Mongabay.co.id

Binturong dan Kearifan Masyarakat Pulau Bangka Menjaganya

 

 

Binturong dengan nama ilimiah Arctictis binturong [Raffles, 1921] merupakan satwa yang hidup di hutan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Meski tidak berhubungan, perpaduan rupa yang mirip beruang dan kucing, membuatnya dikenal sebagai bearcat atau ‘kucing beruang’.

Dikutip dari taxonomi iucnredlist.org, berdasarkan variasi warna bulu dan ukuran, sembilan subspesies binturong telah diusulkan [Pocock, 1933; Cosson et al., 2007], masuk Genus Arctictis, tersebar luas di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Namun, beberapa spesies penting untuk diklarifikasi ulang.

“Schreiber et al. [1989] mengusulkan klarifikasi taksonomi spesies penting, karena beberapa subspesies yang diusulkan, terutama Arctictis binturong kerkhoveni dari Bangka, Indonesia, dan Arctictis binturong whitei dari kelompok Pulau Palawan, Filipina, memiliki wilayah sebaran sangat kecil,” jelas situs tersebut, dikutip Sabtu [21/02/2022].

Binturong memiliki ciri-ciri fisik unik, bulu hitamnya panjang dan kasar, dan sebagian ujungnya beruban. Memiliki berat 6 hingga 20 kilogram, panjang tubuh 90 sentimeter, ditambah ekor dengan panjang yang hampir sama. Mamalia ini yang terbesar dari keluarga Viverridae [musang, linsang, dan lainnya].

Saat tidur, ekor kuat binturong melilit dahan pohon sebagai pengaman, juga berfungsi layaknya tangan yang dapat memegang dan membantunya memanjat pohon.

Jennings et al. [2009], menjelaskan satu-satunya karnivora lain dengan ekor yang dapat memegang adalah kinkajou [Potos flavus], mirip binturong dalam kebiasaan sampai batas tertentu.

Berdasarkan IUCN, binturong berstatus Rentan [Vulnerable]. Di Indonesia, termasuk satwa dilindungi berdasarkan P.106/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.

Baca: Cara Unik Masyarakat Pulau Bangka Menjaga Kelestarian Satwa Liar

 

Binturong [Arctictis binturong] merupakan satwa liar dilindungi. Foto: Nopri IsmiMongabay Indonesia

 

Kearifan

Bagaimana kondisi binturong di Pulau Bangka?

Mapur adalah Suku Melayu tua di Pulau Bangka yang terkenal dengan pengetahuan terkait alam, salah satunya pemanfaatan satwa sebagai obat tradisional. Berdasarkan penelitian Afriyansyah, Hidayati dan Aprizan [2016], sekitar 24 spesies hewan yang dimanfaatkan sebagai obat, sekitar 38 persen berasal dari kelas mamalia. Namun, tidak ada binturong dalam daftar tersebut.

“Binturong dilarang dimakan. Kami [Suku Mapur] biasa menyebutnya hewan berdaging panas, misalnya musang lingsang [Prionodon linsang], mentilin [Tarsius bancanus], trenggiling [Manis javanica], dan buaya muara [Crocodylus porosus]. Bisa sakit kalau mengkonsumsinya,” kata Asih Harmoko, Ketua Lembaga Adat Mapur di Dusun Aik Abik, Jumat [20/01/2022].

Kearifan ini sebagaimana Suku Jerieng yang tersebar di sekitar Kabupaten Bangka Barat. Menurut penelitian Nukraheni, Afriyansyah dan Ihsan [2019], dari 21 jenis hewan yang digunakan sebagai obat, binturong tidak termasuk. Padahal, 48% adalah mamalia.

“Bagi Suku Jerieng, binturong tidak diburu, juga tidak digunakan sebagai obat tradisional,” kata Masliadi, keturunan Suku Jerieng di Desa Pelangas.

Baca: Lanskap Adat, Berpotensi Menjadi Wilayah Konservasi di Pulau Bangka

 

Binturong di PPS Alobi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Menurut Ahmad Fadhli Jundana, Kepala Resor RKE XVII BKSDA Sumatera Selatan, kerusakan habitat atau kawasan hutan, diduga menjadi faktor utama terancamnya populasi binturong di alam liar.

“Berdasarkan data, serahan binturong terakhir pada 2020, sampai saat ini direhabilitasi di Pusat Penyelamatan Satwa Alobi [PPS] Bangka Belitung. Diperlukan riset lebih lanjut terkait kondisi ini,” katanya.

Langka Sani, Direktur Eksekutif Alobi Foundation, mengatakan hingga saat ini belum ada data populasi binturong di Bangka Belitung. Namun, kemungkinan besar mengalami penurunan, karena masyarakat mulai jarang melihatnya di alam liar.

