Mongabay.co.id

Pungutan Hasil Tangkapan untuk Nelayan Sangat Memberatkan?

 

Permintaan untuk menurunkan tarif indeks Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari ketetapan sebesar 10 persen yang berlaku saat ini coba dicarikan jalan keluar melalui Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penetapan Nilai Produksi Ikan pada Saat Didaratkan.

Aturan tersebut menjadi harapan untuk bisa menengahi protes keras yang dilayangkan para nelayan dengan kapal berukuran di atas 60 gros ton (GT). Mereka keberatan untuk mengikuti aturan 10 persen, karena dinilai memberatkan.

Direktur Perizinan dan Kenelayanan Ditjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Ukon Ahmad Furqon menjelaskan, penerbitan Permen KP bisa menjadi solusi karena nilai produksi ikan pada saat didaratkan akan dihitung berdasarkan formula berat ikan hasil tangkapan dikali Harga Acuan Ikan (HAI).

HAI sendiri ditetapkan dengan mengakomodasi hitungan biaya operasional atau harga pokok produksi (HPP). Dengan kata lain, HAI yang menjadi variabel penghitungan PNBP pascaproduksi akan menjadi solusi, karena mempertimbangkan biaya operasional atau HPP.

Dia mengklaim, solusi tersebut bisa diterima dengan baik oleh para pelaku usaha, karena bisa menjadi jalan tengah untuk persoalan tersebut. Namun, solusi tersebut bersifat sementara, karena pihaknya sedang memproses revisi aturan indeks tarif dalam Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Diberlakukannya solusi di atas, karena Pemerintah Indonesia berusaha menyerap semua aspirasi, terutama dari nelayan yang mengoperasikan kapal di atas ukuran 60 GT. Pemerintah tidak ingin aturan tarif indeks memberatkan para nelayan.

“Ini yang kita serap. Saat ini proses sedang berjalan, dan kami sudah diskusi dengan teman-teman di Kemenkeu dan mereka mendukung. Kami tetap diskusi bagaimana ini cepat selesai sesuai harapan,” ungkap dia di Jakarta, pekan lalu.

baca : Ribuan Nelayan dan Pelaku Usaha Perikanan  Demo di Cilacap, Belum Ada Hasil Pasti, KKP Bakal Disambangi

 

Direktur Perizinan dan Kenelayanan Ditjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Ukon Ahmad Furqon saat acara tentang biaya pungutan pascaproduksi PNBP sektor perikanan. Foto : KKP

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada kesempatan sebelumnya juga mengatakan, selain menunggu revisi PP 85/2021 dan memanfaatkan Permen KP 1/2023, untuk merespon persoalan indeks tarif PNBP pihaknya juga menerbitkan Permen KP 2/2023 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengenaan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan yang Berasal dari Pemanfaatan Sumber Daya Alam Perikanan.

Diketahui, penetapan PNBP pascaproduksi dilakukan KKP dengan mempertimbangkan rasa keadilan kepada semua pemilik kapal. Perubahan tersebut membuat pungutan hasil perikanan (PHP) tidak lagi dibayarkan berdasarkan perhitungan produktivitas kapal perikanan sebelum melakukan operasional penangkapan ikan, melainkan dibayar berdasarkan penghitungan volume produksi ikan riil setelah pelaku usaha melakukan usaha penangkapan ikan.

Adapun, penarikan PNBP Pascaproduksi menggunakan perhitungan indeks tarif berupa persentase (%) dikalikan nilai produksi ikan pada saat didaratkan berupa nominal rupiah (Rp). Untuk kapal penangkap berukuran sampai dengan 60 GT, indeksnya sebesar 5 persen, sedangkan kapal penangkap berukuran di atas 60 GT sebesar 10 persen.

 

Tujuan Berkelanjutan

Tentang pungutan pascaproduksi tersebut, Ukon Ahmad Furqon memberikan penjelasan lebih detail. Menurut dia, pemberlakuan tersebut memiliki tujuan baik karena untuk menjaga sumber daya ikan bisa tetap berkelanjutan.

Karena itu, indeks tarif pungutan diberlakukan kepada para pelaku usaha yang mengoperasikan kapal ikan dengan tonase yang sudah ditetapkan. Tujuannya, agar pelaku usaha bisa menjaga keberlanjutan sesuai dengan prinsip ekonomi biru.

