Adapun kepemilihan saham NSHE sebesar 52,82% dari PT Dharma Hydro Nusantara, sekitar 25% PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi dan 22,18% Fareast Green Energy Pte Ltd.

Dalam dokumen NSHE dari Direktorat Jenderal AHU, Kementerian Hukum dan HAM, per 10 November lalu, saham mayoritas tetap sama di tangan Dharma Hydro tetapi komisaris utama Zhang Kaihong, warga Tiongkok.

Dalam laporan  tahunan 2021SDIC Power Holdings. Ltd, perusahaan negara Tiongkok,  menguasai kepemilikan saham di pembangkit air di Batang Toru ini. Dalam data  Ditjen AHU, yang menyebutkan kalau Zhang Kaihong sebagai komosioner utama PT Dharma Hydro, juga merupakan  Wakil Presiden  SDIC Power Holdings. Ltd.

 

Baca juga: Janji Kerja di  Proyek PLTA Batang Toru, Warga Lepas Tanah Ada yang Rp4.000 per Meter

Lahan pertanian warga yang memerlukan pengairan dari sungai di batang Toru. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

`

 

***

Dusun Sitandiang, dihuni 35 keluarga yang hidup bergantung pertanian, seperti padi, aren, kelapa dan sebagian kecil lagi kopi. Dusun ini satu dari puluhan dusun di 17 desa yang tergantung dari aliran sungai.

Warga dusun gunakan air untuk pertanian dan konsumsi air minum dari anak-anak sungai yang mengalir ke Sungai Batang Toru.

Menurut Bullah Hutasuhut, penatua di Dusun Sitandiang, meski belum parah, namun ketersediaan air di dusun mereka sudah mulai menunjukkan gejala makin sedikit.

Bila musim kemarau, warga mulai kesulitan mendapatkan air pegunungan untuk kebutuhan rumah tangga. Dia khawatir,  bila nanti PLTA mulai beroperasi, kerawanan krisis air bisa akan lebih parah.

“Kalau musim kemarau kadang pernah air mengecil selama seminggu, padahal dulu tidak pernah begitu. Mau musim kemarau atau tidak, air selalu ada, tidak pernah begitu,” kata Bullah.

Warga menduga, pembukaan lahan di kawasan hutan, termasuk salah satunya untuk PLTA Batang Toru, memicu pengurangan serapan air.

Mongabay juga mengitari kawasan yang memiliki anak-anak Sungai Batang Toru, antara lain, melihat Sungai Aek Batang Paya, di Desa Aek Batang Paya, yang area hulu proyek PLTA.  Aliran air sungai tampak kecil.

 

Baca juga: Orangutan Tapanuli Makin Sering Muncul di Kebun Warga

Pembangunan infrastruktur di Marancar untuk proyek PLTA Batang Toru. Foto: Tonggo Simangunsong

 

Awaluddin Siregar, Kepala Dusun Paskes, Desa Aek Batang Paya, mengatakan, kondisi debit air makin kecil. Akhir-akhir ini,  hujan agak jarang, dan mungkin pada September ke depan debit sungai itu akan normal kembali.

Abdul Jalil, perangkat Dusun Paskes, berharap sumber air mereka tak terganggu. Dia pakai aliran sungai untuk pengairan pertanian. Bersama warga dusun, mereka kini pasang pipa untuk dialirkan dari hulu di hutan ke areal persawahan.

“Kami sangat berharap agar air itu tidak terganggu dengan ada PLTA ini, jika pun nanti terganggu, kami berharap ada tanggungjawab dari perusahaan,” katanya.

PLTA Batang Toru belum beroperasi, bendungan pun belum selesai dibangun. Meskipun begitu, warga desa kini mulai resah dan khawatir dengan debit air yang terus berkurang. Mereka takut terjadi krisis air kalau sampai pembangkit listrik  tenaga air itu beroperasi.

“Saya tidak bisa bayangkan bagaimana nanti kalau PLTA ini mulai beroperasi, belum beroperasi aja sudah begini,” kata Edy khawatir.

 

Sungai Sitandiang, dengan ketinggian muka air terus berkurang. Foto: Tonggo Simangungsong/ Mongabay Indonesia

 

*******

 

 

Baca lagi:

Orangutan Tapanuli Makin Sering Muncul di Kebun Warga

Janji Kerja di  Proyek PLTA BAtang Toru, Warga Lepas Tanah Ada yang Rp4.000 per Meter

Proyek Bangun PLTA Batang Toru Jalan, Rumah Warga Rusak Bahkan Roboh

Kopi Arabika dan Kelestarian Hutan Batang Toru

Exit mobile version