“Ancaman utama akibat degradasi habitat, karena satwa ini menyukai hutan lebat. Untuk perburuan, kemungkinan karena permintaan dari luar Bangka Belitung, karena satwa ini cenderung tidak dikonsumsi masyarakat lokal,” ujarnya.

Berdasarkan perbandingan dokumen SLHD dan IKPLHD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2014 dan 2021, kurang enam tahun [2014-2020], provinsi ini kehilangan hutan seluas 460.000 hektar, atau tersisa 197.255,2 hektar.

Baca: Ara Pencekik, “Penjaga” Bukit Granit di Kepulauan Bangka Belitung

 

Pohon ara pencekik termasuk tubuhan hemiepifit yang menghabiskan sebagian besar hidupnya menumpang pada inang pohon lain. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indoesia

 

Perilaku unik dan penting bagi hutan

Binturong termasuk hewan dengan perilaku random. Dalam sejumlah penelitian, meskipun sebagian besar waktunya dihabiskan di atas pohon [arboreal], ia juga sering turun ke tanah dalam waktu yang cukup lama [Ross, Hearn and Macdonald].

Hal ini diperkuat dengan ketidakmampuan binturong untuk melompat antara pohon, sehingga terpaksa turun  untuk pindah [Zaw et al., 2008]. Binturong juga sering beraktivitas pada siang hari meskipun tergolong spesies nokturnal, terutama untuk menyelam, berenang, dan menangkap ikan [Nowak, 1991].

Dalam penelitian Cosson et al. [2007] pakan favorit binturong adalah buah dari keluarga ara [Ficus spp.], khususnya subspesies ara pencekik [Ficus annulata]. Sehingga, binturong berperan juga sebagai penebar benih [Colon and Campos-Arceiz, 2013].

Baca juga: Menjaga Hutan Melancarkan Orang Mapur Menuju Surga

 

Degradasi hutan di Bangka Belitung yang dapat mengancam populasi binturong. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Langka Sani mengatakan, di Bangka Belitung, ada peluang kolaborasi dengan masyarakat lokal, dalam upaya konservasi binturong beserta pemulihan habitat hutan.

“Kearifan lokal masyarakat, seperti larangan mengkonsumsi binturong serta sakralnya pohon ara yang bersimbiosis dangan binturong, mengindikasikan masyarakat sadar pentingnya menjaga keseimbangan alam,” lanjutnya.

Sebagai informasi, binturong dijadikan maskot Pekan Olahraga Provinsi Kepulauan Bangka Belitung [Porprov] tahun 2023. Dihiasi atribut khas Bangka Belitung, mulai dari kain cual, peci resam, hingga gelang akar bahar, maskot bernama “Abang Turong” menjadi simbol semangat, solidaritas, dan persaudaraan.

“Semoga ini menjadi momentum majunya konservasi di Bangka Belitung, terutama satwa liar beserta habitatnya,” tegas Langka.

 

Referensi:

Afriyansyah, B., Hidayati, N.A. and Aprizan, H. (2016) ‘Pemanfaatan hewan sebagai obat tradisional oleh etnik Lom di Bangka’, Jurnal Penelitian Sains, 18(2), pp. 66–74.

Colon, C.P. and Campos-Arceiz, A. (2013) ‘The impact of gut passage by binturongs (Arctictis binturong) on seed germination’, Raffles Bulletin of Zoology, 61(1), pp. 417–421.

Cosson, L. et al. (2007) ‘Genetic diversity of captive binturongs (Arctictis binturong, Viverridae, Carnivora): implications for conservation’, Journal of Zoology, 271(4), pp. 386–395.

Jennings, A.P. et al. (2009) ‘Family Viverridae (civets, genets and oyans)’, Handbook of the mammals of the world, 1, pp. 174–232.

Nowak, R. (1991) Walkerâs mammals of the world. The Johns Hopkins University Press,.

Nukraheni, Y.N., Afriyansyah, B. and Ihsan, M. (2019) ‘Ethnozoologi masyarakat Suku Jerieng dalam memanfaatkan hewan sebagai obat tradisional yang halal’, Journal of Halal Product and Research, 2(2), pp. 60–67.

Pocock, R.I. (1933) ‘The rarer genera of oriental Viverridae’, in Proceedings of the Zoological Society of London. Wiley Online Library, pp. 969–1035.

Ross, J., Hearn, A.J. and Macdonald, D.W. (no date) ‘Lessons from an unknown guild: from ferret badger to otter civet in the Bornean carnivore community’, Biology and Conservation of Wild Musteloids. Oxford University Press, Oxford, UK [Preprint].

Zaw, T. et al. (2008) ‘Status and distribution of small carnivores in Myanmar’, Small Carnivore Conservation, 38, pp. 2–28.

 

Exit mobile version