“PNBP diharapkan bisa menjamin ekosistem laut, kehidupan sosial masyarakat, dan kesinambungan usaha,” terang dia.

baca juga : Catatan Awal Tahun: Apakah Positif atau Negatif, Capaian PNBP Perikanan 2022?

 

Aktivitas perikanan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Diterapkannya prinsip ekonomi biru untuk keberlanjutan, karena dia meyakini kalau ikan harus dikelola dengan sangat baik untuk mencegah terjadinya penurunan populasi yang disebabkan beragam hal.

Salah satunya, dengan disiplin menjalankan tata kelola perikanan melalui perizinan atau mekanisme output control. Cara ini akan menjaga sumber daya ikan dan pelaku usaha tetap berkelanjutan, karena ekonomi tetap berjalan, namun juga ekologi tetap dipertahankan.

Dengan berubahnya mekanisme pungutan dari praproduksi menjadi pascaproduksi, KKP kemudian memperkuat infrastruktur pelaporan menggunakan teknologi informasi. Upaya tersebut mendorong pelaku usaha mengisi secara mandiri data hasil penangkapan ikan pada aplikasi e-PIT.

Ukon Ahmad Furqon berharap, para pelaku usaha bisa melaporkan sesuai dengan hasil tangkapan dan Pemerintah akan melakukan verifikasi dengan detail. Jadi, kalau ada data seperti kekurangan bayar, maka otomatis pelaku usaha berkewajiban untuk membayar sisanya.

Tentang perubahan mekanisme pungutan, diatur tegas dalam Permen KP 85/2021. Pada mekanisme sebelumnya, PNBP Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dipungut secara praproduksi, yaitu membayar PHP sebelum melakukan usaha penangkapan ikan untuk setahun ke depan.

Sedangkan melalui mekanisme pascaproduksi, penarikan PNBP disesuaikan dengan volume ikan yang didaratkan, dengan bonus pengurusan surat izin penangkapan ikan (SIPI) tidak dikenai beban biaya.

“Dengan demikian penarikan PNBP lebih berkeadilan karena sesuai tangkapan riil. Di samping itu pendataan pun menjadi semakin akurat,” papar dia.

baca juga : Hak Istimewa Nelayan Tradisional pada Zona Penangkapan Terukur

 

Sebagian nelayan di Pelabuhan Perikanan Muara Angke, Jakarta, memilih memperbaiki alat tangkap berupa jaring disaat cuaca buruk. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Ketua Front Nelayan Bersatu Indramayu Kajidin meminta agar masa transisi peralihan dari mekanisme praproduksi ke pascaproduksi bisa dilakukan prosesnya lebih cepat. Tetapi, penetapan besaran tarif indeks sebesar 10 persen untuk kapal di atas 60 GT harus ditinjau ulang kembali.

Selain itu, proses adaptasi dan sosialisasi juga diharapkan bisa dibantu oleh Pemerintah, terutama tentang penggunaan teknologi aplikasi untuk memasukkan data hasil tangkapan. Tegasnya, Pemerintah tidak boleh membuat nelayan menjadi lebih sulit karena peralihan tersebut.

“Khawatirnya kalau salah input, kalau tidak sesuai dengan fakta yang ada, bisa jadi kesalahan bagi kita. Itu yang saya khawatirkan,” ungkap dia.

Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Sugeng Hari Wisudo memberikan pandangannya tentang mekanisme pascaproduksi. Menurut dia, penerapan pungutan pascaproduksi pada perikanan tangkap merupakan sesuatu yang baru di Indonesia.

Mekanisme tersebut diakuinya sebagai bagian dari pengelolaan perikanan secara berkelanjutan yang di dalamnya mencakup tiga unsur yang saling terkait. Di antaranya adalah keberlanjutan ekologi, ekonomi, dan sosial.

Berlakunya mekanisme pungutan pascaproduksi, diharapkan Indonesia bisa mencapai pengelolaan perikanan tangkap yang unggul dan berkelanjutan. Harapannya, kebijakan tersebut bisa menghapus kemiskinan, mengakhiri kelaparan, dan menjaga kelanjutan ekosistem laut.

“Peraturan bukan untuk kepentingan pemerintah saja, pelaku usaha, konservasi atau masyarakat kecil saja, tapi memadukan semuanya agar berjalan sinergi dan terus menurus,” pungkasnya.

 

Exit mobile version