Mongabay.co.id

Daerah Diminta Waspada Antisipasi Kebakaran Hutan

 

 

Kebakaran hutan dan lahan diprediksi meningkat di sejumlah wilayah di Indonesia awal 2023. Beberapa titik wilayah rawan karhutla terpantau sudah memiliki titik panas, antara lain, Kalimantan Barat, Riau dan Kalimantan Tengah. Pemerintah daerah diminta siap siaga mengantisipasi karhutla.

Dwikorita Karnawati,  Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan, potensi karhutla pada 2023 lebih tinggi dibandingkan tiga tahun lalu yang memiliki musim kemarau basah. Secara umum, katanya,  curah hujan pada 2023 diprediksi dalam kategori normal.

“Perlu diwaspadai potensi karhutla pada Februari di wilayah utara Riau seperti Riau, sebagian Jambi, dan sebagian Sumatera Utara memasuki kemarau,” katanya dalam rapat koordinasi khusus penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di KLHK, Januari lalu.

Dwikorita juga mendorong pemerintah daerah bersiap mengantisipasi potensi karhutla meskipun potensi hujan masih ada di sebagian wilayah pada April-Mei 2023.

Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan meminta,  seluruh pemerintah daerah perlu waspada mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan di wilayah mereka. Terutama, katanya, wilayah rawan kebakaran dan memiliki kawasan hutan guna mampu mencegah dan menanggulangi kebakaran di wilayahnya.

“Saya berharap,  kepada seluruh pimpinan daerah yang mempunyai hutan rawan terkait kebakaran dari sekarang waspada. Kita pertahankan prestasi nasional kita yang beberapa tahun terakhir sudah sepi dari gugatan dan protes dunia internasional karena sudah bisa mengendalikan,” katanya, dalam konferensi pers Koordinasi Kesiapsiagaan Menghadapi Karhutla 2023, di Jakarta,  akhir Januari lalu.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas kebakaran dalam dua tahun terakhir turun dari 358.000 hektar pada 2021 jadi 204.000 hektar pada 2022. Angka ini cenderung terus menurun setelah karhutla besar terakhir pada 2019 seluas 1,6 juta hektar.

 

 

Pada 1-19 Januari 2023, terdapat pemantauan terjadi 66 kebakaran hutan dan lahan di 11 povinsi dengan luas total 459 hektar.

“Tahun 2023 ini, Indonesia mungkin akan mengalami anomali iklim curah hujan menipis dan bisa jadi lebih panas,” ujar Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Berdasarkan data satelit Modis dengan sensor Terra Aqua dari NASA dalam situs sipongi.menlhk.go.id setidaknya terdapat 33 hotspot (titik api) di seluruh Indonesia dan 73 penanganan kebakaran hutan dan lahan. Titik api itu tersebar di Jawa Timur, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Papua, Maluku dan Sulawesi.

Bersama dengan TNI, Polri, KLHK dan Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB) melakukan koordinasi dan pemantauan kesiapan setiap daerah dalam menghadapi karhutla. Baik dari kesiapan organisasi di daerah, sumber daya manusia dan teknologi.

BNPB memiliki  ruang pemantauan khusus seluruh aktivitas kawasan hutan dan hutan serta potensi titik api di setiap daerah.

”Koordinasi pemerintah daerah perlu diperkuat dan selalu memantau serta melaporkan kondisi titik api di daerah mereka,” ujar Mahfud.

Letnan Jenderal Suharyanto, Kepala BNPB mengatakan, ada enam provinsi prioritas berpotensi tinggi karhutla, yakni Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.  Meskipun begitu, katanya, tak menutup kemungkinan terjadi di provinsi lain.

“Jika terjadi kebakaran kita operasi darat fokus sebelum api membesar maka api sudah dipadamkan. Kemudian operasi udara menggunakan heli patroli dan water bombing,” katanya.

 

Water bombing atau pemadaman api dilakukan di wilayah Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir. Foto: BNPB Sumatera Selatan

 

Teknologi modifikasi cuaca

Dwikorita mengatakan, pemerintah juga mengantisipasi dengan teknologi modifikasi cuaca untuk mengatasi banjir di daerah, sebelum ada api, titik panas tinggi, dan lahan gambut kering.

Tujuan TMC ini saat kemarau, katanya, untuk membasahi gambut agar kelembapan dan tinggi muka air terus terjaga. “Kita harus lakukan teknologi modifikasi cuaca khusus untuk pembasahan gambut dan mengurangi hotspot pada provinsi rawan karhutla. Tidak kalah penting kita harus patroli pengendalian karhutla dan manajemen gambut.”

Siti bilang, akan terus melakukan pengendalian karhutla bersama para pemangku kepentingan terkait. “Kalau kebakaran hutan akibat swasta sepertinya tidak ada ampun. Jika ada hotspot di konsesinya, kita beri warning. Cara law enforcement itu ternyata paling baik. Kalau terdeteksi kebakaran di swasta pasti kena,” katanya.

Secara terpisah, Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, penanganan karhutla selama ini belum serius dan masih seperti pemadam kebakaran. Padahal,  masalah ini bisa terprediksi dan diantisipasi sebelum ada titik api.

“Asap itu terjadi atas kelalaian pemerintah dari sisi regulasi untuk hak atas lingkungan baik dan sehat. Kenapa karhutla terjadi, ya karena gambut rusak, izin kepada perkebunan skala besar keluar dengan regulasi lemah. Itu terjadi berulang,” katanya kepada Mongabay.

Dia nilai, upaya pemerintah melindungi gambut belum efektif dalam mencegah kebakaran. “Penanganan berulang menjadi sebuah siklus yang dampaknya rakyat jadi korban.”

Arie adalah salah satu penggugat kepada pemerintah atas karhutla dan kabut asap di Kalimantan Tengah pada 2015 ini mengatakan, dalam persidangan sempat disebutkan karhutla terkendali dalam beberapa tahun terakhir bukan usaha pemerintah. Namun, katanya,  karena La Nina atau musim kemarau basah.

“Faktor utama dari kebakaran, ekosistem gambut rusak dan fenomena cuaca yang mempercepat kebakaran.”

 

Kebakaran di gambut Rawa Tripa Juni 2022. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

********

 

 

Exit mobile version